Mahar dengan Hafalan Al-Qur’an
Fenomena “hijrah” kadang membawa semangat keagamaan secara tidak proporsional. Dalam hal perkawinan, tidak sedikit calon mempelai saat melakukan akad nikah, terbawa suasana “hijrah” tersebut dengan memberi mahar berupa hafalan Al-Qur’an, terutama surat al-Rahman. Sampai dia rela menghafal surat tersebut khusus untuk mahar perkawinannya, dan tidak sedikit yang lupa lagi hafalannya saat akad dilangsungkan.
Apakah benar hafalan Al-Qur’an dapat dijadikan mahar?
Ini yg menjadi persoalan, dan ini pula yang menjadi contoh ril, bahwa jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis tidak sesederhana yang diucapkan. Mereka yang membolehkan mahar dengan hafalan Al-Qur’an, pasti berhujah dengan hadis sahih tentang seorang sahabat yang mau menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW, namun saat ditanya punya apa untuk maharnya, ternyata cincin dari besi pun tak punya, sarung pun hanya ada yang dia pakai. Kemudian Nabi SAW bertanya, apakah kamu hafal Al-Qur’an? Ya ada beberapa surat, jawabnya. Maka Nabi SAW pun mengawinkan sahabat tersebut dengan mahar hafalan Al-Qur’an.
Kalau sebatas membaca hadis tersebut, maka memang artinya seperti itu, nah, di sini lah pentingnya menggali makna hadis sedalam-dalamnya dengan melakukan i’tibar dari hadis² lain yang semakna, atau langkah yang paling sederhana adalah memperbanyak pengetahuan dengan membaca buku² penjelasan (syarah) hadis dari para pakar hadis. Kalau sebatas membaca redaksi matan hadis, itu rawan salah penyimpulan. Apalagi kalau di samping membaca buku Syarah hadis, juga ditambah membaca buku fikih dari berbagai madzhab, misal Fiqhul Islami-nya Prof. Wahbah, maka potensi salah penyimpulan akan terminimalisir.
Jika membaca buku fikih, ternyata mahar itu harus berbentuk materi (harta bermanfaat) ini pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah), hanya Syafi’iyah saja yg membolehkan mahar berupa jasa, itu pun harus jasa yang bisa dikonversi ke materi (mutamawwal). Nah terkait mahar dengan hafalan Al-Qur’an, maka mayoritas ulama tidak membolehkannya, alias tidak sah. Adapun hadis tadi, itu maksudnya adalah bukan semata membaca hafalan Al-Qur’an, melainkan “mengajarkan” Al-Qur’an kepada istrinya (baca yg digarisbawahi dlm lampiran kitab). Dan itu clear, karena mengajar itu adalah jasa yang bisa dihargai dengan materi. Atau jika hafalan Al-Qur’an tsb dilantunkan oleh seorang Hafizh atau Qari, maka bisa sah sebagai mahar, karena seorang Hafizh atau Qari bisa mendapatkan materi dari hafalan atau bacaannya tsb, mirip seorang musikus yang memberi mahar dengan sebuah lagu, atau penyair (bukan tukang nyair ikan atau uang di jalan) yang menjadikan puisi sebagai mahar, itu bisa sah. Kalau orang umum, jelas tidak sah, karena dia tidak bisa mendapatkan materi dari bacaan, lagu, puisi yang dia lakukan.
Silakan perhatikan referensi Syarah hadis di bawah ini, saya ambil dari buku Mirqah Mafatih-nya Syaikh Ali Qari, seorang ulama Hanafiyah. Juga silakan pelajari hukum mahar tersebut di buku Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 9, hal. 6768-6774, di sana hampir 7 halaman membahas tentang kriteria sesuatu yang bisa dijadikan mahar.
Reff:
Mirqah al- Mafatih, VI/328