Siapa yang Berhak Menentukan Mafsadah Corona itu Nyata atau Tidak ?
Itu sebabnya ada gerakan #dirumahaja atau bekerja dari rumah (work form home) karena kita tidak tahu siapa yang positif kena corona atau membawa virus meski terlihat sehat. Apakah dampak ini belum dianggap nyata oleh para ulama kita? Mau menunggu sampai berapa banyak lagi yang meninggal baru kita tergerak hatinya untuk melarang orang Jumatan? Apa menunggu keceblos sumur dulu, seperti contoh sebelumnya?
Kita bicara soal nyawa manusia. Menyelamatkan satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh penduduk bumi. Angka kematian akibat corona di negara kita tertinggi di Asia Tenggara. Saya ngeri membayangkan dampaknya kalau kita tidak melakukan upaya antisipatif bersama. Ini bukan langkah panik. Justru ini langkah yang sangat rasional dan terukur.
Jadi, daerah yang dianggap masih aman itu sebenarnya belum tentu aman karena belum dilakukan test secara masif. Sampai di sini, semoga bisa dipahami dampak nyata corona itu.
Mafsadah yang mauhumah (belum nyata) itu contohnya gini: shalat jumat di masjid kita ganti dengan shalat zuhur di rumah karena ada jamaah yang kakinya korengan. Pertanyaannya ini penyakit menular bukan? Bukan, maka gak boleh Jumatan diganti zuhur.
Atau ada jamaah yang sakit pilek biasa. Pertanyaannya: meski menular, apakah pilek ini membahayakan? Tidak, maka gak boleh jumatan ditiadakan. Nah, virus corona ini memenuhi semua elemen tadi: menular dan membahayakan. Obat anti virusnya belum ada. Yang meninggal sudah banyak. Angka yang terkena juga semakin meningkat. Bahkan proses penularannya juga bisa dilakukan oleh orang yang terlihat sehat, gak pilek atau batuk. Masak belum bisa bilang ini mafsadah yang nyata?
Buku lain :