The news is by your side.

Macan Putih di Makbarah Ponpes Babakan Ciwaringin

Wahyu Iryana, tim penulis Buku Baban Kana – Di malam-malam yang sunyi, di antara nisan para ulama di Makbarah Babakan Ciwaringin, seorang santri duduk bersila, kitab kuning terbuka di pangkuannya. Matanya menelusuri baris demi baris kalam hikmah, lidahnya melafalkan dengan pelan, sementara hatinya bergetar dalam kekhusyukan. Di kejauhan, suara jangkrik dan gemerisik angin mengiringi, seakan ikut bertasbih.

Tapi, ada sesuatu yang lain di udara. Sebuah keheningan yang bukan sekadar sunyi, tapi mengandung sesuatu yang tak terjelaskan. Sebuah keberadaan yang tak kasat mata. Santri itu merasakan bulu kuduknya berdiri, hawa dingin menyelusup, namun anehnya, hatinya tetap tenteram. Apakah itu hanya perasaan semata, ataukah ada sesuatu yang benar-benar hadir?

Di pesantren-pesantren tua, kisah tentang khodam, penjaga gaib yang setia mengawal ilmu dan perjuangan para santri, bukan hal asing. Dan di Babakan Ciwaringin, legenda itu mengambil bentuk seekor macan putih.

 

Kehadiran yang Memilih

Bukan sembarang orang yang bisa melihatnya. Macan putih tidak hadir kepada setiap santri yang bertirakat, tidak menyapa setiap kiai yang bermunajat. Ia memilih sendiri kepada siapa ia akan menampakkan diri, atau kepada siapa ia hanya sekadar mengirimkan isyarat.

Para kiai sepuh meyakini bahwa makbarah Babakan Ciwaringin tidak pernah benar-benar sepi. Ada yang menjaga, ada yang mengawasi. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai pengingat bahwa perjuangan mencari ilmu tidak hanya melibatkan usaha lahir, tapi juga batin.

“Khodam itu bukan mitos,” kata seorang kiai. “Tapi ia juga bukan sesuatu yang bisa dipanggil sembarangan. Ia datang jika memang dikehendaki oleh Allah.”

Ada santri yang mengaku pernah melihatnya sekilas—sesosok bayangan putih melintas di antara pepohonan, atau mata yang berkilat dalam gelap malam. Ada yang hanya merasakan kehadirannya lewat angin dingin yang datang tiba-tiba, atau suara langkah berat yang tak terlihat sosoknya. Tapi tak sedikit pula yang, meski berhari-hari bertirakat, tak pernah merasakan apa-apa.

Mereka yang berharap bertemu dengan sengaja justru tak pernah mendapatkannya. Namun, mereka yang tak memikirkan itu—yang benar-benar ikhlas dalam menuntut ilmu, yang larut dalam hafalan hingga lupa waktu—merekalah yang terkadang mendapat isyarat.

 

Simbol Perjalanan Ruhani

Macan putih di Makbarah Babakan Ciwaringin bukan sekadar legenda pesantren. Ia adalah simbol ketulusan, ujian bagi mereka yang belajar tanpa mengharap pujian.

Kisah-kisah seperti ini bertebaran di dunia pesantren, bukan untuk mendewakan yang gaib, tapi sebagai nasihat tersirat. Bahwa ilmu tidak bisa dikuasai dengan kesombongan, bahwa keberkahan tidak bisa didapat dengan paksaan.

Para santri yang bersungguh-sungguh dalam belajar, yang tirakatnya bukan demi keinginan duniawi, yang duduk bersimpuh dengan hati tunduk—mereka lah yang terkadang diberi pengalaman ruhani yang tak bisa dijelaskan. Bukan untuk gagah-gagahan, bukan untuk diceritakan dengan sombong, tapi untuk dijadikan pemantik semangat, penguat keyakinan.

Dalam dunia modern yang serba rasional, kisah tentang khodam dan penjaga gaib mungkin terdengar usang. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dijelaskan dengan logika semata? Bahwa ada momen-momen dalam kehidupan di mana seseorang merasakan kehadiran yang lebih besar, sesuatu yang melampaui pemahaman manusia?

Macan putih adalah pengingat bahwa perjuangan dalam menuntut ilmu bukan hanya sekadar hafalan dan diskusi. Ada dimensi spiritual yang harus dijaga, ada adab yang tak boleh ditinggalkan. Bahwa ilmu yang diberkahi adalah ilmu yang diperoleh dengan kesungguhan hati, dengan ketulusan niat.

 

Untuk Mereka yang Dikehendaki

Santri yang menghabiskan malam-malamnya dengan menekuni kitab mungkin tak akan pernah melihat macan putih. Bisa jadi, seumur hidupnya ia hanya mendengar cerita itu dari para kiai. Tapi apakah itu berarti perjuangannya sia-sia?

Tidak.

Sebab yang terpenting bukanlah apakah seseorang bisa melihat khodam atau tidak, melainkan apakah ilmu yang dipelajari benar-benar membawa manfaat dan keberkahan. Macan putih bukanlah tujuan, ia hanyalah simbol. Yang lebih penting adalah bagaimana santri dan kiai menjaga keikhlasan, bagaimana mereka melanjutkan estafet keilmuan yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu.

Dan jika suatu hari, di tengah malam yang sunyi, di antara barisan nisan para wali, seseorang merasakan kehadiran yang tak bisa dijelaskan, maka anggaplah itu sebagai isyarat. Bahwa perjalanan ilmu adalah perjalanan panjang yang penuh ujian. Bahwa tidak semua bisa melihat, tapi semua bisa merasakan keberkahannya—jika mereka benar-benar ikhlas dalam menuntutnya.

Puisi:

Di antara nisan yang diam,
kitab-kitab dibuka, malam bersaksi.
Santri kecil merapal doa,
di bawah cahaya lampu yang redup.

Tak semua bisa melihat,
tak semua bisa merasakan.
Tapi angin berbisik pelan,
ada yang menjaga dalam kegelapan.

Macan putih bukan mitos,
tapi juga bukan hadiah.
Ia datang hanya pada yang dipilih,
pada yang hatinya bersih.

Dan jika kau tak pernah melihatnya,
jangan berkecil hati.
Sebab ilmu adalah cahaya,
dan cahaya tidak butuh mata untuk menyinarimu.

(Kisah Khodam Macan Putih di Makbaroh Ponpes Bacicir disarikan dari berbagai tutur lisan para alumni Ponpes Bacicir).

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.