Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 di Lampung
Pentingnya Tajdidul Jam’iyah dan Garis Komando NU
(Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 NU-Lampung 17 Jumadal Awwal 1443/22 Desember 2022)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذى أرسل سيدنا محمدًا صلى الله عليه وسلم إلى العالمين ليخرجهم من الظلمات إلى النور؛ فكان دين الإسلام دينًا عالميًا يحمل مُقوِّمات صلاحيته لكل زمان ومكان، وكان من هذه المُقوِّمات قابليته لاستيعاب كل جديدٍ وتقنينِه على وفق القوانين الإلهية المُودَّعة فيه، من هنا كان التجديد من الثوابت في دين الإسلام، وقد صح في الحديث ” إن الله يبعث على رأس كل مائة سنة من يجدد للناس أمر دينهم”. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي. اللهم صل وسلم على سيدنا وحبيبنا محمد …
أما بعد
– سادات العلماء والحبائب والسادة الأعزاء…
– معالى الضيوف الكرام …
– سادات المشايخ والعلماء والزعماء من البلاد الصادقة
السيد رئيس الجمهورية إندونيسية…
- Yang Mulya Presiden Indonedia Ir. H. Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo
- Yang Terhormat Wakil Presiden Indonesia Prof. Dr. KH. Maruf Amin
- Para Menteri Kabinet Kerja
- Para Duta Besar Negara Sahabat
- Bapak Gubernur Propinsi Lampung
- Bapak Kapolda dan ibu
- Bapak Pangdam Sriwijaya
- Pimpinan Ormas Islam dan Sosial
- Para Pengamat
- Para Peninjau…dimanapun berada
مرحبا بحضوركم فجزاكم الله أحسن الجزاء
Muktamirin Rahimakumullah!
Tidak terasa masa khidmat PBNU hasil Muktamar ke 33 yang dilaksanakan pada tgl 1-5 Agustus 2015 mendapat bonus kurang lebih satu setengah tahun dan telah terlewati. Alfaqir menerima mandat sebagai PJ Rais Am pada 22 September 2018 segera berakhir. Banyak kekurangan, ketidak cakapan dan ketidak mampuan dalam mengemban amanat yang amat-amat berat ini sangat layak mendapat gelar Rais Awam, Rais ‘Aam KW3. Semoga para Muassis memaklumi dan memaafkan. Amien.
Ma’âsyiral Muktamirin Rahimakumullah!
Sebelumnya, mari kita hadiahkan Suratul Fatihah pada beliau-beliau as Syaikh Nawawi al Bantani, Syaikhona Kholil bin Abdil Lathif, Syaikh Akbar Hasyim Asy’ari, as Syaik Abdul Wahhab Hasbullah, as Syaikh Bisri Syamsuri, as Syaikh Ramli Tamim, dan semua Pengurus PBNU minassâbiqîn al awwalîn fi jamî’il amkinah wal mu’minîn wal mu’minât fi masyariqil ardli wamaghôribiha, barriha wa bahriha wa yyuhadai Covid-19, Al-fathah.
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah, Jam’iyah perkhidmatan para Ulama. Organisasi para kyai kampung dan desa yang memiliki potensi kekuatan dan kehebatan yang men-dunia, sebagaimana Islam itu sendiri adalah agama bagi alam semesta, Rasul Allah dan Nabinya adalah hadiah rahmat untuk dunia bahkan untuk alam semesta. Maka para pewarisnya yaitu para Ulama Nahdlatul Ulama (harus) men-dunia. Dan sekarang sedang dinantikan kiprahnya melahirkan peradaban dunia. Maka karakter-karakter yang men-dunia harus terus digali dan diperkokoh. Sifat-sifat membebek, grudak-gruduk, latah segera kita enyahkan. Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya:
لَا تَكُوْنُوْا إِمَّعَةً، تَقُوْلُوْنَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوْا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوْا أَنْفُسَكُمْ، إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوْا، وَإِنْ أَسَاءُوْا فَلَا تَظْلِمُوْا (رواه الترمذي)
“Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan dan latah. Kalian mengatakan, ‘Jika orang-orang berbuat baik, kami juga ikut baik. Dan jika mereka berbuat zalim, kami pun ikut zalim’. Namun mantapkanlah jiwa kalian; jika masyarakat berbuat baik, kalian tetap melakukan kebaikan, dan jika mereka melakukan kejahatan, maka jangan ikut berbuat zalim.” (HR At-Tirmidzi)
Hadits di atas mengingatkan kita agar selalu memantapkan karakter dan kepribadian. Kader Nahdlatul Ulama harus mampu menunjukkan kepribadian dan semangat menuju kebaikan serta menjaga idealisme dan kemandirian dalam bersikap. Ikut-ikutan orang lain dan menjadi latah, hanya akan membuat kita terpecah belah, terombang-ambing dan menjadi bulan-bulanan.
