Yasinan
Apakah Yasinan Itu ?
Di dalam khazanah Islam istilah ”Yasinan” merujuk kepada kebiasaan sebagian umat Islam yang menyelenggarakan acara kumpul bersama dengan membaca Surat Yasin. Itulah Yasinan. Sekalipun diberi istilah ”Yasinan”, isinya tidak sekedar membaca surat Yasin, tapi biasanya dilanjutkan dengan membaca surat-surat pendek, beberapa ayat pilihan dan dzikir bersama kemudian musyawarah dan ditutup dengan do’a.
”Yasinan” adalah kekayaan keberagamaan umat Islam yang sangat besar jasanya sebagai media dakwah. Tapi tidak semua umat Islam setuju dengan ”Yasinan”. Meskipun demikian, ada sebagian umat Islam lainnya yang menolaknya. Mereka menganggap praktek ”Yasinan” tidak diteladani oleh Nabi Muhammad dan tidak dianjurkan. Maka kesimpulan mereka ”Yasinan” adalah bid’ah, dan para pelakunya dianggap berdosa. Mereka juga memberi alasan bahwa hadits-hadits yang berisi keterangan tentang keutamaan Surat Yasin adalah hadits-hadits dhoif yang wajib dihindari pengamalannya.
Yasinan adalah membaca Al Qur’an bersama-sama.
Pada kenyataannya ”Yasinan” adalah kegiatan membaca Al Qur’an bersama-sama. Membaca Al Qur’an termasuk dzikir kepada Allah SWT. Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” . (QS Al Kahfi : 28).
Dalam bagian hadits Imam Muslim dari Abi Hurairoh ra, Rasulalloh SAW bersabda:
”Tidaklah duduk sekelompok orang di antara rumah-rumah Allah sambil membaca Kitab Allah (Al Qur’an) dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi kasih sayang, dinaungi malaikat dan sebut-sebut Allah di depan Makhluk yang ada di sisi-Nya (maksudnya para malaikat)”[1].
Dalam hadits tersebut tampak sekali anjuran membaca Al Qur’an bersama-sama, dengan berbagai keutamaannya, yaitu menghadirkan ketenangan batin, menghadirkan kasih sayang, mengundang malaikat datang menaungi, dan dibanggakan Allah di antara para malaikat.
Yasinan Setiap Malam Jum’at
Ada dua hal yang dilakukan dalam amalan tersebut, yaitu mengkhususkan membaca Quran pada malam Jumat dan mengkhususkan untuk membaca Surat Yasin.
Dalil yang pertama tentang menentukan waktu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِى مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا . وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ (رواه البخارى رقم 1193 ومسلم رقم 3462)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, baik berjalan atau menaiki tunggangan. Dan Abdullah bin Umar melakukannya” (HR Bukhari No 1193 dan Muslim No 3462)
al-Hafidz Ibnu Hajar[2] yang diberi gelar Amirul Mu’minin fil Hadis, beristidlal[3] dari hadis diatas:
وَفِي هَذَا اَلْحَدِيْثِ عَلَى اِخْتِلاَف طُرُقِهِ دَلاَلَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ (فتح الباري لابن حجر 4 / ص 197)
“Dalam hadis ini, dengan bermacam jalur riwayatnya, menunjukkan diperbolehkannya menentukan sebagian hari tertentu dengan sebagian amal-amal saleh, dan melakukannya secara terus-menerus” (Fath al-Bari 4/197)
Dalil kedua tentang mengkhususkan surat tertentu:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – كَانَ رَجُلٌ (كلثوم بن الهدم) مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِى مَسْجِدِ قُبَاءٍ ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِى الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِپ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا ، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى ، فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى . فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا ، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ . وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ « يَا فُلاَنُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ » . فَقَالَ إِنِّى أُحِبُّهَا . فَقَالَ « حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ » (رواه البخاري 774)
“Ada seorang sahabat bernama Kaltsul bin Hadm yang setiap salat membaca surat al-Ikhlas. Rasulullah Saw bertanya: “Apa yang membuatmu terus-menerus membaca surat al-Ikhlas ini setiap rakaat?”. Kaltsul bin Hadm menjawab: “Saya senang dengan al-Ikhlas”. Rasulullah bersabda: “Kesenanganmu pada surat itu memasukkanmu ke dalam surga” (HR al-Bukhari No 774)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ (فتح الباري لابن حجر ج 3 / ص 150)
“Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya menentukan membaca sebagian al-Quran berdasarkan kemauannya dan memperbanyak bacaan tersebut. Dan hal ini bukanlah pembiaran pada surat yang lain” (Fathul Bari III/105)
Berdasarkan hadis-hadis sahih dan ulama ahli hadis, maka hukumnya diperbolehkan.
