The news is by your side.

Menakar Pilihan di Hari Tenang

Oleh: Nuruddin

Momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tinggal sehari lagi. Pada hari-hari yang disebut hari tenang ini, suhu politik justeru semakin memanas. Segala percakapan dan guyonan apa pun akan dimaknai politis oleh para pelaku politik.

Saya tidak menyalahkan mereka yang memiliki mindset demikian, karena saya memahami, apa yang mengkrontruksi pemikiran mereka, adalah lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Seorang petani yang kesehariannya berkutat dengan sawah, ladang, dan kebutuhan sawah, pastilah akan berpikir dan membincang sawah dan yang mengitarinya. Sedemikian pula para pelaku politik, mindset mereka pastilah akan mengarah pada muara politik.

Menentukan pilihan di dalam Pilkada, adalah hak dan kewajiban semua warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan ketentuan sebagai pemilih. Kewajiban yang saya maksud adalah kewajiban untuk memilih pemimpin, karena pemimpin kita dipilih melalui Pemilu.

Penting dipahami, Pemerintah Indonesia juga mensyaratkan adanya pemimpin untuk menjalankan tata kelola pemerintahan. Jika tidak ada pemimpin, tata kelola pemerintahan tidak akan berjalan. Dan jika pemerintahan tidak berjalan maka pelayanan kepada masyarakat akan terkendala. Maka, memilih pemimpin melalui Pemilu menjadi wajib demi terwujudnya tata kelola pelayanan masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kriteria pemimpin yang dipilih, pastilah melalui proses verifikasi calon dan rentetan seleksi secara internal partai dan seleksi secara pemerintahan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Faktanya, mereka mengantongi surat keterangan catatan kelakuan baik dan surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari pihak yang berwenang. Tapi, di antara kriteria tersebut pastilah para pemilih memiliki alasan lain sebelum menjatuhkan pilihannya.

Jika pakar ilmu politik Prof Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik mengkategorisasikan ada pemilih mengambang, pemilih idiologis, dan pemilih rasionalis. Maka alasan menjatuhkan pilihan tidaklah jauh dari tiga hal tersebut. Mereka yang menggunakan rasionalitasnya, akan mengenali calon, mencari tahu bagaimana rekam jejaknya.

Walaupun model pemilih rasional hari ini mulai langka, dengan bantuan media, semakin terbuka lebar info yang memaparkan personifikasi calon. Maka dibutuhkan kejelian membaca kecenderungan pemilih dalam menggunakan media. Sehingga, promosi calon melalui media, benar-benar mengena pada sasaran.

(Baca: Pesan Moral PBNU Jelang Pilkada Serentak 2 Juni)
Memahami karakter masyarakat yang gampang lupa diperlukan media yang mampu menancapkan ingatan secara kuat, atau perlu berulang-ulang diingatkan. Karena sebagus apa pun media yang dipilih jika proses pengenalan calon masih terlalu dini, faktor lupa, akan mendominasi.

Banyak orang yang bertanya, pilihanya siapa? Maka pilihlah yang paling baik. Jika pilihannya sama-sama baik? Maka pilihlah yang terbaik. Jika pilihannya sama-sama jeleknya? Maka pilihlah yang mudlarat-nya (kejelekannya) paling kecil.

Karena masalah pilihan, waktu memilihnya cuma lima menit, tapi dampaknya sampai lima tahun, jatuhkanlah pada pilihan yang terbaik. Jangan sampai golput. Jika Anda golput, lantas orang-orang dzalim yang memilih. Maka kehancuran akan tampak di depan mata. Sesungguhnya untuk mendapatkan pilihan terbaik, perlu jalan panjang mulai dari mengenali calon dan mendapatkan  daftar riwayat hidupnya sampai pada rekam jejaknya sebagai referensi menjatuhkan pilihan.

Perbedaan pilihan dengan tetangga bahkan mungkin anggota keluarga, adalah biasa. Karena sejak lahir, kita sudah mengeliminir ribuan bakal janin lainnya. Maknanya sejak kita di dalam rahim, kita sudah dihadapkan pada pilihan dan siap menerima segala konsekuensi dampaknya.

Jangan sampai karena perbedaan pilihan, justeru memecah belah persatuan yang sudah dijalin oleh nenek moyang dan para pendiri bangsa dengan Bhineka Tunggal Ika. Keutuhan bangsa dan negara menjadi hal yang remeh jika dipertaruhkan dalam permusuhan karena berbeda pilihan.

Konsep politik kebangsaan harus dikedepankan. Maknanya, kita berpolitik dalam kerangka mewujudkan tatanan masyarakat yang merdeka seutuhnya. Saya menyebut merdeka seutuhnya dalam makna masyarakat terlayani dan mampu menikmati kemerdekaan. Indikatornya adalah masyarakat mampu menjangkau dan membeli apa yang menjadi kebutuhannya baik sandang, pangan, dan papan.

Kesimpulannya, kita sedang akan memilih orang yang menjadi wakil kita dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Maka gunakan hak pilih Anda. Pilihlah yang terbaik di antara yang baik.

Penulis adalah pengurus Lakpesdam PCNU Tulungagung, kini sedang menempuh pendidikan Pascasarjana IAIN Tulungagung.

Sumber : NU Online

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.