AYO NGAJI Ke-2: Sebagian Tanda dari Orang yang Bersandar pada Amalnya.
Oleh: Kyai Nur Kholik Ridwan
Ibnu Athaillah ngendiko (memberi nasehat):
“Min `alamāti al-i’timad `alā al-a’mal nuqşonu al-rajā‘i `inda wujudi al-zalal”
Terjemah Jawa: “Min `alamāti al-i’timad (utawi iku setengah sangking alamat-alamate wong kang tetenggenan utowo sesandaran) `alā al-a’mal (ing atase amal kesahean) nuqşonu al-rajā‘i (iku kurange pengarep-arepe sopo man) `inda wujudi al-zalal (ing nalikane man kuwi gawe kesalahan/ing nalikane wujude kesalahan).
Terjemah Indonesia: “Sebagian tanda dari orang yang bersandar pada kekuatan amal salehnya, berarti berkurangnya pengharapan terhadap rahmat Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan/dosa”.
Yang dimaksud amal saleh, di dalamnya adalah termasuk shalat, dzikir-dzikir dan selainnya, dari perbuatan-perbuatan zahir yang baik.
Berpegang kepada amal saleh, termasuk bagian dari syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid, menurut para ahli tafrid. Al-Karīm (Gusti Allah), diharapkan belas kasih-Nya, karena kesempurnaan-Nya, di dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya (Sharhul Hikam al-` Aţa’iyah Hayat al-Sindi, hlm. 17).
Dalam hal itu, manusia ada tiga jenis, kata pensyarah al-Hikam: Al-Ubbād, adalah orang-orang yang berpegang pada amal salehnya itu untuk masuk surga dan memperoleh nikmat di dalamnya, serta selamat dari api neraka; Al-Murīdūn, orang-orang yang berpegang pada amalnya untuk wuşūl kepada Allah dan terbukanya tutup yang menyelimuti hati, dan hasilnya keadaan-keadaan spiritual. Keduanya madhmūmun, dan timbul dari nafs yang dinisbatkan pada amal salehnya; dan Al-‘Arifūn, mereka tidak melihat kepada nafs mereka sesuatu, sampai dia berpegangan pada hal itu, sebaliknya mereka mushahadah bahwa pembuat sejatinya adalah Allah, dan mereka itu (sekadar) menjadi tempat (Tarjamah Sharah al-Hikam, hlm. 4-5). Yang benar, menurut saya, mereka yang didorong kampung akhirat dan pahala, bukanlah madhmūmūn, tetapi mahmūdūn, seperti kata Imam Yahya bin Muadh al-Razi di kitab Jawahitu al-Tashawuf.
Pandangan seorang Arif adalah kepada Rabb-nya, bukan kepada amalnya. Fondasinya lā ilāha illallah, dan lā haula walā quwwata illa billah. Amalnya hanyalah wasilah, dan bukan amalnya lah yang menyelamatkannya, atau menjadikannya terhindar dari neraka atau masuk ke dalam rahmat Allah, baik dalam ahwāl, maqamāt, dan pengalaman pengalaman spiritualnya, hingga di surga. Oleh karena itu, masing-masing orang arif berbeda-beda dalam jenis dan kuantitas amalnya, dalam amalan yang ditekuninya, lalu mereka mengi’tiqadi bahwa hanya Allah yang menjadikan itu semua. Sehingga dalam kondisi apapun, dia tidak berkurang harapannya kepada Allah, yang dilalui dengan kesabaran dan bersyukur manakala mendapatkan banyak ujian, cobaan, dan kenikmatan.
Sementara mereka yang bersandar pada amal, al-Ubbād dan al-Murīdūn, tandanya, terlihat berkurangnya harapan kepada Allah manakala terjadi dalam dirinya sebuah kesalahan, karena masih ada ghaflah kepada penyebab haqiqi, yaitu Allah.
Wujud lahir dari raja’ yang kuat kepada Allah, adalah dalam kondisi apapaun, amalannya terus dijalankan secara istiqamah, sambil terus bersabar, memuji, bersyukur, dan berdoa kepada Allah, fissirr wal `alan.
Orang-orang Arif juga banyak menghadapi ujian dan musibah, baik ketika menjalani kehidupan suluk sepanjang hayat, maupun suluk dalam pengertian disipilin wirid dan maqamat di waktu-waktu tertentu. Semakin banyak ujian dan musibah ditimpakan kepadanya, semakin banyak pula jenis setan, dari jin dan manusia yang mengganggunya, secara halus dan terang-terangan, semakin tegar dia menjalaninya, maka semakin kuatlah tauhidnya, lā haula walā quwwata illa billah.
Sebab, ujian yang berat, musibah, dan cobaan yang diberikan kepada seorang mukmin, adalah sarana Allah untuk membersihkannya, dari berbagai dosa yang pernah dilakukan, disadari atau tidak. Kanjeng Nabi pernah bersabda dalam hal ini: idha aradallahu bi `abdihi al-khaira `ajjala lahu al-‘uqūbata fi al-dunya (HR. Ţabrani, dipetik dari Sayyid Ahmad al- Hashimi, Mukhtaru al-Ahadith, hadith ke-58).
Hadis itu disambung dengan hadis lain, menerangkan ada jenis dosa yang tidak bisa dihapus dengan shalat, puasa, dan dzikir, dan itu ditimpakan kepada seseorang mukmin selagi dia hidup, manakala dia dikehendaki memperoleh kebaikan oleh Allah. Bentuknya adalah musibah dan banyak ujian, sampai dia berserah diri kepada Allah dan terus berharap kepada Allah. Seorang Arif juga banyak yang mengalami seperti itu.
Kyai Nur Kholik Ridwan
Murid Qadiriyah Naqshabandiyah Shathariyah, Dzikrul Ghafilin dan Ratib al-Haddad.
Anggota Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU).