AYO NGAJI 6: Mati Sebelum Mati
Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.
Rasululullah SAW bersabda:
“Man arāda an yanzura ilā mayyitin yamshi `alā wajhi al-ardi falyanzur ilā Abī Bakrin”.
Al-Muqri, Nafhuth Thayyib (V:164), dalam Sharhu Hikām al-Shaikh al-Akbar, hlm. 149.
Terjemah Jawa: “utawi sapane wong kang pengen ndelok marang mayyit sing isoh mlaku ono ing dunyo, mongko iku ndeloko Abu Bakar Radiyallahu `anhu”.
Terjemah Indonesia: “barang siapa ingin melihat kepada orang mati yang bisa berjalan di permukaan bumi maka lihatlah kepada Abu Bakar Radiyallahu `anhu”.
Semakna dengan hadis di atas, juga ada hadis yang menyebutkan “mūtū qabla an tamūt“ (al-Ajluni, Kashful Khafa, II: 1666). Mati sebelum mati adalah disiplin dalam menjalankan sunnah Kanjeng Nabi, di bidang tasawuf, agar kita bisa mati lebih dulu menjelang kematian itu datang. Makna lahirnya seperti bertolak belakang, apa mungkin mati sebelum mati. Ternyata mungkin, dan karenanya hadis Nabi itu tidak bertolakbelakang. Mati sebelum mati, adalah kematian kehendak iradah dari nafs, sebelum datangnya kematian ajal yang ditentukan Allah.
Mūtū qabla an tamūt adalah salah satu metode yang dipakai untuk bisa menjangkau Nurullah supaya bisa hadir dalam hati kita. Kanjeng Nabi mencontohkan Sayyiduna Abu Bakar, sahabat senior dan mertuanya, sekaligus Khalifah pertama setelah Kanjeng Nabi meninggal, sebagai figur yang telah sempurna bisa melakukan laku itu.
Menurut para ahli di bidang ini, seperti dikemukakan Pensyarah Sharhu Hikam al-Shaikh al-Akbar (hlm. 1540) kematian seperti ini dapat dilakukan dengan 4 jenis cara, dan karenanya juga berimplikasi pada terjadinya 4 macam jenis manusia yang mengalami mati sebelum kematian tiba. Semua pelakunya adalah masih hidup, ya makan bareng keluarganya, pergi ke masjid, bekerja, dan sabagaimana layaknya orang hidup di dunia (yo mangan bareng keluargane, neng mejid, megawe, lan sakpiturute bongso sesrawungan urip nang donyo).
Keempat metode ini, pertama adalah puasa, memperbanyak latihan menahan rasa lapar (disebut mautu abyadh, karena putih jernih hatinya), memperbanyak sabar (disebut mautu aswad, karena kedahsyatannya menanggung penderitaan), memerangi nafsu terhadap apa yang diperintahkan dan dilarang (disebut mautu ahmar karena kemerahan hatinya sebab dia berjalan dengan keabadiannya), dan qanaah-riȡa (disebut mautu akhȡar, karena, yukhaȡiru bustani `aishihi, menhijaulah kebun hati dalam kehidupannya).
Orang yang banyak puasa itu lapar, seperti nasehat para guru dan syair-syair obat hati, lapar itu salah satu jalan yang bisa untuk mengobati hati yang sakit. Hati yang sakit itu artinya tidak sehat, tanda-tandanya seperti: tidak nyaman kalau ibadah, tidak takut sama perintah dan larangan Allah, tidak mau menerima nasehat-nasehat, dan tidak mau menerima ilmu yang diajarkan.
Pertama, jalan puasa untuk mematikan hawa nafsu yang tercela (tapi nafsu sendiri tidak akan mati, dan bisa menjadi muţmainnah), ada yang dengan berpuasa Daud, puasa Senin Kamis, puasa tengah bulan, dan sebagainya. Jalan puasa dapat mematikan kehendak jahat, yaitu puasa yang dibarengi dengan esensi puasa, seluruh badan, pikiran, hati, akhirnya terkulailah hawa nafs-nya. Esensi puasa juga menasehati nafs dan mengusir tentara-tentara nafs.
Orang yang gemar berpuasa, hatinya menjadi putih jernih dan cermin hatinya akan mengkilap, akibat menyedikitkan makan. Hatinya kemudian siap menjadi wadah terbitnya Nurullah.
