AYO NGAJI 7: Allah Bersama Orang yang Dzikir Kepada-Nya
Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan.
Gusti Allah berfirman: “Anā jālisun man dhakaranī”. (Hadis Qudsi, dikutip Imam Abdul Wahab al-Sha’ranī, al-Anwar al-Qudsiyah, hlm. 34).
Terjemah Jawa: “Ingsun Gusti Allah mbarengi lelungguhan marang wong sing dzikir marang Aku”.
Terjemah Indonesia: “Saya duduk bersama orang yang dzikir kepada-Ku”.
Sama dengan bunyi hadis diatas, ada hadis yang berbunyi: “Anā ma`a `abdī idhā dhakaranī wataharrakat bī shafatāhu”. Artinya: Saya (Gusti Allah) bersama hamba-Ku yang dzikir kepada-Ku, dan bergerak kedua bibirnya sebab mengingat-Ku. Hadis ini dikutip Imam al-Suyuţi dalam kitab Lubabul Hadith, bab Faȡilatu Dhikrillahi Ta`ala (hlm. 50).
Ngaji bab ini, Allah jālisun, khusus kita mengaji di dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyah, tentang adab dan huȡur dalam dzikir. Yang dimaksud Allah jālisun, menurut Imam Abdul Wahab al-Sha’rani, saya perjelas:
- Maksudnya itu, Gusti Allah tidak datang ke suatu tempat di langit dan bumi. Tapi sejatinya adalah al-qurbu min haȡratillah al- khaşşah, wa mujalāsatuha min ghairi hijab. Maksudnya adalah kedekatan akan huȡur-nya Allah dalam keadaan khusus dan mujalasahnya itu dibukanya hijab.
- Al-Mujalasah dihubungkan dengan Allah adalah inkishāfu al-hujbi li `abdihi, dibukanya selubung hamba-Nya, dan sesungguhanya orang berdzikir itu di antara Kuasa-Nya Allah dan Allah melihat-Nya. Dan kapan saja, seorang yang berdzikir mengalami shuhūd yang demikian, maka disebut jālisullah, Allah menemani duduk bersama orang tersebut.
Dalam hal terbukanya hijab, para ahli ma’rifat sepakat bahwa futūh di malam hari, itu lebih dekat terjadinya daripada di siang hari. Syarat untuk itu adalah, dzikirnya harus dilakukan dengan dua hal, yaitu bi al-adāb wa al-huȡūr. Syarat huȡūr, tadi sudah dijelaskan di atas, intinya haȡratu al-Haqq, dimana dalam berdzikir, orang itu yaqin dan ngerti bahwa Allah jālisun bersamanya, wa istişhabun bersamanya. Huȡūr ini bisa didapatkan dengan izin Allah dan usaha dzikir yang menggunakan adab.
Adab yang dilakukan seorang yang berdzikir ada yang harus dilakukan sebelum dzikir, ketika dzikir, dan setelah dzikir. Sebelum dzikir ada lima hal, dan menurut resep dari Imam Abdul Wahab al-Sha’rani, yaitu: harus taubat dengan kesungguhan taubat, yaitu yang disebut dengan taubatan naşuha, dari perkataan perbuatan dan keinginan; mandi dan wudhu bila hendak berdzikir dan memberi wewangian pada baju yang dipakai atau sorban yang dipakai; al-sukūn wa al-sukūt, tenang dan diam, karena merasa dia akan menghadap Gusti Allah; yaqin dengan syaikhnya dan himmahnya syaikh di dalam dzikir; dan keyakinan itu diteruskan bahwa gurunya itu, dzikirnya dari Rasulullah, dan Rasulullah menjadi wasilah antara dia dan gurunya, dan gurunya ke atas sampai Rasulullah.
Sedangkan ketika berdzikir, adabnya adalah: duduk di tempat yang suci; duduk menghadap kiblat bila sendirian dan bila jama`atan melingkar; memberi wewangian pada tempat dzikir; mengenakan atau menggunakan pakaian yang halal; membayangkan gurunya, atau biasanya disebut rabithah; memejamkan matanya; jujur ketika dzikir baik dalam sirr atau alan; ikhlas yang dibarengi jujur tadi akan menghantarkan pada maqam shidiqiyah; memilih lafadz dzikir tertentu; menghadirkan makna dzikir di hatinya sesuai derajat musyahadah yang berdzikir; dan mengosongkan hati dari setiap sesuatu selain Allah.
Sedangkan adab setelah berdzikir adalah: diam setelah tenang, khusyu’ dan huȡūr al-qalbi dari dzikir, adakalanya dia memperoleh sesuatu dari waridnya dzikir, setelah riyadhah dan mujahadah selama 30 tahun, dan adakalanya dia dijadikan sebagai seorang yang zuhud; adakalanya dia dijadikan sebagai seorang yang penyabar, dan adakalanya dijadikan sebagai orang yang takut kepada Allah; setelah diam lalu menghela nafasnya, sekiranya 3 kali nafas atau tujuh atau lebih; dan tidak meminum air yang dingin langsung. Kalau minum ya nanti setelah jeda agak lama. Rahasianya, karena dzikir akan menimbulkan hawa membakar nafs, dan air dingin itu akan meredam energi itu.
