The news is by your side.

Bisakah Kita Menjaga Lisan ?

Mulutmu Harimaumu, demikianlah peribahasa yang menyebutkan, bahwa perkataan bisa menjadi “senjata tajam,” sehingga dapat menyakiti orang lain, jika mulut dan lisan kita tidak bisa kita jaga.

Begitulah para orang bijak dahulu, mereka sangat peka, dan hati-hati menjaga perkataannya, sehingga banyak kata-kata bijak yang lahir sebagai taburan mutiara kehidupan, untuk memberi peringatan dengan pengandaian, sehingga dengan peringatan itu, kita bisa menjaga hubungan baik dalam bermasyarakat, berorganisasi, bertoleransi, bahkan dalam berbangsa dan bernegara.

Adab dalam berkata-kata sangat sulit dilakukan, jika kita merasa kita adalah manusia paling sempurna, paling benar, paling suci, paling berkuasa, paling berilmu, paling bisa, lalu diiringi ego yang tinggi, serta nafsu berlebihan, maka hadirlah rasa sombong yang akan sulit dibendung.

Andai kesombongan diri ini hadir, maka dimata kita, semua manusia dianggap kecil, dianggap tak berarti, dan itulah perilaku Iblis, yang merasa paling hebat, paling mulia, sehingga ia tak mau merendahkan dirinya kepada Adam, ketika Allah memintanya untuk bersujud mengakui keberadaan Adam.

Dan apa yang diucapkan Iblis atas Adam, yang dicatatkan dalam Al Quran, Iblis menjawab perintah Allah, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12).

Itulah Jawaban yang keluar dari mulut mahluk yang sombong, tak beradab, dan durhaka, ia tak tahu diri, tak bisa mengendalikan pikirannya, dan hawa nafsunya, sehingga itu membawa pada kecelakaan dirinya, dengan di usirnya Iblis dari Surga, dengan sangat hina.

Maka pantas Iblis sangat menaruh dendam, dan untuk itu, ia selalu mencari cara menghembuskan pengaruh kesombongannya pada umat manusia yang tentunya lemah iman, lemah adab, dan lemah toleransi, yang dengannya memberi pengaruh negatif, tidak baik, dalam membangun komunikasi saat berucap, berbahasa, yang ia gunakan dalam pergaulannya.

Berbahasa yang baik itu menunjukan karakter kita.
Berbudi bahasa yang menarik, memikat, lemah lembut, sopan santun, merupakan adab dalam membangun kepercayaan, penghormatan, dan kesolehan sosial yang harus kita tunjukan.

Lalu bisakah kita menjaga mulut kita agar terjauh dari bahayanya lisan ?

JIka kita manusia yang menyadari kelemahan diri, bahwa kita kurang bisa mengontrol lisan, maka diamnya kita akan lebih baik, dan bermanfaat dari pada kita banyak berkata-kata, yang tanpa disadari, ketika kita bablas bicara, yang keluar dari lisan kita, adalah bahasa yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Maka seketika itu juga, orang dapat meraba bagaimana karakter sesungguhnya dari diri kita ini.

Seandainya sudah seperti itu orang lain mampu meraba karakter kita yang buruk, otomatis akan ada dampak pada diri kita, sebagai respon orang lain menyikapi keberadaan kita.
Seperti apa responnya ?

Individu yang tersakiti dengan kata-kata kita, ia akan menjauh dari hubungan yang sudah dibangun baik oleh kita.
Ia akan antipati, dan menunjukan rasa risih, tidak nyaman, dan itu terbaca dari bahasa tubuh yang bisa kita tangkap saat ia berada dengan kita.
Hilang rasa respek, tak mau tahu, dan mengacuhkan kita.

Jika sudah seperti ini, siapa yang rugi ?
Kita sendiri yang merugi, karena sudah membuat lubang galian untuk mengubur dalam-dalam kepribadian kita yang seharusnya baik dimata orang.

Yang rugi adalah kita !
Yang akan menjauh dan pergi dari kita, adalah orang-orang yang kita kenali.
Dan dampak lainnya, dari mulut-kemulut kepribadian kita akan dibicarakan banyak orang, sehingga akhirnya, hanya karena kita tidak bisa menahan dan menjaga lisan, maka kita akan dikenal sebagai manusia tak berahlaq, manusia hina, dan layaknya Iblis dan Syaitan. Sehingga akhirnya kitapun terusir dari pergaulan yang sebetulnya kita telah nyaman disituasi pergaulan tersebut.

Maka jagalah lisan kita !
Hati-hati dan berpikirlah sebelum kita berkata-kata.
Kata-kata yang tak terkontrol, akan menunjukan siapa dirimu sebenarnya.

Dan jika sudah lepas umbaran kata yang tanpa kita sadar telah menyakitkan orang lain, maka kita akan tersadar, setelah orang lain membuat batasan, jarak antar dirinya dan kita, dan cela lewat lisan yang kita buat, sudah tak mungkin bisa lagi kita perbaiki, karena kata,”maaf,” tetap tak akan bisa merubah keadaan pertemanan seperti sediakala, dan ini, akan seterusnya menjadikan persahabatan, persaudaraan, hubungan bertetangga, hubungan dalam organisasi itu akan menjadi hambar, tak lagi harmonis, serta sudah tak mungkin semesra seperti sediakala.

Apa kata sabda Nabi kita Muhammad SAW, soal bahaya lisan ini,
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (H.R. al-Bukhari).

Dan dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (HR: al-Bukhari dan Muslim).

Alhamdulillah.
Semoga bermanfaat.
Bambang Melga Suprayogi M.Sn

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.