Momentum Persatuan Dunia Islam Menghadapi Eskalasi Iran – Israel
H. Wahyu Iryana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung dan Penulis Buku Gerakan Syiah di Nusantara – Pada pertengahan Juni 2025, kawasan Timur Tengah kembali bergetar hebat. Iran meluncurkan lebih dari 400 rudal dan ratusan drone ke wilayah Israel sebagai respons atas serangan udara Israel ke Konsulat Iran di Damaskus yang menewaskan sejumlah pejabat tinggi Garda Revolusi. Serangan ini mencatatkan eskalasi paling signifikan dalam sejarah konflik dua negara tersebut, dan membuka babak baru dalam konstelasi geopolitik dunia Islam.
Data dari berbagai sumber internasional menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 72 jam sejak 14 Juni, Iran menembakkan lebih dari 370 rudal balistik dan sekitar 1.000 drone ke berbagai titik strategis di Israel. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 20 rudal yang menghantam sasaran sipil. Sebagian besar berhasil dicegat sistem pertahanan Iron Dome Israel. Meski demikian, serangan tersebut tetap menimbulkan korban. Dilaporkan, sekitar 24 sampai 26 warga Israel tewas, dan lebih dari 500 mengalami luka-luka.
Sebaliknya, respons Israel justru lebih masif. Negara itu meluncurkan serangan udara balasan ke sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran. Sedikitnya 639 warga Iran dilaporkan tewas, mayoritas adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Beberapa rumah sakit di Tehran dan Isfahan menjadi sasaran serangan, termasuk Rumah Sakit Imam Khomeini dan kompleks medis di Soroka, Beersheba.
Meningkatnya korban sipil di kedua belah pihak menyulut gelombang reaksi internasional. Sekretaris Jenderal OKI mengeluarkan pernyataan resmi yang mengutuk agresi Israel dan mendesak seluruh negara anggota untuk menggelar sidang darurat. Seruan serupa juga datang dari Amnesty International dan Human Rights Watch yang mencatat terjadinya pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dalam serangan ini, terutama pada fasilitas kesehatan dan tempat ibadah.
Di sisi lain, banyak pihak menyambut serangan Iran sebagai simbol keberanian negara Muslim dalam membela kedaulatannya. Selama bertahun-tahun, negara-negara Islam hanya mampu mengutuk pelanggaran Israel tanpa aksi nyata. Serangan Iran ke Israel, meski memicu risiko perang regional, telah menggeser persepsi global bahwa negara Muslim bisa bertindak tegas melawan agresi dan intervensi.
Kondisi ini seharusnya menjadi momentum konsolidasi bagi negara-negara Islam. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang telah lama kehilangan peran strategisnya dalam percaturan global, kini diberi panggung oleh sejarah. Pertemuan tingkat tinggi Dewan Menteri Luar Negeri OKI yang digelar di Istanbul pada 21–22 Juni menjadi forum strategis untuk merumuskan langkah bersama. Dari data yang beredar, setidaknya 40 negara anggota menyatakan kesediaannya hadir, termasuk negara-negara kuat seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, dan Indonesia.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki legitimasi moral untuk menjadi pemimpin konsensus. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah memainkan peran penting dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, ketika Palestina menjadi isu sentral dalam solidaritas negara-negara baru merdeka. Kini, peran itu perlu dihidupkan kembali dalam konteks yang lebih luas, yakni membentuk blok diplomatik Islam yang solid dan proaktif.
Blok ini tidak harus menyerukan perang, tetapi justru memperkuat upaya hukum internasional terhadap pelanggaran Israel. Langkah strategis seperti membawa kasus serangan ke Mahkamah Internasional, menyusun resolusi bersama di Majelis Umum PBB, serta membentuk misi investigasi independen dari negara-negara OKI menjadi bentuk respons damai yang terhormat dan bermartabat.
Selain jalur hukum, jalur ekonomi juga perlu dikuatkan. Negara-negara Islam memiliki potensi besar dalam energi, pasar konsumen, dan pendanaan syariah. Penguatan jaringan ekonomi intra-Islam bisa menjadi alat negosiasi yang kuat terhadap negara-negara yang mendukung agresi Israel. Selain itu, memutus rantai pasok senjata dan teknologi militer ke Israel dari perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan negara Muslim bisa menjadi tekanan nyata.