Hadist Seputar Surat Yasin
Pada umunya, tradisi ”Yasinan” dilatar belakangi oleh niat menghidupkan sunnah Nabi, yaitu membaca surat Al Qur’an yang berdasarkan hadits Nabi memiliki keutamaan, termasuk surat Yasin.
Memang benar, terdapat beberapa hadits yang menerangkan surat Yasin berderajat dha’if (lemah) bahkan sampai berderajat maudhu’ (palsu).
Hadits-hadits Surat Yasin yang Berderajat Maudhu’
Hadits maudhu adalah sesuatu yang dikaitkan pada Nabi dengan cara dibuat-buat, dan dengan kebohongan, padahal Nabi tidak pernah mengucapkannya, melakukannya atau menyetujuinya[4]. Tegasnya, hadits maudhu’ itu palsu, bukan berasal dari Nabi, tapi dikemukakan sebagai hadits dari Nabi.
Membuat hadits palsu haram hukumnya. Bahkan Al Imam Juwaini menganggapnya sebagai kekufuran. Demikian pula, haram meriwayatkan hadits tersebut[5] Dengan demikian haram mengamalkan hadits yang berderajat maudhu’.
Contoh hadits surat Yasin yang berderajat maudhu’ ialah hadits di bawah ini yang artinya[6] :
Dari Anas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang membiasakan membaca surat Yasin pada malam hari maka ketika mati ia mati syahid”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thobroni dalam kitab Al Ausath Ash Shogir. Hadits tersebut dianggap maudhu’ karena dalam susunan rawinya terdapat terdapat nama Sa’id bin Musa al Azdi. Ia adalah seorang pembohong (kadzdzaab). Orang-orang yang bersemangat menganggap ”Yasinan” sebagai perbuatan bid’ah memperkuat hujjah-nya dengan hadits ini, dan hadits-hadits surat Yasin lain yang maudhu’. Padahal, bagi orang-orang yang melakukan tradisi ”Yasinan”, hadits-hadits surat Yasin yang maudhu’ sama sekali tidak disentuh, apalagi dijadikan hujjah atau dalil.
Padahal, bagi orang-orang yang melakukan tradisi ”Yasinan”, hadits-hadits surat Yasin yang maudhu’ sama sekali tidak disentuh, apalagi dijadikan hujjah atau dalil.
Hadits-Hadits Surat Yasin Yang Berderajat Hasan Lighoirihi
Hadits Hasan Lighoirihi adalah hadits dho’if yang jalur periwayatannya lebih dari satu, dan sebab kedho’ifannya bukan karena kefasikan atau pembohongnya perawi. Dari makna di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits dho’if bisa naik derajatnya menjadi hadits Hasan Lighoirihi karena dua hal :
- Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh seorang perawi lain atau lebih banyak, dimana riwayatnya berderajat sama atau lebih kuat.
- Sebab kelemahan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawi atau terputus sanadnya (inqitho’) tidak populer / dikenalnya (jahalah)
Hadits Hasan Lighoirihi lebih rendah derajatnya dari pada Hasan Lidzatihi, sehingga jika terjadi perbedaan isi di antara keduanya, hadits Hasan Lidzatihi harus lebih didahulukan. Tapi hadits Hasan Lighoirihi termasuk hadits maqbul, diterima sebagai hujjah hukum.[7]
Dalam bidang hadits, ukuran bagi diterima atau tidaknya sebuah hadits harus didasarkan kepada ukuran ilmu hadits. Maka jika seorang menafikan sebuah Hadits dengan kehendaknya sendiri, berarti ia telah melakukan tindakan gegabah, yang tidak perlu dicontoh apalagi dituruti. Untuk memastikan bisa diterima atau tidaknya hadits-hadits surat Yasin, kita wajib menggunakan ukuran-ukuran di atas. Di antara hadits-hadits surat Yasin yang menjadi hujjah adalah hadits-hadits di bawah ini :
Pertama, Nabi Muhammad saw bersabda :
”Hati Al Qur’an adalah surat Yasin, tidaklah seseorang membacanya karena mengharap ridho Allah kecuali Allah pasti akan mengampuninya, bacalah surat Yasin untuk orang mati kalian”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban, hadits tersebut bersumber dari sahabat Ma’qal bin Yasar ra., matan di atas berasal dari kitab An Nasa’i.
