Pangling pada Agama Sendiri
Oleh Al-Zastrouw Ngatawi
Anak-anak kecil itu tiba-tiba marah dan berisik di mana-mana. Dia menolak semua peninggalan orang tua sambil merengek dan menggerutu. Dia bilang itu semua barang palsu cuma bikinan sendiri. Dia menginginkan barang-barang yang asli, orisinil, bikinan langsung dari Tuhan, yang masih murni tanpa kecampuran apa pun.
Beberapa orang tua yang sudah memahami persoalan menjelaskan bahwa barang itu sebenarnya juga asli pabrik, dari sumbernya langsung. Cuma ada sedikit modifikasi bentuk dan aksesoris luar tanpa mengubah isi dan substansi. Ini dilakukan agar lebih mudah dipakai dan digunakan. Tapi anak-anak kecil itu tetap kekeh menolak dan ingin membuang semua peninggalan itu karena dianggap cuma bikinan manusia. Mereka ingin tetap yang asli apa adanya, tanpa perubahan apa pun.
Memang, karena keterbatasan akal dan daya pikir, anak-anak kecil ini belum bisa membedakan antara bentuk dan substansi. Misalnya sudah dijelaskan bahwa santan dan minyak goreng itu berasal dari kelapa tapi tetap saja mereka tidak mau menerima santan dan minyak kelapa. Karena bagi mereka santan dan minyak kelapa itu buatan manusia bukan asli dari Tuhan.
Mereka ingin langsung menggunakan kelapa yang bikinan Tuhan dan kelapa itu harus dijaga otentisitasnya, tidak boleh diproses, diurai dan dicampur dengan apa pun. Bagi mereka kelapa ya kelapa, tidak perlu diproses dan diurai menjadi santan, minyak, arang bathok, sabut dan sebagainya. Karena sebagai produk Allah kelapa itu sudah sangat sempurna. Apa yang kita butuhkan ada di dalamnya. Sikap mengurai kepala akan diangapnya merusak, memecah belah dan menodai kemurnian kelapa.
Anak-anak kecil ini tidak tahu, bahwa kelapa ini adalah bahan baku yang tidak semuanya bisa langsung digunakan. Ada beberapa bagian yang masih perlu diproses agar bisa dimanfaatkan. Artinya perlu kreativitas untuk bisa memanfaatkan kelapa. Semakin kreatif akan semakin banyak manfaat yang bisa diambil dari buah kelapa yang merupakan sumber asli dari Allah.
Memang secara fisik dalam buah kelapa tidak ada santan, minyak, arang apalagi sabut, dan keset. Tetapi semua itu dibuat dari saripati dan bagian yang ada dalam kelapa. Artinya ketika kita menggunakan santan, minyak dan sejenisnya itu hakikatnya sudah menggunakan kelapa, karena semua benda itu terbuat dari kelapa. Dengan kata lain, meski secara faktual kita menggunakan produk buatan manusia, tetapi secara sunstansial juga menggunakan produk asli Tuhan.
Sikap anak-anak ini seperti orang-orang yang menolak berbagai ekspresi keagamaan yang menurut mereka tidak ada dalam teks yang kemudian diklaim tidak ada dalilnya. Mereka menolak Pancasila, men-thoghut-kan NKRI dan paham kebangsaan, mengkafirkan tahlilan, selamatan, yasinan, istighotsah dan sejenisnya karena tak ada dalam teks Tuhan.
Mereka menganggap semua itu bid’ah karena hanya bikinan manusia. Apa yang mereka lakukan sama persis dengan anak kecil yang menolak menggunakan santan dan minyak kelapa karena itu bikinan manusia dan secara fisik tidak ada dalam kelapa yang bikinan Allah.
Orang-orang seperti ini lupa, tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa sebagai bahan baku tidak semua teks bisa langsung diterapkan (bersifat operasional). Ada beberapa teks yang tidak bersifat operasional, sehingga perlu proses penafsiran untuk membuat juklak dan juknis agar ajaran yang ada dalam teks itu bisa diterapkan.
Sebagaimana buah kelapa ada yang langsung bisa dinikmati seperti air dan dagingya ada yang perlu diproses agar bisa menjadi santan, minyak, arang, dan sebagainya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan semua orang karena untuk melakukan semua ini diperlukan standar keilmuan yang mendalam dan derajat kearifan (kebersihan hati) yang tinggi.
Dalam upaya membuat juklak dan juknis atas ayat-ayat yang tidak operasional mucul beberapa cabang ilmu seperti fiqih, ushul fiqih, tafsir, tasawuf, ulumul hadits dan sebagainya dengan beragam metode (manhaj). Misalnya dalam ushul fiqih muncul konsep istishab, mashalihul mursalah, istihsan, syadduz dzara’i, dan sebagainya.
Dalam hadits muncul ilmu musthalah hadits, rijalul hadits, jahr wa ta’dil; dalam tasawuf lahir konsep suluk, dzikir, maqamat, ghaibah, fana’ dan sebagainya. Dari proses ini kemudian lahir berbagai macam bentuk tradisi dan budaya yang menjadi sarana pengamalan ajaran agama.
Berbagai ilmu dan metode ini merupakan alat untuk menjabarkan berbagai ajaran yang ada dalam teks agama agar bisa dijalankan dan diterapkan dalam kehidupan. Di sini para ulama menjadikan teks agama yang asli buatan Allah sebagai bahan baku seperti para pembuat santan, minyak dan arang bathok yang menjadikan buah kelapa bikinan Allah sebagai bahan baku.
Apa yang terjadi menunjukkan sehebat dan semulia apa pun petunjuk dari Tuhan tidak akan pernah ada gunanya di hadapan anak kecil yang belum bisa menggunakan akalnya dan memiliki kemampuan pengendalian diri dengan baik. Orang seperti ini mudah pangling pada agamanya sendiri hanya karena perubahan bentuk dan tampilan.
Mereka mudah marah dan menyalahkan karena tidak mampu melihat lebih jauh apa isi dan substansi yang ada di balik tampilan dan bentuk. Ini semua terjadi karena keterbatasan perangkat keilmuan dan rendahnya derajat kearifan serta kebersihan hati.
Disinilah pentingnya menjaga kebersihan hati dan memperluas cakrawala ilmu agar bisa menerapkan dan menjabarkan ajaran agama secara kreatif. Tidak lagi menjadi anak kecil yang pangling pada wajah agamanya sendiri sehingga mudah marah dan menista.
Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Sumber : NU Online