Di level masyarakat sipil, solidaritas lintas negara harus ditingkatkan. Dukungan kemanusiaan, bantuan medis, dan dukungan psikososial terhadap korban konflik harus disalurkan melalui jalur resmi yang aman dan terpercaya. Lembaga seperti MER-C, KNRP, dan Baznas dapat mengambil peran bersama dalam koordinasi dengan OKI.
Di bidang media, dunia Islam tertinggal jauh dalam membentuk narasi global. Framing media Barat yang masih memposisikan Israel sebagai korban dan negara-negara Islam sebagai ancaman harus dilawan dengan strategi komunikasi yang terstruktur dan berbasis data. Negara-negara Muslim harus mendirikan platform media digital bersama yang menyiarkan kebenaran secara cepat, kredibel, dan berbahasa internasional.
Namun, tentu tidak semua negara Islam sepakat terhadap langkah Iran. Sebagian menganggap tindakan Iran terlalu provokatif dan berisiko meluaskan konflik regional. Kekhawatiran itu sah-sah saja. Tetapi, di atas semua itu, pelanggaran terhadap kedaulatan dan kemanusiaan harus tetap ditanggapi secara kolektif, bukan berdasarkan kedekatan sektarian atau geopolitik semata.
Kekuatan dunia Islam bukan terletak pada jumlah rudal atau pasukan militer, tetapi pada kesatuan visi dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian dunia. Jika negara-negara Islam terus terpecah oleh kepentingan masing-masing, maka tragedi di Palestina, Suriah, dan Iran akan terus berulang.
Untuk itu, OKI perlu segera membentuk tiga hal penting. Pertama, Komite Tetap Resolusi Krisis Timur Tengah yang terdiri dari perwakilan negara-negara utama OKI, bertugas menanggapi krisis secara cepat dan terkoordinasi. Kedua, Dana Solidaritas Ummah untuk menanggulangi krisis kemanusiaan dan membiayai advokasi hukum internasional. Ketiga, Forum Media Islam Internasional yang bertugas menyebarluaskan narasi damai dan keadilan dari perspektif Islam.
Langkah-langkah ini harus diiringi dengan peningkatan kapasitas diplomasi negara-negara anggota. Pendidikan kader diplomasi muda Islam perlu ditingkatkan, termasuk melalui pertukaran antar-negara OKI dan pelatihan diplomasi berbasis nilai-nilai Islam.
Negara-negara seperti Qatar, Malaysia, Turki, dan Indonesia yang memiliki reputasi diplomatik baik dan relatif bebas dari konflik internal, dapat menjadi poros utama dalam mewujudkan inisiatif ini. Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan global mulai bergeser dari hegemoni satu kutub ke multipolar, memberi peluang lebih luas bagi negara-negara berkembang untuk memainkan peran strategis.
Kini, dunia Islam tidak lagi punya waktu untuk berdebat tentang siapa yang paling benar atau siapa yang paling suci. Dunia Islam harus bertanya: siapa yang paling siap mengambil tanggung jawab moral dan politik untuk mengakhiri penderitaan umat manusia? Siapa yang siap menjadikan tragedi Gaza dan Teheran bukan hanya sebagai berita, tetapi sebagai batu loncatan kebangkitan umat?
Jika perang adalah bahasa terakhir, maka diplomasi adalah bahasa pertama yang harus digunakan oleh umat Islam. Tetapi diplomasi yang kuat hanya akan lahir dari kekompakan, keberanian, dan konsistensi.
Serangan Iran bukanlah kemenangan. Tetapi bisa menjadi momentum kebangkitan, jika dibaca dengan jernih dan dijawab dengan strategi.
Kita tidak boleh hanya bersatu karena darah tertumpah. Kita harus bersatu karena keyakinan bahwa dunia ini bisa lebih adil jika umat Islam memegang prinsip dan kekuatan dengan seimbang.
Kini saatnya dunia Islam tampil sebagai pelopor peradaban dan keadilan. Di tengah kabut rudal dan drone yang menggantung di langit Timur Tengah, suara ummat Islam tidak boleh tenggelam. Ia harus muncul dengan penuh hikmah, dengan akal sehat yang menyala, dan dengan strategi diplomasi yang membumi.
Bersatulah, wahai negeri-negeri Muslim. Jika bukan untuk hari ini, maka untuk generasi mendatang. Karena kehormatan Islam bukan terletak pada dentuman senjata, tetapi pada keberanian menjaga kemanusiaan.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.