The news is by your side.

Beda Antara Niyahah dan Tahlilan

Beberapa hari ini beredar fatwa menyesatkan yang isinya selamatan atau tahlilan untuk mayit dapat menyebabkan siksa bagi mayit. Dalil yang mereka gunakan adalah tentang larangan niyahah atau meratapi mayit. Dalam berbagai hadits dan kitab fikih, semua telah maklum bahwa niyahah atau meratapi mayit dengan menangis disertai menyobek baju, menjambak rambut, dll adalah haram dengan nash hadits dan ijam’ ulama. Sedangkan menangis yang tidak mengeluarkan suara keras dan tidak disertai kemungkaran di atas adalah boleh, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW saat putranya Ibrahim meninggal dunia, beliau juga menangis.

Yang menjadi masalah adalah ketika dalil niyahah dipakai untuk menghukumi tahlilan kematian. Ini merupakan analog hukum yang sesat menyesatkan. Dilihat dari segi terminologi jelas beda antara niyahah dengan tahlilan. Niyahah adalah meratap dan kegiatannya adalah menangis disertai mengungkit kebaikan mayit, menyobek baju, dan menjambak rambut, yang menunjukkan ketidak ihlasan keluarga atas kepergian mayit. Perbuatan ini jelas dilarang agama melalui nash hadits dan ijmak ulama. Sedangkan tahlilan berarti membaca dzikir baik al-Qur’an atau lainnya, kemudian ditutup dengan doa dengan tujuan mendoakan mayit agar diampuni dosa dan dilapangkan kuburnya yang mana perbuatan ini jelas dianjurkan agama melalui nash dan pendapat ulama. Jadi, kaum wahabi yang mengatakan tahlilan sama dengan niyahah adalah analog hukum yang salah alamat.

Adapun beberapa referensi wahabi mengambil pendapat dari Imam Asy-Syafi’i dalam al-umm:

وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن

“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka.” (Al Umm, 1: 318).

Fatwa Imam Asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm tersebut tidak ada pembahasan tentang tahlilan. Beliau hanya tidak menyukai berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan positif. Karena itu akan menambah kesusahan keluarga mayit. Sekali lagi, akan menambah kesusahan keluarga mayit, tidak ada hubungannya dengan menambah siksa mayit.

Seperti keterangan di atas bahwa tahlilan adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir lainnya kemudian berdoa dihadiahkan kepada mayit, maka perbuatan ini disepakati oleh ulama diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Dalam kitab I’anatutthalibin dijelaskan:

وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ عَلَى نَدْبِ قِرَاءَةِ مَا تَيَسَّرَ عِنْدَ الْمَيِّتِ وَالدُّعَاءِ عَقِبَهَا، أَيْ لِأَنَّهُ حِينْئَذٍ أَرْجَى لِلْإِجَابَةِ.

“Dan sungguh Imam as-Syafi’i dan ulama penerusnya secara terang-terangan menyunnahkan membaca al-Qur’an secukupnya di sisi mayit dan berdoa setelahnya. Maksudnya karena doa setelah membaca al-Qur’an lebih diharapkan terkabul.”

Adapun beberapa keterangan dalam kitab yang menjelaskan bacaan Al-Qur’an menurut Imam Asy-Syafi’i tidak sampai ke mayit itu jika tidak didoakan dan diperuntukkan ke mayit, maka memang terjadi khilaf. Tapi jika ada niat dihadiahkan dan didoakan untuk mayit, maka dalam madzhab Asy-syafi’iyyah sepakat boleh dan dianjurkan. Hal ini ditulis oleh Syaikh Sulaiman al-Bujairami dlm kitab Tuhfah al-Habib, II/574):

ثُمَّ إنَّ مَحِلَّ الْخِلَافِ حَيْثُ لَمْ يُخْرِجْهُ مَخْرَجَ الدُّعَاءِ، كَأَنْ يَقُولَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ قِرَاءَتِي لِفُلَانٍ، وَإِلَّا كَانَ لَهُ إجْمَاعًا كَمَا ذَكَرَهُ فِي الْمَدْخَلِ.

“Kemudian sungguh konteks perbedaan ulama tentang sampainya pahala itu sekira tidak dikemas dalam kemasan doa, seperti pelakunya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan al-Qur’anku untuk Fulan”, dan jika tidak demikian maka hadiah pahala sampai kepada mayit sesuai Ijma’ ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn al-Hajj dalam kitabnya al-Madkhal.”

Kaum Wahabi juga menukil pendapat Imam an-Nawawi dlm al-Majmu’:

وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة

“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” (Lihat Al Majmu’, 5: 320).

Perlu diketahui bahwa qaul Imam An-Nawawi tersebut ditulis dalam bab niyahah atau meratap mayit. Bahwa termasuk meratap adalah sekedar berkumpul di rumah duka tanpa ada kegiatan apa-apa, maka menurut Imam An-Nawawi tidak dianjurkan. Akan tetap dalam bab doa terhadap mayit Imam An-Nawawi jelas mengatakan dalam kitab Al-Adzkar dan Al-Majmu’ bahwa sesuai fatwa Imam Asy-Syafi’i membaca Al-qur’an disisih mayit sangat dianjurkan, bahkan jika bisa khatam itu lebih baik. (lihat Al-adzkar dan Al-Majmu’). Artinya, Imam An-Nawawi juga menganjurkan membaca al-qur’an dan lainnya untuk dihadiahkan kepada mayit. Karena itu dapat bermanfaat bagi mayit.

