The news is by your side.

Apakah Masih Layak NU Disebut Islam Tradisional?

Oleh: Wahyu Iryana

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 26 Januari 1926. Kader NU harus tahu harlah berdirinya NU sebagai penguat haroqah beroganisasi. NU memang didirikan oleh para Kiai-kiai kampung yang berfikiran universal, berfikir jauh melampaui jiwa zamannya, para kiai walau berasal dari kampung mereka tidak kampungan.

Kiai-kiai NU yang memiliki basis pesantren di kampung- kampung mendirikan NU atas dasar mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Pada waktu raja Suud yang bermazhab Wahabi berniat pengen membongkar Makam Nabi Muhammad SAW., Kiai-kiai yang di komandoi Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijjaz untuk melakukan protes elite kepada Raja Saudi untuk membatalkan pembongkaran makam Nabi Muhammad SAW., Komite Hijjaz tersebut diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah tugas utamanya adalah melakukan loby kepada raja Saudi agar menggagalkan pembongkaran Malam Nabi Muhammad SAW karena akan menimbulkan konflik internal antar umat Islam.

Hasilnya menggembirakan Raja Saudi urung membongkar Makam Nabi Muhammad SAW. Inilah bukti bahwa Kiai-kiai yang lahir dari kampung memang berfikir lues dan universal. Proses perkembangan NU hingga menjadi organisasi terbesar di dunia bulan tampa hambatan, dari mulai pertarungan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NU telah memberikan saham terbesar dengan mempertaruhkan nyawa para syuhada kiai santri dari jaman Portugis, Inggris, Belanda, Jepang. Hingga kemerdekaan 9 Ramadhan (17 Agustus 1945) dengan wakil KH. Wahid Hasyim sebagai salah satu panitia TIM sembilan bersama Soekarno dan Hatta.

Santri Manut Kiai

Kiprah NU untuk bangsa Indonesia tidak berhenti sampai memerdekakan bangsa saja, namun juga mempertahankan kemerdekaan dari setiap jengkal tanah Pertiwi dari rongrongan tangan tangan yang tidak bertanggung jawab, ketika agresi Belanda ke dua perang mempertahankan NKRI dicetuskan Hadratus Syech KH. Hasyim Asy’ari dengan Deklarasi perlawanan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Terbunuhnya Jendral Mallaby (Jendral Inggris yang berpengalaman dalam strategi perang Eropa)oleh santri senior KH. Hasyim Asy’ari yang bernama Kang Solikhin (Kiai Solihin Babakan Ciwaringin Cirebon) dengan menggunakan dua ujung jarinya adalah bukti kesaktian seorang santri yang kuat riyadoh dengan amalan zikir dan doa.

Kiai Solihin Babakan Cirebon santri senior yang menemani KH. Hasyim Asy’ari ketika dipenjara oleh Jepang. Kang Solihin lah yang merayu Jepang menjadi badal penyiksaan untuk KH. Hasyim Asy’ari, seperti pukul jari, direndam di drum minyak tanah, dicabut kuku-kuku jemari, hingga ditenggelamkan berulang ulang sampai 40 kali ke sumur dengan posisi kedua kaki di ikat dan kepala di bawah (Wawancara penulis dengan KH. Zamzami Amin Muslimin Babakan Ciwaringin Cirebon).

Badal siksaan yang dinisbatkan untuk gurunya adalah bentuk ta’lim seorang santri pada kiainya. Ki Solihin Cirebon juga memiliki ajian saepi angin yang membuat dia bisa berlari kencang, hal ini pernah disaksikan oleh tentara Jepang sendiri. Ketika KH. Hasyim Asy’ari ditangkap tentara Jepang atas tuduhan keributan di Cukir, Mbah Hasyim dinaikan di atas truk Jepang yang melaju cepat. Secara logika truk yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi tidak mungkin dikejar oleh seseorang dalam posisi jalan maupun lari dengan jarak 1 kilo lebih jarak dengan truk yang membawa Mbah Hasyim. Namun tidak mustahil untuk santri digjaya kaliber Kang Solihin. Dengan ilmu saepi angin kang Solihin mampu mengejar truk militer Jepang yang membawa gurunya. Kiai Solihin juga merupakan penyambung lidah santri, pejuang yang akan soan ke Mbah Hasyim. Bung Tomo sendiri adalah sahabat karib Kang Solihin bahkan sering minta khizib agar selamat dalam peperangan.

NU Diranah Politik

Sejak 1952 ketika NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik, NU sangat diperhitungkan karena langsung meraup suara yang sangat banyak bahkan masuk ke dalam 5 besar partai pemenang pemilu pada pemilu pertama 1955. Hingga penegasan untuk kembali ke Khittah NU 1926, ketika Muktamar Cipasung,NU dikomandoi oleh Gusdur (Abdurrahman Wahid), Kesaktian NU semakin nampak, mampu menembus sekat sekat budaya, memainkan peran kebangsaan yang kaffah, memasifkan masa gerakan yang terserak, lobi tingkat dunia, daya tawar NU semakin layak diperhitungkan ketika Gusdur menjadi Presiden RI ke-4.