Itulah penjelasan dari kitab al-Anwar al-Qudsiyah lewat bahasa saya.
Penting satu hal, di sini ditekankan memberi makna terhadap dzikir yang dilakukan. Tujuannya agar di dalam berdzikir bisa khusuk, fikiran tidak kemana-mana. Fikiran ke mana-mana, misalnya sedang dzikir, tapi fikirannya sedang ada di meja makan, atau ada di rumah seseorang, karena baru saja melamar, dan diterima sehingga berbunga-bunga, sampai terbawa-bawa dalam fikirannya ketika dzikir. Sehingga tidak fokus.
Akan tetapi, masing-masing guru pemberi ijazah bisa saja berbeda-beda soal ini, dalam melatih muridnya memberi makna dalam dzikirnya.
Seorang guru saya tanya, apa yang terjadi kalau seseorang yang sedang berdzikir itu?
Sang guru menjawab.
Seseorang berdzikir lisannya berucap, batinnya yang muncul dari nafs belum tentu bersesuaian, dan daya dalam fikirannya bergerak ke mana-mana. Dari jurusan fikiran ini, ia dihiasi imajinasi ke sana-kemari, karena tidak memiliki fokus.
Fokus ini bisa dipotong dengan rabithah terhadap gurunya, sehingga yang hadir adalah cahaya keberkahan gurunya sampai kepada Kanjeng Nabi, sampai kepada Allah.
Sementara batin dari nafs dan tentaranya menginginkan dzikirnya dibelok-belokkan, dikendalikan kalau perlu diberhentikan; dan kalau orangnya setengah sadar, dibelokkan, dikelirukan dengan bacaan-bacaan lain, dan sering terjadi begitu. Kalau dia masih terus duduk setengah sadar terus dzikir, bacaannya banyak yang keliru dan itu tidak baik. Karena setan sudah masuk dalam dzikirnya. Hal semacam itu dzikirnya dicuri setan. Oleh karena itu, kalau benar-benar ngantuk tidak kuat, tidur dan nanti berdzikir setelah sadar kembali, sehingga bisa huȡūr dan khusyu’.
Salah satu contoh, dzikir yang diberi makna, dalam thariqat yang kami ikuti, Qadiriyah, dzikir ‘lā ilāha illallāh’ diberi makna 17 lapis dalam bahasa Jawa. Ketika seseorang berdzikir ‘lā ilāha illallāh’, di batinnya harus dibarengi dengan lisan batin berucap: mboten wonten Pangeran engkang kulo sembah anging Panjenengan Gusti (Tidak ada Tuhan yang saya sembah kecuali Allah); mboten wonten Pangeran engkang kulo sejo anging Panjenengan Gusti (Tidak ada Tuhan yang saya maksud kecuali Allah); mboten wonten Pangeran engkang kulo remeni anging Panjenengan Gusti (Tidak ada Tuhan yang saya cintai kecuali Allah), mboten wonten dzat engkang maujud anging Panjenegan Gusti (Tidak ada Dzat yang maujud kecuali Allah), dan seterusnya sampai 17 jenis.
Sangat sulit melatih lisan dhahir mengucap ‘lā ilāha illallāh’ dan lisan batin mengucap makna-makna tadi, dan perlu latihan terus menerus.
Dengan begitu diharapkan, berdzikir yang Allah menyebut dengan Anā jālisun man dhakaranī, bisa terjadi. Akan tetapi orang tidak boleh lupa, bahwa akan terjadi huȡūr dan hanya bisa terjadi datangnya warid dengan kemurahan Allah, seperti disebut tadi sama Imam Abdul Wahab al-Sha’rani, ada yang memperoleh warid dari wiridnya, bahkan setelah 30 tahun.
Bahkan para guru yang lain, tidak bosan-bosan menekankan, bahwa mereka belajar adab lebih lama dari belajar ilmu, dan yang terpenting adalah bagaimana dengan usaha semaksimal mungkin bi al-adab itu tadi, dzikir dilakukan istiqamah. Istiqamah dalam dzikir itu, kata Kanjeng Nabi, termasuk alamat orang disebut cinta Allah, dan alamat orang yang benci dengan Allah adalah benci dzikir, `alāmatu hubbillāh dhikrullāh, wa `alāmatu bughdillāh bughdu dhikrillāh (Lubabul Hadith, hlm. 50).
Semoga kita termasuk orang yang dirahmati Allah dan menjadi istiqamah dzikir bi al-adab wa al-huȡūr, dengan dzikir apa pun yang telah diambil dari para guru masing-masing. Amin.
Kyai Nur Kholik Ridwan
Murid Qadiriyah-Naqshabandiyah-Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad. Pernah aktif di Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).