Tidak Sekadar Manisnya Dodol: Garut dalam Narasi Tokoh Ba’alawi #1

Oleh: Alfi Saifullah
Introduction
Membicarakan Kota Garut, tidak melulu soal suksesnya Rina Nose sebagai presenter, menikmati lezatnya Dodol Garut sembari berendam air hangat di Cikarees, atau tentang kehebatan domba Garut dalam adu ketangkasan―dus, yang menggeret H. Rhoma Irama untuk membuatkan lagu khusus tentangnya. Tidak. That’s not all. Lebih parah lagi, mengaitkan Garut dengan Gerakan Iluminati. It’s like putting a square peg in a round hole. Garut lebih dari itu semua, ia adalah percikan tajalli Al-Jamal. An sich, entitas eksotika itu sendiri. Kualitas artistik serta keindahan. Keindahan adalah keindahan―terminologi yang tak bisa di definisikan, kata-kata tak pernah mewakilinya, ia harus dirasakan. Seperti kata Kahlil Gibran dalam The Prophet, “The most beautiful things in the world cannot be seen or even touched, but must be felt with the heart.”
Dalam sejarahnya eksotika Garut pernah direkam oleh seorang tokoh Ba’alawi, Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf (1882-1950)―dalam roman epiknya yang berjudul, Fatat Garut (Gadis Garut). Its, saya bukanlah pembela Kiai Imad ataupun kelompok Ba’alawi, beserta kedua pendukungnya masing-masing. Tidak. Kedua-duanya adalah saudara saya, setidaknya dalam koridor ukhuwah insaniyah, wathaniyah-indunisiyah, lebih-lebih Islamiyah. Meminjam istilah Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES, 2013), mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Lebih-lebih, sebagai warga Nahdliyin―saya sangat takdzim kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mengutip perkataan Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf dalam Muqadimah Qanun Asasi, the first undang-undang, AD-ART NU yang pertama. Itu mengindikasikan bahwa kedua tokoh itu memiliki hubungan yang spesial. Hubungan dekat.
Roman yang terdiri dari 2 volume tersebut, pertama kali terbit di Solo pada tahun 1929―pada tahun yang sama terbit pula volume ke-2 di Jakarta. Dalam tulisan kali ini, kami menggunakan novel yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ali Yahya, mantan Pimpinan Redaksi Majalah Al-Kisah, dengan judul Gadis Garut. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Jakarta pada 1997 dan selanjutnya dengan edisi baru pada tahun 2008. Meski terdapat beberapa catatan terhadap roman ini, terutama dalam menggambarkan karakter tokoh local seperti, Rusna, Minah, atau Kyai Mukhtar―namun, saya sangat mengapresiasi narasi positivisme ala Sayyid Ahmad tentang eksotika Kota Garut yang menjadi bahan pokok utama tulisan ini.
Ini mah, tentang Eksotika Garut
Sayyid Ahmad mencoba memotret Kota Garut dari sudut pandang eksotika alam, topografi, kultur dan moralitas orang Sunda. Well, pria kelahiran kota Syihr, Hadramaut itu berkata di bagian awal Fatat Garut,
“Garut adalah sebuah kota di Priangan, yang terletak di Pulau Jawa, salah satu pulau di Kepulauan Asia Pasifik. Seandainya Pulau Jawa yang dianugerahi oleh Allah tanah yang subur dan pemandangan yang indah, kita umpamakan seikat cincin zamrud, maka Garut adalah pusat dari cincin itu yang merupakan permata yang tiada bandingnya”
Dalam paragraf selanjutnya,
“Pulau Jawa mempunyai keistimewaan dibandingkan pulau-pulau lain dengan hasil buminya yang melimpah, tanahnya yang subur, dan pemandangan alamnya yang indah. Sedangkan daerah Priangan dibandingkan daerah-daerah lain di Pulau Jawa mempunyai keistimewaan lagi karena semua yang ada disana menarik perhatian dan menyejukkan pandangan. Bukit-bukitnya, Lembah-lembahnya, dan dataran-datarannya Bagai ditutupi kain sutera hijau yang ditenun oleh tangan-tangan alam”
Dalam titik ini, Sayyid Ahmad telah terpesona dengan eksotika alam tanah Garut, sehingga ia perlu menganalogikan Garut sebagai pusat cincin. Tentu, dalam perjalanan hidupnya ia telah mengalami serangkaian kondisi yang kontras, skala perbandingan antara Hadramaut dengan Garut yang sangat jauh. Bahwa, terminologi Garut adalah tentang sebuah keindahan adalah mutlak adanya. Potongan partikel-partikel surgawi. Lebih dari itu semua, ia adalah anugerah Tuhan yang tak terkira. Up next, Sastrawan Ramadhan K.H (1927-2006) dalam Priangan si Jelita (Pustaka Jaya,1956) mencoba menarasikan eksotika Garut dengan Dendang Sayang-nya,
“Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.”
Bahkan, Grand Mufti of Syria, Syaikh Ahmad Kaftaru, dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1997, berkomentar tentang indahnya bumi Priangan, Hadhihi qit’ah min al-jannah ‘ala al-ard (ini adalah potongan surga yang berada di atas bumi). Well, atas keindahan yang tak terkira itu, Sayyid Ahmad menutup kekagumannya tentang pesona Garut,
“Jika Anda berjalan-jalan keliling kota, Anda akan melihat pemandangan-pemandangan yang Allah jadikan dapat menghibur hati yang sedang sedih dan jiwa yang sedang berduka. Anda akan lupa dengan kesedihan dan kesusahan anda. Saat anda berada di daerah itu terasa seolah-olah diri anda sedang berada di alam yang lain dari alam tempat hidup anda. Anda berada di suatu alam dimana teman anda adalah pemandangan yang indah dan kawan bicara anda adalah alam yang nyata.”
Membicarakan pesona Garut, tidak ada habisnya, It never ends. Jika seorang etnis Arab-Hadrami seperti Sayyad Ahmad bin Abdullah Assegaf, saja sangat kagum akan pesona Garut, lebih-lebih kita sebagai anak bangsa, bukan? Perlu untuk selalu dipelihara pesona tersebut.
Its, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menafikan ungkapan Akang H. Darso dalam reff lagu ‘Garut Intan’. Tidak. Saya hanya sekadar melengkapinya.
“Garut kota intan pangirutan. Manis lir siga dodolna. Kareut ninggal imutna sok sanajan teubih”
(Garut kota intan yang memikat. Manis seperti dodolnya. Terpikat melihat senyumnya, meskipun dari kejauhan)
Dus, secara lebih objektif narasi tentang Kota Garut lebih dari sekadar lezat dan manisnya Dodol―ia adalah Eksotika. Ia adalah afirmasi atas anugerah. Harmoni. Ia adalah narasi sebuah keindahan, juga kehidupan.