Saatnya Bersatu Kembali Membangun Bangsa
Sejumlah tokoh Indonesia dan ulama berpengaruh berkunjung ke rumah mantan presiden Indonesia BJ Habibie untuk menggalang rekonsiliasi dan persatuan. Tak berselang lama, ulama, habaib, dan cendekiawan Muslim juga melakukan pertemuan di Jakarta dengan tujuan yang sama. Rekomendasi yang dikeluarkan dalam pertemuan tersebut salah satunya juga menyangkut persatuan dan rekonsiliasi kembali bangsa pascapemilu.
Pemilu 2019 berlangsung cukup panas. Hal ini terutama dengan narasi-narasi politik identitas yang menjadi bagian dari kampanye. Kampanye-kampanye bernuasa politik identitas agama yang disebarkan melalui media sosial mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat. Narasi yang dimasukkan secara terus menerus akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang harus diperjuangkan.
Pandangan yang dikembangkan bersifat hitam putih. Yang baik melawan yang jahat, antara kami dan mereka. Bagi sebagian orang yang termakan isu tersebut, pemilihan presiden kali ini adalah persoalan siapa kandidat yang membela Islam dan siapa yang menista Islam. Padahal, politik tidaklah sesederhana itu.
Bahkan, ketika pemilu sudah usai, upaya untuk mendelegitimasi proses tersebut terus dilakukan oleh kelompok yang merasa akan kalah. Pemilu dianggap penuh dengan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis. Lembaga penyelenggara hitung cepat diopinikan dibeli pihak tertentu. Hasil hitung cepat dianggap sebagai sihir sains, dan lainnya.
Sayangnya, opini tersebut tidak didasarkan pada data-data yang memadai.
Ada banyak kekurangan dalam proses pemilu yang melibatkan 182 juta pemilih pemilu dan berlangsung di ribuan pulau di Indonesia, serta kondisi geografis yang sangat beragam. Mulai dari daerah perkotaan yang gampang terakses sampai daerah terpencil yang harus dicapai dengan jalan kaki selama berhari-hari. Dengan segala tantangan berat yang harus dihadapi, secara umum pemilu berlangsung baik dan damai.
Jika ada kecurangan, UU telah memberi jalan. Pihak yang merasa dicurangi dapat mengadukan ke Bawaslu, DKPP, dan Mahkamah Konstitusi. Mekanisme yang dibangun tentu lebih baik dibandingkan dengan mengancam melakukan pengerahan massa untuk menekan pihak lain dengan kekerasan agar memenuhi keinginannya.
Pemilu telah usai. Rakyat telah menentukan pilihannya. Mereka yang merasa didukung oleh banyak orang tetapi ternyata nantinya diputuskan kalah oleh KPU karena suaranya lebih kecil dibandingkan dengan lawan politiknya, harus menyadari jumlah dukungan yang diperolehnya lebih kecil dibandingkan dengan pihak lainnya. Kelompok kecil tetapi vokal tak berarti mencerminkan kehendak rakyat secara keseluruhan. Pemilihan yang dilakukan secara rahasia di bilik suara, memastikan rakyat memilih sesuai dengan hati nuraninya, tanpa takut ancaman dari pihak lain.
Kini saatnya kita fokus untuk kembali bekerja menyelesaikan banyak hal yang tertunda karena hiruk-pikuk kampanye pemilu yang panjang dan menguras emosi. Ada banyak persoalan besar yang harus diselesaikan oleh para pemimpin bangsa ini. Jika bangsa ini terus terpolarisasi karena pemilu, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan terhambat.
Sebuah kekalahan tentu mengecewakan. Banyak yang telah dikorbankan selama proses pemilu, baik berupa uang, waktu, tenaga, dan lainnya. Semuanya terkuras untuk sebuah pertarungan panjang yang melelahkan. Tapi kematangan seorang calon pemimpin sesungguhnya juga dilihat bagaimana responnya terhadap hasil yang tidak sesuai dengan harapannya. Rakyat juga akan menilainya dari situ. Sikap besar hati dan memberikan dukungan kepada calon yang terpilih akan menumbuhkan simpati kepada rakyat. Ini bisa menjadi modal sosial yang bisa digunakan untuk pemilu lima tahun mendatang, jika memang masih berminat untuk mengikuti kontestasi lagi.
Berbagai praktek pelaksanaan pemilu yang berlangsung di berbagai negara dapat kita pelajari. Jangan sampai kita mengalami hal buruk karena tidak mau belajar dari bangsa lain yang sudah pernah mengalaminya. Jangan sampai pula kita mengulang-ulang kesalahan yang sama dari pemilu yang diselenggarakan sebelumnya. Sikap menerima hasil, baik kalah atau menang menunjukkan kematangan dalam berdemokrasi. Pada negara-negara yang demokrasinya telah matang, pihak yang kalah dengan segera menyampaikan selamat kepada pemenang dan siap mendukung proses demokrasi selanjutnya.
Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bersedia mengabdikan dirinya untuk kemajuan bersama. Ada banyak peran yang bisa dilakukan. Presiden dan wakil presiden hanya ada satu, tetapi pengabdian kepada bangsa tak harus menjadi seorang presiden atau wakil presiden. Setiap orang dapat memjalankan peran sesuai dengan kemampuan dan minat yang dimilikinya.
Sikap para ulama dan cendekiawan Muslim yang mengajak kita kembali bersatu patut kita apresiasi dan dukung. Mereka adalah para tokoh yang menginginkan Indonesia terus membangun dan memperbaiki diri. Mereka setiap harinya berinteraksi dengan masyarakat dan merasakan berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Jangan sampai kita terprovokasi untuk melakukan hal-hal yang mengganggu kehidupan masyarakat.
Saatnya kita bersama-sama kembali membangun bangsa.
Mereka yang terpilih adalah pemimpin dari semua rakyat Indonesia, yang bertanggung jawab untuk memajukan semuanya. Ada banyak kesamaan yang harus kita tonjolkan dibandingkan dengan terus merawat perbedaan. Mari kita tunjukkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab, yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara-cara yang baradab. Penyelesaian yang tidak menimbulkan persoalan tambahan. Dalam momen Ramadhan ini, saatnya bersatu kembali membangun bangsa. (Achmad Mukafi Niam)
Sumber : NU Online