Menengok Al-Quran Kuno Banyuwangi
Banyuwangi, NU Online
Kabupaten Banyuwangi menyimpan kekayaan khazanah naskah di antaranya Al-Qur’an kuno. Naskah tersebut dipamerkan Komunitas Pegon di SMP Unggulan Al-Anwari, Kertosari, Banyuwangi, Kamis (23/5). Ada lima Al-Qur’an kuno dan sejumlah naskah-naskah keislaman lainnya yang dipajang.
Rata-rata naskah yang dipamerkan berusia lebih dari seabad. Hal ini terlihat dari jenis kertasnya yang terbuat dari kertas dluwang dan kertas Eropa. Bentuk kertasnya juga telah tua dan rapuh.
“Dari jenis kertasnya bisa diketahui usianya. Seperti dari watermark kertasnya. Dari sana bisa diketahui usianya. Setidaknya lebih dari satu abad,” terang Founder Komunitas Pegon Ayung Notonegoro.
Salah satu yang memiliki identitas lengkap adalah mushaf yang didapat dari koleksi almarhum KH Saleh Syamsudin Lateng (w. 1951). Dalam naskah tersebut terdapat kolofon yang menyebutkan selesai ditulis pada Jumadil Akhir 1282 H atau sekitar 1860 M.
“Penulisnya adalah Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi. Dari namanya terlihat beliau orang lokal,” terang Ayung.
Lebih jauh Ayung membandingkannya dengan Al-Qur’an kuno Banyuwangi yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Malaysia. Penulisnya adalah Mas Khalifah Ibnu al-Habib al-Masfuh Banyuwangi yang dari namanya terlihat keturunan Arab. Ditulis pada 6 Jumadits Tsani 1221 H atau sekitar 1806 M.
“Pada awal abad 19, penulis Ai-Qur’an di Banyuwangi masih dari keturunan Arab. Baru 60 tahun kemudian ada penulis Al-Qur’an lokal,” ungkap Ayung.
Hal tersebut, papar penulis buku Kronik Ulama Banyuwangi itu, sesuai dengan perkembangan Islam di Banyuwangi. Dalam catatan Y.W. De Stoppelaar, Blambangansch Adatrech (1926), agama Islam menjadi mayoritas di Banyuwangi baru pada 1840 ke atas.
“Seiring mayoritasnya umat Islam di Banyuwangi, pendidikan Islam pun meningkat. Hingga melahirkan para penulis Al-Qur’an dari Banyuwangi sendiri,” urai Ayung.
Tashih Al-Qur’an Kuno
Tak hanya pameran Al-Qur’an kuno. Pada kesempatan tersebut juga dilakukan pentashihan (koreksi) Al-Qur’an kuno oleh para hafidz (penghafal Al-Qur’an) yang mengajar di SMP Unggulan Al-Anwari. Hal ini untuk memastikan akurasi Al-Qur’an kuno yang ditulis tangan tersebut.
“Kita bandingkan dengan Al-Qur’an yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama Republik Indonesia,” ujar salah satu tim pentashih, Ustaz Afifi.
Sebagaimana diketahui, LPMQ baru terbentuk pada 1957. Baru setelah itu, Al-Qur’an di Indonesia mengalami standarisasi. “Dari pembacaan kita, memang ada sejumlah kekeliruan,” terang Afifi.
Pada surat al-Baqarah, misalnya, ada sejumlah kesalahan. Seperti pada ayat ke-143 yang seharusnya ditulis “al-rasulu”, malah tertulis “rasula”. Pada ayat ke-153 juga demikian. Seharusnya tertulis “ash-shafa” dengan huruf “shalat”. Bukan “as-safa” dengan “sin” sebagaimana yang tertera di mushaf karya Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi.
Kesalahan demikian, imbuh anggota tim yang lain Ustaz Irfan, bisa jadi karena keterbatasan penulis dalam penguasaan gramatika bahasa Arab, seperti halnya ilmu nahwu dan sharaf. Sehingga silap terhadap detail Al-Qur’an.
“Namun, kesalahan-kesalahan kecil demikian relatif wajar. Karena ditulis tangan. Jadi, bisa dimaklumi,” imbuh Irfan.
Pentashihan Al-Qur’an kuno tersebut, direncanakan hingga tuntas. Sehingga bisa diukur sejauh mana tingkat keakurasiannya. “Bukan bermaksud mengkoreksi kesalahan para ulama terdahulu, tapi untuk mempelajari perkembangan penulisan Al-Qur’an itu sendiri,” tutup Ayung. (M. Sholeh Kurniawan/Abdullah Alawi)