Life Coding ; Perspektif Mama Abdullah bin Nuh
Alfi Saifullah *) – Ini tidak dalam rangka membahas Will to Power versi Friedrich Nietzsche beserta beberapa poin-poin turunannya seperti, Übermensch, Kematian Tuhan, dan Nihilisme―yang berujung pada kebebasan individu dalam menentukan jalan hidup. Lebih parah lagi penafian atas ketuhanan dan nilai-nilai tauhid yang dijunjung tinggi oleh NU, dengan teologi Al-Asy’ari (w 936 M) dan Al-Maturidi (w 944 M) sebagi rujukan utama. Tidak. Ini adalah uraian yang berusaha membahas tentang Pemrogaman Hidup, Sangkan Paraning Dumadi, Life Coding, atau Existential Programming. Tentang bagaimana Habit Formation, Esensi, dan Goal Setting dalam kehidupan. Inilah pemikiran yang sederhana tentang hidup―Namun, penuh dengan kompleksitas. Pemikiran yang kami kutip dari sosok KH. Abdullah bin Nuh (1905-1987) atau Mama Abdullah bin Nuh―ulama besar dari Tanah Pasundan yang dikenal sebagai Al-Ghazalinya Indonesia.
Asumsi Fundamental (fundamental assumptions)
Dalam Majalah Pembina, Mama Abdullah pernah menulis sebuah artikel bertajuk, Satu-satunya program kehidupan insani. Mengawali narasinya, beliau telah menyodorkan analogi menarik,
“Manusia harus memilih satu program bagi kehidupannya didunia ini. Saya tekankan “memilih” sebab ia tidak seperti air di sungai yang sudah tentu saluran paritnya. Tidak juga seperti pohon yang tumbuh dan membesar menurut undang-undang alam tertentu. Tidak pula laksana binatang, hewan yang ditarik atau di dorong nalurinya. Tidak, manusia tidak demikian halnya, meskipun ia terpaksa tunduk kepada undang-undang alam dalam sebagian besar dari kehidupannya, namun dalam banyak segi lainnya ia harus memilih jalan sendiri dan menjalankan program yang disetujuinya.”
Dalam narasi sederhana-nya, Mama telah menegaskan bahwa manusia memiliki perbedaan fundamental dengan makhluk lainnya, ia mempunyai tujuan dan misi-misi tertentu ―misi sebagai agent of change atas sebuah peradaban, serta Wakil Allah di muka bumi (Khalifatullah fi al-Ardh) yang harus menjalankan program hidupnya dengan baik, benar, dan terarah. Jika makhluk lain di muka bumi hanya, taken for granted, tidak demikian halnya dengan manusia. Ia mempunyai serangkaian tugas mulia yang harus diemban. Karena tugas yang maha berat itu, manusia dianugerahi beberapa potensi oleh-Nya―potensi yang menurut Mama terdiri dari 4 komponen utama. Tanpa 4 komponen ini, manusia hanyalah seonggok daging, yang berjalan kesana kemari tak ubahnya hewan, atau bahkan lebih sesat―seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an.
1. Hawa Nafsu, keinginan insani;
2. Akal, budi;
3. Pengalaman, percobaan, dan penyaksian;
4. Catatan sejarah.
Meski demikian, Mama menegaskan bahwa 4 komponen tersebut memiliki kelemahannya masing-masing, “Hawa nafsu atau keinginan insani sering tersesat. Akal, meskipun penting, namun akal insani ada batasnya. Ilmu empiris, walau sangat besar faedahnya, namun terbatas pula luas dan dalamnya. Demikian pula halnya dengan sejarah.” Dengan menyadari terhadap kelemahan beberapa potensi yang tersebut, manusia memerlukan sistem pemrogaman hidup yang kompleks, holistik, dan selalu upgrade di setiap masa dan tempat.
