Paradok dalam Pendidikan
Dr. H. Srie Muldrianto, MPd* – Setiap manusia dilahirkan dengan berbagai perbedaan baik dilihat dari sisi fisik maupun psikis. Perbedaan tersebut merupakan hal yang alami. Ketika perbedaan tersebut kita sikapi dengan suatu sikap yang seragam tentu akan menyebabkan beragam akibat fatal bagi perkembangan manusia muda di masa depannya. Ada kisah menarik yang patut kita renungkan. Kisah ini penulis dapatkan dari pengurus sepak bola yang anak didiknya banyak yang berprestasi di tingkat nasional dan internasional. Pendidikan klub bola sering berbenturan dengan system pendidikan yang berlaku di Indonesia. Artinya prestasi atlit bola kadang tidak dihargai sebagai prestasi dalam lingkup pendidikan formal. Pendidikan formal lebih mengutamakan prestasi akademik seperti kemampuan sains, bahasa, dan matematika dan lain-lain. Sementara prestasi dalam dunia olah raga khususnya bola memiliki indicator keberhasilan yang berbeda. Prestasi dalam dunia sepak bola diukur dengan suksesnya seseorang di lapangan. Keberhasilan atau kesuksesan seorang pemain bola merupakan hasil dari pola didik yang panjang dan berat. Jika kita tengok klub latihan bola kita akan temukan pola pendidikan fisik yang disiplin, jujur, bertanggungjawab dan optimis serta karakter lainnya. Bahkan mungkin saja bagi sebagian orang akan tidak mampu untuk menjalani proses pendidikan bola yang ketat dan berat. Mungkin saja pola pendidikan di sekolah formal tidak seketat pola pendidikan di klub bola.
Kisah dari pengurus bola adalah sebagai berikut “Seorang pemain bola juga seorang siswa di salah satu SMAN mengalami masalah karena diminta untuk mundur dari sekolah, padahal saat itu pemain bola tersebut telah berhasil menggolkan bola yang menjadi penyebab Indonesia masuk babak berikutnya di tingkat Asia. Ketika pemain bola tersebut menjalani latihan dan ikut karantina sebagai pemain sepak bola kemudian dia ditelepon oleh gurunya untuk mundur dari sekolah. Padahal sebelumnya guru tersebut telah berkomunikasi dengan pelatih. Hal ini tentu akan menurunkan mental pemain dan dapat berakibat fatal bagi prestasi bola Indonesia.”
Tentu ada berbagai alasan yang dapat dikemukan oleh guru dan mungkin kepala sekolah di SMAN tersebut. Tapi penulis dapat membuat suatu dugaan sebagai berikut: Perlunya penegasan kembali tentang hakikat tujuan pendidikan. Yang kedua mungkin perlunya model pendidikan yang merdeka baik bagi siswa maupun bagi guru dan lembaga sekolah. Guru merdeka dapat dikatakan sebagai guru yang tidak dijajah oleh tugas administrative dan birokrasi. Guru merdeka adalah guru yang menjadi media dan fasilitator akan keberhasilan peserta didiknya. Prestasi guru dapat dibuktikan dengan prestasi siswanya.
Hakikat Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia. Manusia yang manusiawi dapat diartikan bahwa manusia memiliki potensi yang berbeda satu sama lain. Keragaman minat dan bakat manusia harus dapat diwadahi oleh sekolah. Sekolah bukan hanya tempat atau lingkungan yang steril dari permasalahan hidup manusia. Pendidikan ada justru untuk menyiapkan atau bahkan untuk menjalani kehidupan ini agar sesuai dengan fitrah, core value, minat dan bakat setiap orang. Kesadaran pada kemajemukan ini perlu dimiliki terutama oleh guru dan stake holder sekolah.
Jika tujuan pendidikan sekolah direduksi menjadi pendidikan yang hanya berkutat pada nilai-nilai akademik justru akan menghancurkan bangsa ini kepada jurang kehancuran. Bisa saja orang berprestasi dalam akademik tapi ketika lulus tidak bisa melakukan apa-apa. Fenomena lain misalnya banyak siswa-siswa kita berprestasi di tingkat nasional atau internasional menjuarai lomba matematika, sain dan teknologi tapi pada akhirnya tidak menjadikan mereka pemimpin atau dapat bermanfaat buat manusia lainnya.
Tujuan pendidikan jika kita sederhanakan dapat menjadi dua yaitu menjadikan manusia sukses dan menjadikan manusia bahagia. Dari kedua tujuan tersebut kebahagiaan adalah tujuan substansi dari pendidikan. Manusia sukses dalam karir, akademik, harta,dan kekuasaan tidak serta merta menjadikan manusia bahagia. Manusia bahagia adalah manusia yang dapat memaknai kesulitan, kesukaran, dan penderitaan juga kesenangan. Oleh karena itu tujuan pendidikan harus berfokus pada manusia sesuai dengan bakat, minat, dan core valuenya atau kepribadiaanya. Untuk menjadi bahagia manusia perlu berikhtiar, berlatih, dan membiasakan diri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan malah menjadi penghambat akan kesuksesan dan kebahagiaan siswa. Jika di sekolah siswa tidak merasa nyaman dan bahagia mereka akan mencari tempat dan cara untuk bahagia.
Agama dan Manusia Merdeka
Kemerdekaan dapat diartikan sebagai bebasnya manusia dari hawa nafsu dan emosi yang dapat membahayakan manusia. Tidak seluruh hawa nafsu dan emosi harus kita bebaskan sebab hawa nafsu dan emosi masih memiliki manfaat bagi manusia. Harmonisasi akal, nafsu, emosi, dan hati merupakan daya gerak bagi hidup dan tumbuh kembangnya manusia.
Manusia merdeka adalah manusia yang mengutamakan pada tujuan bukan pada alat atau media. Kalau dalam Islam tujuan kita adalah Allah SWT sementara yang lainnya adalah alat atau media. Imam al Ghozali berkata “Kita sering merawat, menghiasi kendaraan kita tapi lupa pada diri kita, bukankah yang terpenting adalah sampainya kita pada tujuan?”.
* Dr. H. Srie Muldrianto, MPd (Dosen Pasca Sarjana STAI EZ Muttaqien Purwakarta)
Betul. Kita sering lupa atau bahkan tidak paham Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional menurut UU SISDIKNAS 2003 sehingga ketika menyusun program pendidikan sering kehilangan arah. Memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang Beriman, Bertaqwa, Jujur Disiplin, Tanggungjawab, dst … dikalahkan oleh hasil ujian pengetahuan, dan sedikit keterampilan … Akibatnya banyak anak nilai raportnya baik tetapi : tidak beriman, tidak jujur, tidak disiplin, tidak bertanggungjawab, tidak sopan, tidak peduli …
Mari kita kembalikan Pendidikan Nasional kepada fungsi dan tujuannya, mari kita kembalikan sekolah/perguruan tinggi kepada fungsi dan tujuannya agar lulusannya menjadi manusia yang manusiawi dan menjaga harkat martabat dan jati nya sebagai : manusia, Anggita keluarga, warga masyarakat, dan warga negara.