Kedua, jalannya orang yang sabar, yaitu sabar dalam menghadapi kehidupan dan penderitaan, maka orang yang sabar itu dibarengi terus sama Gusti Allah, innallaha ma`a al-şabirīn. Bisa jadi, orang tersebut diberi sakit oleh Allah sejak kecil, atau ketika menginjak remaja, atau di tengah umurnya, dan dia bersabar dalam berusaha menyembuhkannya, tetapi Allah belum mengabulkan usaha dan permohonannya. Orang itu bisa mengalami kematian iradah dengan jalan sabar menghadapi penderitaan sakitnya itu, tetapi tidak kehilangan keseimbangan dengan stress dan bingung, malah kembali kepada Allah dan bermunajat terus menerus.
Orang seperti ini bisa menjadi wadah kehadiran Nurulllah di dalam hatinya. Bahwa setelah itu dia disembuhkan atau diberi penyakit terus menerus adalah terserah kehendak Allah, dan tidak dipersoalkan lagi. Orang yang sabar itu, ibarat diterkam ular, dia hanya munajat kepada Allah, tak bergeming. Tetapi karena dahsyatnya dia menahan penderitaan, justru orang lain merasa kasian, padahal sejatinya dia sendiri merasa senang setelah ditimpakan bahwa jalan penderitaan dan menahan sabar itulah salah satu yang bisa menghantarkannya memperoleh pengalaman spiritual, hadirnya Nurullah di hatinya.
Ketiga, orang yang menjadi mujahidu al-nafs min al-zamimah, dari akhlak tercela, dengan sarana memperbanyak melakukan perintah Allah dan menjauhi larnganNya, bi al- istiqāmah. Kalau diberkahi Allah dengan jalan ini, menurut Mula Hasan bin Musa al-Qadiri al-Shafi`i, orang tadi bisa faham makna-makna ghaib, dan mendengarkan suara-suara min `arshihi (hlm. 150). Suara-suara ini, bisa saja datang setelah berdzikir, shalat sunah dan atau menjelang tidur, tergantung kehendak Allah yang memberikan keutamaan kepada orang jenis ini.
Keempat, mati karena qana’ah dan ridha, terhadap suatu yang diberikan kepadanya dari segala jenis pemberian Allah, baik dari wajah kenikamatan, atau diberi Allah yang sedikit, min al-qalīl. Merasa cukup dan syukur kepada Allah. Orang yang lelaku batin qana’ah dan ridha ini juga menyebabkan kematian kehendak, yang menyebabkan hati seseorangh menjadi bersih, dan siap menerima Nurullah.
Keempat jalan kematian saat hidup (sak jeroning urip) itu banyak dilakukan para guru-guru ma’rifat dan orang beriman. Bagi yang dikehendaki Allah mendapat izin wuşūl, jalan maut itu juga menjadi sarananya. Ada yang sanggup menjalankan hanya satu jenis metode kematian yang ada, ada yang dua dan ada yang merangkum keseluruhannya.
Sayyiduna Abu Bakar disebut Kanjeng Nabi adalah orang yang telah purna dalam soal laku kematian ini. Maka ilmunya adalah `irfani, sehingga ketika Nabi Muhammad mi’raj, banyak yang lain mempertanyakan dengan akalnya, dan hampir kembali kepada kekafiran, tetapi Sayyiduna Abu Bakar, adalah orang membenarkannya dengan iman. Sebuah tanda bagi orang yang mengalami derajat ma’rifat yang tinggi dan dalam, ketika yang lain mengalami keresahan dan bimbang.
Şahibu al-kitab Hilyat al-Auliyā’, Abu Nu’aim al-Aşfihani, menyebutkan salah satu keutamaan yang dimiliki sahabat Abu Bakar ini, adalah ketika beliau berkata kepada Sahabat Umar agar tidak menangis dan berbicara terus kepada umat Islam setelah wafatnya Nabi, dan agar diterima dengan ikhlas. Bila kalian menyembah Kanjeng Nabi Muhammad maka telah wafat, dan bila kalian menyembah Allah maka Allah senantiasa hidup. Sahabat Umar pun akhirnya terdiam. Dan seluruh umat Islam saat itu yang hadir membaca ayat yang dibacakan Sayyiduna Abu Bakar, wamā Muhammadun illā Rasūlun qad khalat min qablihi al-rusul… Abu Bakar disebut sebagai sahabat Nabi yang telah mencapai asna mawāqif al-şafā (hlm. 29), kelembutan hatinya sangat mendalam.