Sayyidina Ali karramallahu wajhah juga pernah berpesan, “Dengan perpecahan, tidak ada satu kebaikan yang akan dianugerahkan Allah kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan”.
Sebab, suatu kaum apabila hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat suatu tempat pun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa yang bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan mereka saling selisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda.
Kekuatan jam’iyah Nahdlatul Ulama sebenarnya sangat luar biasa. Tapi selama ini banyak warga Nahdlatul Ulama yang hanya memosisikan diri sebagai jamaah, belum ber-jam’iyah. Inilah yang perlu kita jam’iyah-kan. Jangan sampai nantinya warga tercerai berai hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat. Mereka harus mengikuti satu komando, yang dikomando dari PBNU dan didukung oleh para mustasyar.
Men-jam’iyah-kan jamaah dengan segala potensinya yang berkekuatan raksasa ini, menjadi pekerjaan rumah terpenting dari sekian pekerjaan rumah yang lain. Sebab, potensi raksasa ini, kalau tidak dikelola dengan baik dan benar, justru akan menjadi beban dan terpecah belah. Menjadi bulan-bulanan dan diperebutkan oleh kelompok-kelompok lain.
Marilah kita songsong satu Abad untuk masuk ke abad kedua Nahdlatul Ulama dengan menyegarkan kembali gerakan dan sistem komando kita. Agar, posisi Nahdlatul Ulama sebagai ashabul haq sekaligus (meraih posisi) ashabul qoror wal quwwah dapat terwujud dalam berbagai dimensi kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita.
“إن الله يبعث على رأس كل مائة سنة من يجدد للناس أمر دينهم”. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي
Marilah kita ingat sabda Rasulullah SAW di atas. Bahwa sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini pada setiap awal seratus tahun, orang-orang yang akan memperbarui atau menyegarkan bagi umat ini hal-hal yang terkait dengan urusan agama mereka.
Saat ini, dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Marilah kita merenungkan dan merekontekstualisasi (إعادة النظر) apa yang salah dan apa yang benar dari perjalanan kita selama ini. Marilah kita renungkan juga nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita dalam bingkai trilogi ukhuwah. Yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan internal umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah/basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Kita bisa tambahkan juga ukhuwah nahdliyah di dalamnya.
Nilai-nilai itu bisa menjadi cerminan moral yang prima, agar dampak negatif pergeseran tatanan dunia tidak begitu berpengaruh dalam perjalanan anak bangsa di era Revolusi Industri 4.0 dan dalam rangka meraih manfaat bonus demografi. Kita tentu berharap, bonus demografi bukan justru menjadi musibah demografi.
Kalau era Revolusi Industri 4.0 dianggap menjadi tanda meningkatnya peradaban kemanusiaan, maka kita harus mengimbanginya dengan 4G. Yaitu, empat ajaran khas dan konsep besar Nahdlatul Ulama, sekaligus dalam rangka mengamalkan hadits di atas. Kita dan jam’iyah Nahdlatul Ulama perlu penyegaran 4G tersebut.
Pertama, Grand Idea. Yaitu, visi-misi Nahdlatul Ulama sebagai instrumen untuk menyatukan langkah, baik ulama struktural maupun kultural. Terutama para ulama pondok pesantren, agar berada dalam satu langkah dan satu keputusan, untuk menggalang kekuatan bersama.
Kedua, Grand Design. Berupa program-program unggulan yang terukur. Di sini, hadits di atas menyatakan, setiap awal datangnya kurun 100 tahun, Allah SWT akan mengutus seseorang, dua orang, atau beberapa orang, untuk menyegarkan kembali aturan-aturan yang sudah mulai banyak ditinggalkan. Usia Nahdlatul Ulama saat ini sudah hampir satu abad. Kalau hitungan usia masehi, memang 95 tahun, tapi usia hijri-nya sudah mencapai 98 tahun.
Ketiga, Grand Strategy. Ini bisa dilakukan dengan mengintensifkan penyebaran inovasi yang terencana, terarah dan dikelola dengan baik, serta distribusi kader-kader terbaik Nahdlatul Ulama ke ruang-ruang publik yang tersedia. Kader kita saat ini belum berperan maksimal di semua ruang-ruang publik yang ada. Karena itu, perlu ada grand strategy terkait keberperanan kader-kader kita.
