Mengenal Bendera Islam (II): Siapa yang Berhak Membawanya?
Pada bagian sebelumnya telah disinggung bahwa konteks penggunaan bendera hanyalah ketika berada di medan perang saja, bukan di masa damai dalam keadaan normal. Pada bagian ini penulis ingin lebih menekankan bahwa bendera Islam yang dimaksud bukanlah “simbol Islam” tetapi lebih kepada simbol hirarki kepemimpinan perang. Artinya, ini bukanlah sesuatu yang bisa dibawa oleh siapa pun sesuai selera tetapi sesuatu yang melambangkan posisi komando dalam perang yang sedang terjadi.
Ibnu Batthal menjelaskan tentang ar-Râyah sebagai berikut:
وفى حديث على أيضًا أن الراية لا يجب أن يحملها إلا من ولاه الإمام إياها ولا تكون فيمن أخذها إلا بولاية
“Dalam hadits tersebut (hadits pemberian bendera oleh Rasul pada pemimpin perang), diketahui bahwa ar-Râyah tidak wajib dibawa kecuali oleh orang yang diberi kuasa oleh Imam (Pemimpin Negara) dan tak mempunyai otoritas apa pun bagi orang yang mengambilnya kecuali dengan adanya mandat kekuasaan.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V, halaman 141)
Demikian juga pakar hadits dan sejarawan terkemuka Islam, al-Hafidz Ibnu al-Atsir, menjelaskan otoritas pemegang al-Liwâ’ sebagaimana berikut:
ولا يمسك اللواء إلا صاحب الجيش
“Tidaklah boleh memegang al-Liwâ’ kecuali pemimpin pasukan.” (Ibnu al-Atsir, an-Nihâyah, juz IV, halaman 279).
Karena sejatinya itu adalah simbol komando dalam perang, maka simbol itu bukan hanya tak berhak dipegang oleh orang biasa tetapi juga tak boleh dipindahkan sesuka hati. Ada prosedur ketat soal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Muhallib sebagaimana berikut:
قَالَ المهلب: وفي حديث الزبير أن الراية لا يركزها إلا بإذن الإمام؛ لأنها علامة على الإمام ومكانه، فلا ينبغي أن يتصرف فيها إلا بأمره
“Ibnu al-Muhallib berkata: ‘Dalam hadits Zubair bahwasanya ar-Râyah tak boleh diposisikan kecuali dengan perintah Imam sebab itu adalah simbol bagi Imam dan posisinya. Maka tak boleh diapa-apakah kecuali dengan perintah Imam.” (Ibnu al-Mulaqqin, at-Taudlîh Lisyarh al-Jâmi’ as-Shahîh, Juz XVIII, halaman 103)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dikenal sebagai “bendera Islam”, disebut dengan istilah al-Liwâ’ atau ar-Râyah, sebenarnya tak lebih sebagai simbol komando dalam perang yang hanya boleh dipegang oleh pemimpin perang. Ini bukanlah simbol negara Islam atau bahkan simbol agama Islam sebagaimana dipahami sebagian orang sebab tak pernah tercatat bahwa simbol bendera ini dikibarkan di kediaman Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi Islam ataupun di Masjid Nabawi yang saat itu berfungsi sebagai pusat ibadah, pengajaran dan musyawarah. Demikian juga para Khulafaur Rasyidin tidak menggunakan hal itu sebagai simbol negara di kediaman mereka yang juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Menjadi absurd ketika simbol komando perang ini kemudian dibawa oleh banyak orang dalam acara kegiatan kelompok tertentu. Secara fiqih tentu tak haram membawa bendera ini, tetapi nilai sejarahnya akan rusak dan tak lagi bisa diklaim sebagai “simbol Islam” sebab telah berubah fungsi menjadi simbol yang identik bagi kelompok tersebut yang menggunakan bendera dimaksud sebagai lambang propaganda mereka. Di sisi lain, perlu dipertanyakan mengapa membawa simbol perang dalam keadaan damai?
Karena itu, ketika dulu HTI—yang telah dilarang di Indonesia—menggunakan simbol “bendera Islam” atau lebih tepatnya bendera perang yang digunakan umat Islam di masa lalu itu sebagai bagian dari kegiatan mereka yang mereka tunjukkan secara massif di kantor maupun di berbagai acara mereka, maka bendera tersebut dengan sangat meyakinkan dapat diartikan sebagai simbol propaganda bagi kelompok mereka. HTI dalam hal ini tak bisa berkelit dengan mengatakan bahwa bendera yang mereka pakai adalah bendera Rasul sebab Rasulullah tak tercatat memakainya untuk tujuan sedemikian. Rasulullah juga tak pernah memerintahkan agar kaum Muslimin membuat atau mengibarkan bendera khusus yang menjadi ciri khas Islam, tidak pernah sama sekali.
Meskipun para “mantan” HTI saat ini dengan kompak mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai bendera apa pun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka menggunakan bendera tertentu dengan warna hitam dan putih yang bertuliskan kalimat tauhid yang sifatnya khas tanpa pernah ada modifikasi sedikitpun, baik dalam bentuknya yang empat persegi panjang ataupun model tulisan (khath) yang dipakai, yakni gaya kaligrafi Tsuluts yang sama sekali tak dikenal di masa Rasulullah. Secara de facto, itulah bendera gerakan mereka yang mereka sembunyikan di balik klaim sebagai “bendera Rasul.”
Setelah kita tahu bagaimana nama, fungsi, konteks penggunaan dan otoritas yang berhak memegang “bendera islam” atau lebih tepatnya bendera perang itu, maka pada selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang warna, corak dan isinya. Hal ini penting agar masyarakat tahu bagaimana sifat bendera perang ini sesungguhnya di masa yang menjadi rujukan Islam itu.
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Tim Ahli Aswaja NU Center Jawa Timur
Bersambung …
Sumber : NU Online