Hadits tersebut dianggap shohih oleh Ibnu Hibban. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits tersebut dan menganggapnya shohih. [8]
Mereka yang anti Yasinan mengatakan bahwa hadits di atas adalah dho’if karena ada perawi yang majhul (jahalah) dalam susunan perawinya yaitu Abu Utsman. Dan dengan alasan itu pula ia menganggap ”Yasinan” sebagai bid’ah, sebuah tuduhan yang gemar dilancarkannya.
Beberapa hal perlu dikemukakan berkaitan dengan anggapan tersebut :
- Kalau memang benar hadits ini dho’if disebabkan kejahalahan / kemajhulan Abu Utsman (banyak yang mengutip sumbernya dari pendapat ahli hadits Adz Dzahabi) tidak berarti hadits ini haram dijadikan hujjah, sebab berdasarkan ilmu hadits, hadits dho’if yang kedho’ifannya tidak disebabkan kefasikan dan kebohongan perawi, dan hadits tersebut diriwayatkan lebih dari satu perawi maka hadits tersebut derajatnya naik menjadi hadits Hasan Lighoirihi. Hadits di atas memenuhi syarat-syarat tersebut. Jadi, wajib diamalkan karena berarti kita telah menghidupkan sunah Nabi.
- Sekalipun ternyata bahwa dalam seluruh jalur periwayatan hadits tersebut terdapat nama Abu Utsman, tapi karena hadits tersebut diriwayatkan oleh empat Imam(penulis mengecualikan riwayat dari Imam an-Nasai yang hanya menulis nama Abu Utsman tanpa menulis dari bapaknya) Abu al Fida al Hafidh Ibn Katsir Ad Dimsyaqi, Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992) jilid ketiga, hal: 678.
Maka berarti pula Abu Utsman meriwayatkan empat kali. Berarti kemajhulan Abu Utsman harus dipertanyakan, sebab seorang perawi disebut majhul diantaranya, kalau hanya sekali saja meriwayatkan hadits. [9] Jika demikian Abu Utsman tidak bisa dianggap majhul.
Dengan begitu hadits di atas shohih, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan Ibn Hibban. Tapi, dengan tanpa pengandaian-pengandaian, penulis lebih condong mengatakan hadits tersebut di atas derajatnya Hasan Lighoirihi, yang bisa digunakan sebagai hujjah, dan harus diamalkan.
Kedua,
”Al Hafidh Abu Ya’la berkata, ”Meriwayatkan padaku Ishaq bin Abi Isra’il meriwayatkan padaku Hajjaj bin Muhammad dari Hisyam bin Ziyad dari Al Hasan, ia berkata: ”Aku mendengar Abu Hurairoh berkata, Rasulalloh SAW bersabda: barang siapa membaca Surat Yasin di malam hari maka keesokan paginya diampuni Allah. Dan barang siapa yang membaca Haa Mim yang disebut di dalamnya Ad Dukhon maka keesokan paginya diampuni oleh Allah”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa hadits ini isnadnya bagus.[10]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata [11] tentang hadits tersebut:
هذا حديث حسن
“Ini adalah hadits hasan.”