Keempat, Grand Control. Sistem dan gerakan Nahdlatul Ulama harus bisa melahirkan garis komando secara organisatoris dari PBNU sampai kepengurusan di tingkat anak ranting. Dari situ, Nahdlatul Ulama akan menjadi organisasi keagamaan dan sosial yang bergerak secara sistemik, proaktif, dan responsif, serta terus-menerus menebarkan kasih sayang (rahmatan lil alamin). Nahdlatul Ulama akan mampu menebarkan kemaslahatan di dunia sampai akhirat dan bersaing di segala bidang dengan organisasi-organisasi lainnya.
Terkait hal ini, kita patut mengingat kembali isyarat yang disampaikan oleh Syaikhona Cholil Bangkalan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menjelang pendirian Nahdlatul Ulama. Isyarat berupa tongkat dan surah Thaha ayat 17-23 yang berisi kisah Tongkat Mukjizat Nabi Musa AS itu menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan tiada lain kecuali untuk mengomando.
Tongkat Nabi Musa AS adalah simbol sistem komando. Sampai sekarang pun tongkat menjadi simbol komando para panglima. Sebagai panglima tertinggi, misalnya, presiden juga memegang tongkat komando.
Jadi, itulah yang diharapkan oleh para pendiri Nahdlatul Ulama. Agar kelahiran NU bukan sekadar memperbanyak jumlah organisasi yang ada di masyarakat. Di samping untuk menjaga dan meluruskan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, kita juga diharapkan menjadi Tongkat Sakti Nabi Musa. Itulah harapan dari para pendiri Nahdlatul Ulama yang juga sudah dibuktikan oleh generasi terdahulu.
Kita wajib menjaga dan mengamalkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah. Juga, mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini kewajiban setiap anggota yang tercantum dalam AD-ART Nahdlatul Ulama. Pada tingkat pengurus, wajib memberikan arahan dan kontrol kepada anggota. Hal itu berlaku dalam situasi normal. Dalam situasi seperti sekarang, saat banyak kelompok ingin mengganti posisi Nahdlatul Ulama dan mengikis ahlussunnah wal jamaah, maka kader-kader Nahdlatul Ulama harus berperan seperti Tongkat Nabi Musa.
Kalaulah ada kader-kader Nahdlatul Ulama menjadi “ular-ular” seperti dalam ayat tersebut, tujuannya hanya untuk da’wah-amar ma’ruf nahi munkar, membasmi kezaliman, kemaksiatan dan kemungkaran. Menjadi anggota legislatif, bupati, gubernur, atau mengisi jabatan publik apapun, yang mampu menjadi kekuatan (ashabul qoror sekaligus Ashabul Haq) hanya untuk mengajak kebaikan, meratakan kesejahteraan dan keadilan, bukan sebagai tujuan.
Perlu diingat, sebagaimana disebutkan dalam surah Thaha tersebut, setelah berubah menjadi ular naga dan berhasil menumpas kezaliman, maka ular-ular itu harus kembali kepada bentuknya semula yaitu tongkat. Manakala sudah dianggap cukup oleh para Masyaikh, Syuriah, maka kader-kader Nahdlatul Ulama harus siap kembali menjadi tongkat. Itulah sistem komando. Dan sikap pusaka kebanggaan kita adalah: sami’na wa atha’na, maka supremasi Syuriyah mutlak.
Manakala ada Musykilat, perbedaan persepsi dalam menjalankan perkhidmatan dan mengalami deadlock maka kaidahnya:
“فإذا تنازعتم فى شيئ فردوا إلى أد-أرت (AD-ART) نهضة العلماء”
Maka, kita hadirkan Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah yang ber- Ilmiyah Amaliyah dan Amaliyah yang Ilmiyah.
Alfaqir hanya sempat mempraktekkan Sebagian kecil dari kandungan AD-ART NU. Antara lain “ kewenangan Rais Am” sebagai secuil tanggung jawab yang sekaligus sebagai momentum mengingatkan supremasi Syuriyah sebagaimana amanat AD-ART NU.
Selamat ber-Muktamar dengan riang gembira dan keceriaan, menghasilkan keputusan-keputusan yang maslahat untuk Agama, Bangsa, NKRI dan Peradaban Dunia.
والله من وراء القصد , وهو يهدى السبيل. والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
KH Miftachul Akhyar, Rais ‘Aam PBNU