Tujuan dan Aktualisasi
Dalam kajian manajemen modern tentang self healing, tentang pemrograman hidup (Life Coding), ada beberapa elemen dan tangga yang perlu di perhatikan dan menjadi prioritas utama manusia seperti, Perencanaan Tujuan (Goal Setting), Penerapan Prosedur, dan Kebiasaan (Habit Formation). Namun sekali lagi, sebagai ‘wakil-Nya’ dimuka bumi, dalam mebuat program hidup manusia harus merenung sejenak. Merenung akan tujuan hidup. Seperti pendapat dari Aristoteles, bahwa manusia perlu memiliki konsep “telos” atau tujuan akhir. Dalam Nicomachean Ethics, ia menjelaskan bahwa setiap makhluk memiliki tujuan tertinggi yang harus dicapai. Bagi Aristoteles, tujuan tersebut adalah eudaimonia—kebahagiaan yang mendalam dan abadi, yang dicapai melalui kebajikan dan kesempurnaan moral. Dalam bahasa yang lebih sederhana Mama mengatakan, “manusia lebih dahulu mengetahui hakikat dirinya dan hakikat dunia dimana ia berada, dan menginsani kedudukannya dalam alam semesta ini. Demikian pula untuk membuat program tersebut itu harus ia tahu hakikat hidup dunia ini. Apakah hidup ini berdiri sendiri atau hanya suatu mukaddimah bagi yang kemudian daripadanya? Apakah hidup ini suatu perjalanan dimulai dengan lahir dari rahim ibu dan di akhiri dengan masuk ke lubang kubur atau hanya merupakan taraf dari taraf-taraf suatu perjalanan yang amat jauh?”. Jika hasil perenungan ini berhasil, dan terpatri dalam pemikiran, lebih-lebih kedalam hati sanubari, maka akan berbuah konklusi sederhana akan pemrograman hidup―Bahwa “Yang penting baginya tidak hanya menemui sistem-sistem tersendiri bagi tiap cabang kehidupan, tetapi yang penting itu ialah sistem, aturan program yang meliputi, yang umum, yang mengenai segala sesuatu, yang komprehensif, yang universal, yang menjamin tercapainya tujuan akhir bagi manusia.” Inilah goal setting utama yang diharapkan oleh Mama Abdullah. Menejemen hidup yang tidak hanya menekankan aspek lahiriyah, namun juga aspek bathiniyah. Ya, duniawi. Juga Ukhrawi.
Agama sebagai solusi
Pada gilirannya, segala potensi yang diunggulkan manusia, meliputi Hawa Nafsu, Akal, Empirisme, dan Pengalaman Sejarah, tidak benar-benar bisa menjawab problematika manusia yang kian hari, kian absurd ditengah kompleksitas hidup dan menuntut adanya sistem yang selalu upgrade, elastis, dan dinamis. Sosok KH. Abdullah bin Nuh, tidak hanya seorang ulama, ia juga sejarawan―bahwa sejarah telah memberikan fakta dan data tentang berbagai ideologi, produk pemikiran manusia, akan selalu berakhir dengan kehancuran. Kebuntuan. Terhitung dari Liberalisme hingga Atheisme dan isme-isme lain selalu berakhir dengan kebuntuan, juga kehancuran. Kehancuran bisa berarti kehancuran instrumen hidup, nilai-nilai, etika, moralitas atau estetika, atau bisa jadi paham itu perlahan namun pasti mulai ditinggalkan oleh manusia sebagai konsumennya. Mama Abdullah adalah seorang sufi sejati. Penganut Imam Al-Ghazali. Dari serangkaian pembacaannya terhadap literatur klasik, terutama karya-karya Al-Ghazali dan sejumlah pengalaman hidupnya, ia mencoba menawarkan Islam sebagai satu-satunya solusi. Mama menegaskan,
“Manusia tidak mampu, sebab program sempurna tadi itu tidak lain an tidak bukan ialah “Din”, yang untuk mudahnya, kita sebut degan perkataan “agama”.
“Inna dina indallahi al-Islam” (sesungguhnya din, pada sisi Allah itu ialah Islam) demikian firman-Nya Swt (QS. Al-Imran : 19).
Islam itulah satu-satunya program kehidupan insani yang memenuhi syarat-syarat tadi itu.”
Ya, pada akhirnya, Islam-lah yang menjadi solusi utama. Islam sebagai padangan sunia (world view), sistem sosial, tata nilai, dan seterusnya,
Kesimpulan
Untuk menutup uraiannya, Mama Abdullah, memposisikan sebagai ulama―ia membeberkan substansi dari serangkaian uraiannya tentang pemrogaman hidup,
“Tulisan ini saya maksudkan agar supaya setiap orang yang setia kepada alam hati nuraninya sendiri bangkit untuk mempelajari dan meneliti arti dan isi Islam itu.” Ini adalah uraian yang wajar dari seorang ulama kharismatik. Ulama penuntun umat, untuk selalu menyampaikan nasihat yang baik (mauidzoh al-Hasanah). Ulama Sufi yang selalu berharap agar umatnya menggunakan potensi hati nuraninya dalam menjalni kehidupan. Kehidupan yang dilandasi dengan Islam sebagai nilai utamanya. Demikian.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Mutiara Ihya’ Ulum al-Din. Jakarta: Mizan, 2008.
Aristoteles. Nicomachean Ethics. Terjemahan oleh W.D. Ross. Oxford: Oxford University Press, 2009.
Plato. Phaedo. Terjemahan oleh G.M.A. Grube. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1997.
Dr. Muhammad Syafii Antonio, M. Ec dan tim azkia. KH. Abdullah bin Nuh; ulama sederhana kelas dunia (ulama, tentara, pendidik, sejarawan, pemikir ekonomi, jurnalis). Tazkia Publishing, Jakarta. 2015.
Penulis adalah peneliti, penulis buku sejarah dan biografi ulama,dan founder Teras Rasa.id