Imam Suyuthi mengatakan tentang hadits ini:
هذا إسناد على شرط الصحيح
“Ini adalah sanad yang sesuai standar shahih.” [12]
Imam Syaukani berkata:
حديث من قرأ يس ابتغاء وجه الله غفر له رواه البيهقي عن أبي هريرة مرفوعا وإسناده على شرط الصحيح وأخرجه أبو نعيم وأخرجه الخطيب فلا وجه لذكره في كتب الموضوعات
“Hadits: Barangsiapa membaca Yasin dengan mengharap ridho Allah, ia akan diampuni. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai standar Shahih. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dan Al-Khathib. Maka, tidak ada alasan memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab hadits-hadits maudhu’ (palsu).” [13]
Dalam buku ”Yasinan” nya – entah sengaja, pura-pura lupa atau lupa –Ustadz Yazid Abdul Qodir al Jawaz tidak mencantumkan susunan sanad yang lengkap melalui riwayat Abu Ya’la sebagaimana kita lihat hadits di atas. Ia justru menampilkan hadits dengan redaksi (matan) serupa yang diriwayatkan oleh at Thabroni dalam kitab al Mu’jam al Ausath dan al Mu’jam ash Shoghir, yang didalamnya terdapat nama Aghlab bin Tamim yang oleh ahli hadits dianggap dhoif[14]. Sedangkan dalam riwayat Abu Ya’la di atas sama sekali tidak ada nama perawi tersebut. Bahkan riwayat Abu Ya’la itu diberi komentar isnaaduhu jayyid (susunan sanad/ perawinya bagus).
Menurut ahli hadits Indonesia, guru besar Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ), Jakarta Profesor Doktor KH. Maghfur Utsman, jika sebuah hadits dikomentari isnaaduhu jayyid maka hadits tersebut berderajat hasan.[15] Maka jelaslah bahwa hadits tersebut bisa dijadikan hujjah, sehingga orang yang mengamalkannya memperoleh pahala dari Allah, dan berdosalah orang yang dengan sengaja (apalagi dengan semangat kebencian yang meluap-luap) meninggalkan dan menanggalkan isi hadits tersebut. Na’udzubillah!!!
Yasinan Melebihi Waktu Sholat ‘Isya
Adakalanya penyelenggaraan majelis Yasinan dilakukan Ba’da Maghrib dan kadang rangkaian acaranya cukup banyak. Hal tersebut tentunya menambah panjang waktu kegiatan dan terpaksa mengakhirkan shalat Isya. Bagaimana mengenai hal tersebut ?
Jika kita membuka kembali kitab Bulughul Maram yang disusun oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam bab / kitab Sholat mengenai waktu-waktu sholat, akan kita temukan hadist-hadist mengenai waktu sholat Isya sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ )
Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning waktu shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang waktu shalat Isya hingga tengah malam dan waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit.” Riwayat Muslim.
وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّيَ اَلْعَصْرَ ثُمَّ يَرْجِعُ أَحَدُنَا إِلَى رَحْلِهِ فِي أَقْصَى اَلْمَدِينَةِ وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ اَلْعِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا وَكَانَ يَنْفَتِلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْغَدَاةِ حِينَ يَعْرِفُ اَلرَّجُلُ جَلِيسَهُ وَيَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إِلَى اَلْمِائَةِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَعِنْدَهُمَا مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ: ( وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا: إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ )
Abu Barzah al-Aslamy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah setelah usai shalat Ashar kemudian salah seorang di antara kami pulang ke rumahnya di ujung kota Madinah sedang matahari saat itu masih panas. Beliau biasanya suka mengakhirkan shalat Isya’ tidak suka tidur sebelumnya dan bercakap-cakap setelahnya. Beliau juga suka melakukan shalat Shubuh di saat seseorang masih dapat mengenal orang yang duduk disampingnya beliau biasanya membaca 60 hingga 100 ayat. Muttafaq Alaihi.
Menurut hadits Bukhari-Muslim dari Jabir: Adakalanya beliau melakukan shalat Isya’ pada awal waktunya dan adakalanya beliau melakukannya pada akhir waktunya. Jika melihat mereka telah berkumpul beliau segera melakukannya dan jika melihat mereka terlambat beliau mengakhirkannya sedang mengenai shalat Shubuh biasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya pada saat masih gelap
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya’ sampai malam telah berlalu sebagian besarnya dan mereka yang menunggu di masjid sudah tertidur. Kemudian dia mengerjakan shalat dan berkata : “Ini adalah waktunya, jika saja aku tidak memberatkan umatku.” (Muslim, III/345, no. 1009)
Dengan redaksi lain diluar kitab Bulughul Marom, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah..