Kematian iradah yang dialami Sahabat Abu Bakar, menyebabkan dia sering menangis, bahkan ketika dia sedang mau minum air. Diceritakan dalam kitab Hilyatu al-Auliyā’ itu (hlm. 30-31), dari Zaid bin Arqam, bahwa Sayyiduna Abu Bakar meminta air kepada orang-orang. Lalu dibawakan air dan madu. Ketika ia mau mengangkat air sampai ke mulutnya dia menangis. Tangisannya pun menyebabkan orang-orang di sekelilingnya juga menangis. Kemudian beliau terdiam dan berhenti menangis. Tapi orang-orang di sekelilingnya menangis terus. Abu Bakar kemudian menangis lagi. Singkat cerita, setelah itu Abu Bakar ditanya, apa yang menyebabkan engkau menangis. Ternyata beliau teringat Rasulullah, ketika menghalau sesuatu dan dia tidak melihat apa yang dihalau Rasulullah. Lalu dia bertanya kepada Rasulullah, apa gerangan yang Anda halau aku tidak dapat melihatnya. Rasulullah menjawab: Dunia mengulurkan tangannya kepadaku, lalu aku berkata kepadanya supaya meninggalkanku. Dalam riwayat lain, ini ada tambahannya, dunia berkata: walaupun kamu telah berhasil keluar dari perangkapku, tetapi orang-orang selepasmu, tidak akan lepas dari godaanku. Begitulah yang menyebabkan sahabat Abu Bakar menangis.
Ketika beliau meninggal, hartanya telah diserahkan ke baitu al-mal, yaitu setelah dilantik sebagai khalifah. Setelah dilantik, beliaupun pergi ke pasar untuk jualan kain. Tetapi akhirnya sahabat Umar dan Abu Ubaidah menetapkan tunjangan untuk kehidupan hariannya. Padahal dia seorang pemimpin, mertua Nabi, orang yang sebelumnya juga kaya dan menjadi orang ahli shadaqah, ahli sembahyang, puasa, ahli wirid dan segala kesempurnaan ibadah. Orang yang sempurna setelah Kanjeng Nabi Muhammad itu pun dikatakan telah meninggalkan iradahnya diibaratkan sebagai mayat berjalan di permukaan bumi, karena matinya keinginan pada dunia, dan musnahnya akhlak-akhlak tercela.
Salah satu hal penting lain, sahabat Abu Bakar bisa melakukan demikian, karena juga menerima wirid dari Kanjeng Nabi secara sirr, yang kemudian terkenal dalam rantai silsilah berbagai thariqat, di antaranya Naqshabandiyah, yang menggunakan metode sirr, dengan berdzikir asma Allah. Silsilah thariqat Nashabandiyah dengan berbagai variasinya bersumber dari Kanjeng Nabi kepada sahabat Abu Bakar ini. Kematian yang sempurna sebelum mati, itulah yang oleh Ibnu Arabi kemudian disebut dengan rumusan “man lam yamūt `an hawahu la yumkin an yarāhu” (al-Hikam al-Ilahiyah, No. 18), barangsiapa yang belum mematikan hawa nafsunya, yaitu kecenderungan nafsu-nafsu yang jahat, maka orang tersebut tidak akan mungkin bisa ma’rifat kepada Allah. Nurullah hanya bisa dijangkau manakala wadah dalam hati kita sudah bisa mencapai taraf kejernihan karena mengalami kematian-kematian yang demikian itu.
Sabar, puasa, istiqamah qana’ah-ridha, juga melaksanakan ma amarahu dan menjauhi ma nahahu adalah cara untuk sampai ke titian itu.
Dihubungkan dengan wiridnya ini, maka wirid sebagaimana juga Sayyiduna Abu Bakar, adalah pesawatnya, gerbongnya, pedangnya bagi seorang murid dan salik, sementara sabar, qana’ah, ridha, dan sejenisnya adalah laku batinnya. Buahnya adalah laku lahir yang mencintai Kanjeng Nabi dan berakhlakul karimah kepada semesta.
Semoga kita diberkahi oleh Allah, dan mampu dengan izin Allah meniru salah satu metode kematian di atas untuk menjernihkan hati kita. Amin.
Kyai Nur Kholik Ridwan
Murid Qadiriyah-Naqshabandiyah-Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad. Pernah aktif di Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).
alhamdulillah