Walau masa masa Gusdur gempuran dari Orba sangat ketara sekali. Masa-masa Gusdur ini kader-kader muda NU semakin bermunculan, sebut saja Mahbub Djunaedi, Zamroni dilanjutkan generasi sesudahnya Kang Sa’id Aqil Siradj, Khofifah Indar Parawansa, Masdar Farid Mas’udi, Gus Muwafiq hingga lahir generasi ketiga seperti Gus Ulil Abshar, Gus Yahya Staquf, Kiai Robikin, Gus Ipul, Cak Imin yang pernah dididik melalui kaderisasi non formal maupun kaderisasi kader. Akui tidak diakui mereka adalah orang-orang yang pernah dibesarkan oleh Gusdur.

Sampai detik ini kolaborasi gerakan wacana kultur dan struktural NU telah mampu melewati masa masa sulit. Rahim NU telah melahirkan tokoh-tokoh potensial yang berkhidmat untuk memaslahatan agama dan bangsa.

NU sebagai Anak Kandung Revolusi

Sejak kelahirannya NU telah ikut berkeringat memerdekakan Bangsa, mempertahakan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan tak Khayal bahwa NU merupakan anak kandung bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi, putra Pribumi berwajah mesem. Dari rahim NU lahir pula Ansor Banser sebagai cikal bakal Hisbullah dan laskar kerakyatan hingga pembentukan Tentara Rakyat Indonesia yang dimuliakan hari ketika Pembela Tanah Air (PETA) melebur menjadi Tentara Republik Indonesia, didalamnya manunggal pula para santri santri pesantren yang menjelma menjadi banser.

Dari segi wacana penulis kira tokoh-tokoh NU telah melampaui maqom para pemikir di jamannya. Dari segi gerakan kemanusiaan NU tidak hanya bermaqom nasional namun lebih dari itu telah mendunia. NU tidak berfikir untuk isi perutnya sendiri tetapi untuk pemberdayaan seluruh umat manusia di dunia. Pengakuan atas peran peran stategis NU pada negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda konflik sebut saja Suria, Palestina, Afganistan, Libya, Irak, Tunisia, Mesir termasuk negara negara Eropa, Vatikan sekalipun, maupun negara negara maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina mengakui eksistensi NU dalam mewujudkan Islam Wathaniyah dan Islam yang Rahmatan lil’alamin, Islam yang damai dan memberi penerang untuk yang lain.

Pertanyaannya apakah masih layak NU disebut dengan Islam tradisional? Kalau logika berfikir yang sudah terkonstruk penulis di atas sepertinya pernyatan Islam tradisional yang disematkan kepada NU sudah tidak kredibel lagi bahkan mungkin merupakan ejekan atau semacam sindirian oleh para peneliti barat era penjajahan Belanda yang sering memakai historiografi Eropa sentris. Dikotomi Islam Modern, Tradisional bahkan abangan adalah akal akalan untuk mengkerdilkan peran-peran keran konkrit Kiai-kiai NU dalam kehidupan berbangsa maupun dalam kancah dunia internasional.

Penegasan dan penyadaran ini agaknya menjadi penting untuk warga Nahdiyin bukan bermaksud untuk berjumawa ria seolah yang paling hebat, namun setidaknya untuk semakin memberikan kepercayaan diri agar tetap konsisten di garda depan mejaga marwah para kiai NU, mejaga NKRI, dan menebar damai keseluruh alam seperti pesan kanjeng Rasullulah SAW, untuk menyemai keselamatan dalam nafas Islam yang cinta damai dan rahmatan lil’alamin. Bukankah kiai (ulama) Ambiya walmursalin. Mereka para kiai (ulama) adalah pewaris para Nabi? Tentu saja Ulama yang dimaksud adalah ulama yang memberi rasa damai, yang merangkul bukan memukul, yang hampir sebagaian umurnya dinisbatkan untuk mendalami agama, memahami kandungan ayat suci Al-Quran, menghafal hadist, belajar kitab-kitab kuning, mempunyai nasab guru dan keilmuan yang jelas dan faham peta konsep hidup berbangsa, pergaulan internasional ini tentu saja semuanya dimiliki oleh ulama ulama NU, kiai-kiai NU yang sadar akan tugasnya untuk ngemong umat sampai akhir hayat.

Sejak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintahan Jokowi melalui Mentrinya Wiranto. NU menjadi bulan bulanan karena dianggap yang bermain dibelakang layar, hampir setiap kegiatan NU, maupun staitmen kiai-kiai NU secara organisasi maupun individu dimaknai miring oleh orang orang yang membenci NU. Namun itu tidak membuat NU kecil malah semakin membesarkan nama NU.

Pasca pemilihan umum 17 April 2019 yang sudah lalu, peran-peran NU untuk mewarnai kehidupan berbangsa tentunya semakin strategis, ini harus dikuatkan dengan semangat satu gerak, satu komando satu pemahaman dalam mengawal bangsa yang terus dinamis agar sejahtera dan maju rakyatnya. Wallahu alam.

(Penulis, Kader Muda NU Jabar).

Baca juga resensi buku lainnya :

  • Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
  • Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
  • Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.