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika tidak memberatkan ummatku, maka aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya’ sampai sepertiga malam atau separuhnya.” (HR Turmudzi dan dia mengatakan : “Hadits ini Hasan Shahih”, Sunan Turmudzi, I/280, 152)
Dari hadits-hadits diatas, ditambah beberapa sumber lain (salah satunya tulisan KH. Quraish Shihab), dapat kita simpulkan :
- Rasul kadang melaksanakan shalat isya’ di awal waktu, di waktu lainnya melaksanakan shalat isya’ di akhir waktu. Artinya, shalat isya’ di awal waktu maupun mengakhirkannya juga tetap merupakan sunnah nabi, bukan sesuatu yang kurang baik.
- Waktu yang terbaik, utama, untuk mendirikan shalat isya’ adalah di sepertiga malam. Tapi Rasul tidak memerintahkan ummatnya supaya melaksanakannya di waktu-waktu tersebut supaya tidak memberatkan. Bila kita tidak merasa keberatan, Atau kita berniat mengakhirkan sholat Isya’ dikarenakan melaksanakan kegiatan yang bernilai ibadah maka bisa disebut diperbolehkan.
- Bila Rasul mengakhirkan shalat isya’, beliau tidak suka tidur dahulu sebelumnya, dan langsung tidur setelah mendirikan shalat isya’. Demikian juga jika kita berniat mengakhirkan sholat Isya’ dikarenakan melaksanakan kegiatan yang bernilai ibadah bukan karena tidur maka hal tersebut bisa disebut diperbolehkan.Wallahu’alam bishawab.
[1] Al Imam Abi al Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Shohih Muslim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992), juz dua, hal: 574.
[2] al-Hafidz Ibnu Hajar yang dimaksud adalah Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773 H/1372 M – 852 H/1449 M) adalah seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i terkemuka.
[3] Dari segi bahasa, arti istidlal ialah thalah-u ‘I -dalil (mencari dalil). Dikalangan ahli ushul fiqih, kata istidlal digunakan dalam mencari dalil untuk menentukan hukum sesuatu masalah yang tidak ada dasar dari nash al-Qur’an maupun al-Sunnah dan penetapan hukum
[4] DR. Muhammad Ajjaj Al Khothib, Ushuul al Hadits, (Libanon, Daar Al Fikr, 2006), hal: 275.
[5] Al Khothib, ibid.
[6] Al Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy Syaukani Al Yamani, Tuhfah Adz Dakirin, (Kairo, Daar al Hadiits, 2004), hal: 419
[7] DR. Mahmud Ath Thohaan, Taisiir Mushtholah al Hadits, (Libanon, Daar al Fikr), hal: 43.
[8] Asy Syaukani, ibid.
[9] Ath Thohaan, looc.cit. hal: 98
[10] Ibnu Katsir, op.cit, hal: 678.
[11] dalam kitabnya “Nataijul Afkar fi Takhriji Ahaditsil Adzkar”
[12] Kitab “Al-La’ali Al-Mashnu’ah” karya Imam Suyuthi
[13] Al-Fawaid Al-Majmu’ah karya Imam Syaukani 1/303 Bab Fadhlul Qur’an, Maktabah Syamilah
[14] Asy Syaukani, ibid.
[15] Wawancara 14 Februari 2007.
[16] Kamus al Munawwir, Arab-Indonesia terlengkap, Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2000, cet. kedua puluh lima, hal. : 1145
[17] Jalal al Din As Suyuthi Asy Syafi’i , Al Itqaan fi Ulum al Qur’an (Libanon, Daar al Fikr, tt), juz kedua, hal. : 159.
[18] Asy Syaukani, ibid.
[19] As-Syaukani, ibid
Sumber : Dari berbagai sumber
Tambahan : Melihat Dalil Yasinan Lainnya
Kaum Muslimin di Indonesia meyakini bahwa Islam disebarkan di Nusantara oleh para ulama yang alim dalam hal ilmu agama. Berdasarkan kealiman mereka, yang sudah barang tentu melebihi kealiman orang-orang sekarang, mereka melakukan inovasi dan melestarikan tradisi-tradisi Islam yang berlangsung hingga sekarang, seperti tradisi Yasinan, Tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan lain-lain. Hanya saja karena umat Islam Nusantara, tidak pernah mempersoalkan dalil-dalil teradisi amaliah Islami tersebut, para ulama kita jarang sekali menjelaskan dalil-dalil tradisi tersebut.