Sedangkan pendapat Ibnu Taimiyyah yg menjadi andalan rujukan Wahabi yg mengatakan:

وَأَمَّا صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ

“Adapun jika keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang jama’ah untuk datang, seperti ini tidak ada tuntunan dan termasuk bid’ah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316)

Sekali lagi, fatwa Ibnu Taimiyyah tidak ada urusannya dengan tahlil, membaca al-Qur’an, dan berdoa untuk mayit. Karena dalam bab mendoakan mayit Ibnu Taimiyyah dlm kitab Iqtidla’ Ash-Shirath al-muataqim li ibni taimiyyah 2/261 justru menjelaskan bahwa ijma’ ulama sepakat sampainya pahala ibadah orang masih hidup, baik bacaan al-Qur’an, sedekah, dll kepada mayit.

Hadirin kaum muslimin yang kami muliakan, dari paparan di atas jelas bahwa ada perbedaan mendasar antara niyahah (meratap) dan tahlilan. Niyahah itu dilarang karena meratapi mayit yang menunjukkan tidak ridlo dengan qadla qadar Allah, sedangkan tahlilan itu perbuatan ibadah yang dianjurkan dalam rangka mendoakan mayit.

Demikian penjelasan kami, wallahu a’lam.

Oleh: KH. Fajar Abdul Bashir, Pengasuh Pesantren Ar-Risalah Wijirejo Pandak Bantul dan Ketua LBM (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU DIY – Bangkitmedia

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
13 Comments
  1. Cae Pasirhurip says

    Blog Ini bermanfaat …terus maju saudara……biar wahabi yang sesat cepat taubat …

  2. abdul says

    dari penjelasan di atas berarti sebelum mayit di kuburkan atau bagaimana karena membaca alquran disisi mayit sangat di anjurkan

  3. djadjang djuhana says

    apakah sahabat nabi yg mulia melakuan ritual 3,5,7,40 dst?

  4. Mohammad Muklasin says

    Lanjutkan Pak Kyai, Gus, Ust.
    Kami butuh referensi seperti ini.

  5. Haryono says

    Harus bisa memilih maslahat diantara 2 maslahat,

    Kadang dengan adanya tahlilan malah menyusahkan keluarga mayit yaitu dengan adanya memberikan makanan pada setiap orang yang datang, bahkan tidak sedikit dari kalangan masyarakat sampai berhutang.
    Saya rasa lebih memilih tidak ada acara tahlilan pasti aman dari mudhorat tadi, tidak dosa InsyAllah jika tidak mengadakan tahlilan.

  6. Gus Abdul Qodir Jaewangi says

    Sisi lain wahabi ngawur dengan istilah nihayah, sisi lain NU juga ngawur , udah tau keluargabmayit sedang berduka, malah ngadakan makan2 di rumah duku…praktiknya di desa2 masyarakat sampai hutang2 buat ngadakan tahlilan, monggo sistem tahlilan diperbaiki..kasihan keluarga mayit yg ga mampu.

  7. Hamba Allah says

    Disitu di jelaskan imam Syafi’i hanya berpendapat tentang niyahah bukan tahlilan , memang benar tapi kalian harus pahami bahwa pada zaman itu memang tidak ada acara tahlilan begitu juga dengan imam Syafi’i beliau tidak tahlilan jika ada orang yang meninggal jadi jelas orang yang tahlilan bukanlah ber madzhab Syafi’i

    1. Hamba Allah says

      Jadi imam Syafi’i tidak menjelaskan tentang tahlilan dalam pendapat atau kitabnya

  8. Hamba Allah says

    Kalau saya sih cari aman aja. Amal jariyah bisa jg ladang pahala ketika mati nanti. Gausah kerjain yang ga jelas ya kan ya ga? Soalnya kalau tahlilan yang datang ada jg orang yang ga pernah sholat

  9. Sidikiawa says

    Jaman skrg dakwah dicap wahabi ,jaman rasul dakwah sih dicap penyihir …btw ketua wahabi siapa ? Kapan dibentuknya ? Siapa saja anggotanya ? Biar kelak balasan coment ini jadi pertanggungjawaban nanti diakhirat

  10. Ian says

    Pernyataan diatas tsb malah menjelaskan bhwa dalil tentang yg ditukil oleh wahabi benar adanya dan jelas dalilnya, malah yg mnuduh wahabi tsb tdk bisa mnjelaskan dalil tentang diperbolehkannya tahlilan yg diadakan masyarakat skrg,,,,dan malah menjelaskan bhwa tahlilan yg dilakukan org² sprti biasa adalah kesalahan dan anda sndiri yg bilang brkumpul² dan mnyusahkan rumah duka adalh yg dilarang, nah jelaskan ktika msyarakat kita mngadakan tahlilan bagaimana? Smpe ngutang, klo beseknya lauk nya sdkit di ghibah, aplgi smpe minta rokok yg bapak²nya, blom lagi yg dblkang bukanya baca qur’an eh mlh tidur/ngobrol sndiri,,,,,hahaha lucu.

  11. Just says

    Agama ini dari Allah dan Rosul nya dan sudah dipraktikkan rosul dan para sahabat Rosul. Hukum ilah dengan ayat quran, tunjukkanlah hadisnya atau contoh sahabat Rosul yang melakukannya.

    Jika tdk ada dalil satupun, tidak pernah dilakukan Rosul dan para sahabat, maka kita beragama mengikuti siapa???

  12. abuy says

    yang melaksanakan tahlilan diminta menjelaskan dalil rincinya. nah coba balik tanya buat yang mencela tahlilan, sebutkan dalil rinci dari hadist dan quran yang secara rinci melarang tahlilan. inti bunyi dalilnya “tahlilan dilarang”.

Leave A Reply

Your email address will not be published.