Allah Tak Memberatkanmu
Bambang Melga Suprayogi M.Sn – Allah itu menghitung amalan manusia bukan hanya melihat dari keluarbiasaan kita melakukan hal yang besar, wah, hebat, serta dalam jumlah banyaknya, tidak seperti itu Allah menebar jala untuk menjaring hamba yang mencintaiNya.
Sehingga oleh Nabi hal ini dipraktekkan, dengan memberi kemudahan pada yang sangat merasa kesulitan, untuk membayar fidyah, sampai pada akhirnya, apa yang harus dibayarkannya-pun, bisa terus berkompromi, hingga pada suatu nilai terkecil, solutif, yang betul-betul kembali lagi untuk kepentingannya.
Ingat peristiwa sahabat Nabi, yang mendatangi Nabi, karena ia merasa berdosa, dan bersalah, telah melakukan hubungan suami istri berjima, disaat bulan puasa, dan ia bertanya hukumannya apa yang harus ia lakukan untuk membayar hal tersebut.
Ternyata diminta Nabi untuk untuk membayarnya dengan harus memberikan makan selama sekian hari kepada fakir miskin, ia tidak mampu, diberi titah lainnya ia tidak mampu, pada peristiwa itu, ada sahabat Nabi yang datang dengan membawa sekeranjang kurma untuk Nabi, dan sekeranjang kurma itu, akhirnya Nabi berikan padanya untuk jadi bawaan yang harus ia sodakohkan pada orang lain agar ia bisa berbagi, nyatanya ia juga seorang miskin yang memerlukan kurma itu, hingga akhirnya, Nabi memberikannya untuk ia makan bersama keluarganya.
Apa yang Nabi perlihatkan dengan adanya peristiwa ini, ujungnya Nabi hanya bisa tersenyum manis, dan peristiwa itu sampai tergambarkan, terekam, dan menjadi catatan, sebagai bukti, bahwa selalu ada solusi, selalu ada kemudahan, dan Allah tidak pernah sedikitpun membuat manusia menjadi terbebani, dan memberatkan hambanya, Subhanallah.
Itulah kemudahan dan keindahan Islam, sebagai agama yang mulia, dan agung ini. Semuanya bisa dikompromikan, dan nyatanya itu juga menunjukan bagaimana Allah tak memberatkanmu.
Nabi memberikan solusi-solusi teringan yang bisa membuat umatnya tersenyum, untuk sholat saja, jika kita tak bisa berdiri melakukannya, itu bisa sambil dilakukan dengan cara duduk, jika tidak bisa duduk, bisa berbaring…lantas apa yang memberatkannya ?
Wudhu dengan air saja bisa digantikan dengan bertayamum !
Alangkah kompromisnya Tuhan Kita, Allah azza wa Jalla ini.
Maka harus bersyukurlah kita dengan apa yang Allah bebankan kepada kita, itu sebenarnya tidak memaksakan kita untuk saklek melakukan ritual Ibadahnya dengan kaku, wajib harus seperti manusia normal yang sehat, jika kita ada dalam kondisi khusus, semisal sakit, dan ada hal yang memberatkan jasmani kita disebabkan ke ujuran usia.
Allah itu sangat faham kesulitan hambanya, Nabi sangat tahu kesulitan umatnya, sehingga ketika kita andai berdiri sebagai seorang ulama, jangan bebani umat dengan hal yang diluar batas kemampuan umat, mengada-ada dalam memberikan perintah, apalagi jika memaksa sampai harus bersedekah melepaskan apa yang ada di tubuh kita, benda yang memiliki nilai, lalu dipaksa untuk menyerahkan isi dompet, benda berharga, bahkan sampai kendaraan yang kita pakai untuk di berikan padanya.
Itu sungguh hal berlebihan yang memalukan.
Merampok harta benda dengan nyata, dibarengi paksaan.
Atas nama sedekah, atas nama infak, mengatasnamakan Islam, demi berjihad di jalanNya.
Ini mengada-ada, memaksakan kita !
Kita di buat tak berkutik, belum sempat berpikir secara rasional, karena kita di minta diatas panggung, dan dihadapan jamaah lainnya, yang membuat individu ketika diperlakukan seperti itu, pikirannya tidak dalam keadaan siap, normal, dan berpikir jernih. ini sangat tidak mendidik, menghipnotis umat, dengan tidak memberikan kesempatan berpikir baik.
Adakah ulama yang seperti ini ?
Pastinya ada, dan kita harus waspada.
Mengapa ia lakukan hal yang mendorong umat tak bisa berpikir jernih ?
Karena itu telah menjadi modusnya.
Ahli sekali si Ustad ini, dengan permainannya, mengaburkan konsentrasi pikiran sehat umat, lantas terhipnotislah si individu itu, akhirnya ia tertipu oleh ke-‘akuan diri sendiri’, yang merasa hebat, saat kesadar itu hilang pasnya di atas panggung, dan baru tersadar ia terkelabuhi, setelahnya ia sampai di rumahnya.
wa mā kāna linabiyyin ay yagull, wa may yaglul ya`ti bimā galla yaumal-qiyāmah, ṡumma tuwaffā kullu nafsim mā kasabat wa hum lā yuẓlamụn
“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi. (Q.S. Ali ‘Imran: 161)
Semoga kita jangan sampai terkecoh, dengan model ulama seperti yang digambarkan itu, yang perbuatannya tidak pernah Nabi contohkan, yang perbuatannya menyalahi aturan kesusilaan, etika, dan keadaban sosial, dan semoga kita dijauhkan dengan ulama setipe ini, aamiin.
Semoga Bermanfaat.
Bambang Melga Suprayogi M.Sn