Belakangan setelah fitnah kaum Wahabi mulai masuk ke Nusantara, mulai terjadi gugatan terhadap beragam tradisi yang telah berkembang sebelumnya. Kaum Wahabi beralasan, bahwa tradisi tersebut tidak memiliki dalil. Padahal sebagaimana kita maklumi, kaum Wahabi-lah yang paling miskin dalil. Akan tetapi setelah para ulama kita menjelaskan dalil-dalil tradisi tersebut, kaum Wahabi masih berkilah, “Itu mendalili amal, bukan mengamalkan dalil.” Tentu saja, karena kaum Wahabi belum mampu menjawab dalil-dalil yang dikemukakan oleh para ulama. Mengamalkan dalil dan mendalilkan amal, selama dalilnya shahih, tidak ada bedanya.
Berikut ini dalil-dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kebaikan dan ibadah.
1) Dalil pertama, hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau tidak menjelaskan bahwa penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).
2) Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري (1149) ومسلم (6274) وأحمد (9670) والنسائي في فضائل الصحابة (132) والبغوي (1011) وابن حبان (7085) وأبو يعلى (6104) وابن خزيمة (1208) وغيرهم.
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274), al-Nasa’i dalam Fadhail al-Shahabah (132), al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al-Hakim (1/313) yang menilainya shahih.).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم
“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).
3) Hadits Ziarah Tahunan
عن محمد بن إبراهيم قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي قبور الشهداء على رأس كل حول فيقول:”السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار”، وأبو بكر وعمر وعثمان
“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).
Hadits di atas juga disebutkan oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.
4) Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha
عن محمد بن علي قال كانت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم تزور قبر حمزة كل جمعة
“Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin berkata: “Fathimah putrid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713]).
عن الحسين بن علي : أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم كانت تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلي و تبكي عنده هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات
“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu menunaikan shalat dan menangis di sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]).
5) Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلَاثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sampaikanlah hadits kepada manusia setiap hari Jum’at. Jika kamu tidak mau, maka lakukan dua kali dalam sepekan. Jika masih kurang banyak, maka tiga kali dalam sepekan. Jangan kamu buat orang-orang itu bosan kepada al-Qur’an ini. (HR. al-Bukhari [6337]).
Keterangan:
Menetapkan hari-hari tertentu dengan kebaikan, telah berlangsung sejak masa sahabat. Karena itu para ulama di mana-mana, mengadakan tradisi Yasinan setiap malam Jum’at atau lainnya, dan beragam tradisi lainnya. Hal ini telah berlangsung sejak masa salaf.
6) Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم
“Syaqiq Abu Wail berkata: “Abdullah bin Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. Lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. Alangkah senangnya kami jika engkau berbicara kepada kami setiap hari?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah mencegahku untuk berbicara kepada kalian, kecuali karena takut membuat kalian bosa. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami dalam hari-hari tertentu, khawatir membuat kami bosan.” (HR. al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki waktu tertentu untuk berceramah kepada para sahabatnya, kecuali dalam khutbah Jum’at dan hari raya secara rutin. Beliau memberikan nasehat kepada mereka kadang-kadang saja, atau ketika ada suatu hal yang perlu diingatkan kepada mereka. Kemudian setelah beliau wafat, para sahabat menetapkan hari-hari tertentu untuk menggelar pengajian. Hal ini membuktikan bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk kebaikan hukumnya boleh.
7) Fatwa Syaikh Nawawi Banten rahimahullah
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب، ولا يتقيد بكونه سبعة أيام أو أكثر أو أقل، وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاويني. (الشيخ نووي البنتني، نهاية الزين ص/281).
Bersedekah untuk orang meningga dengan cara yang syar’i itu dianjurkan. Hal tersebut tidak terbatas dengan tujuh hari, lebih atau kurang. Membatasi sedekah dengan sebagian hari, termasuk tradisi saja sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Tradisi masyarakat telah berlangsung dengan bersedekah pada hari ketiga kematian, ketujuh, keduapuluh, keempat puluh, keseratus, dan sesudah itu dilakukan setiap tahun hari kematian, sebagaimana dijelaskan oleh guru kami Yusuf al-Sunbulawaini. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hlm 281).
Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk melakukan kebaikan secara rutin, adalah tradisi Islami yang mulia, berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tradisi para sahabat. Alhamdulillah.