Bung Karno, Nasab dan Nasibnya
Alfi Saifullah – Ada sebagian orang berpendapat, bahwa nasab tidak linear dengan nasib. Nasab yang baik tak selalu melahirkan nasib baik dalam hidup. Kadang nasab hanya menjadi hiasan dinding yang dibingkai, dan tak pernah menjelma menjadi jalan yang terang.
Tapi sejarah berkata lain, terkadang garis keturunan menjadi kompas arah akan takdir. Di Jawa misalnya, persepsi ini bukan sekadar mitos―namun berkembang menjadi narasi kepemimpinan (Trah). Ada kearifan Jawa yang berbunyi, Trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih (keturunan pahlawan serupa tetesan madu, begitu juga genetik pertapa dan orang terpilih)―secara eksplisit, narasi ini memberi legitimasi bahwa garis keturunan memberi input terhadap perjalanan hidup seseorang, terutama terkait kekuasaan.
Bung Karno (1901-1970) adalah contoh paling nyata. Presiden pertama RI itu bukan hanya Pemimpin Besar Revolusi Indonesia atau Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Ia menjadi simbol dan narasi yang menyatukan antara nasab luhur dan nasib yang baik. Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams ia mengatakan, Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodiharjo. Raden merupakan gelar kebangsawanan. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi-lagi, pakah merupakan suatu kebetulan atau apakah suatu takdir bagiku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa (Cindy Adams, 2007). Pernyataan ini bukan sekadar nostalgia atau bangga keturunan, tetapi bagian dari konstruksi identitas. Seorang Soekarno sadar betul, dalam konteks politik dan budaya Indonesia yang kental dengan feodalisme dan patronase, legitimasi genealogis itu bisa menjadi wibawa―memberi aura tersendiri.
Berdasar keterangan dari keluarga Bung Karno yang berada di Grobogan, Nurinwa telah mencatat silsilah presiden pertama RI tersebut yang terhubung kepada raja-raja Jawa.
Sukarno putra R. Sukemi Sosrodiharjo putra R. Harjodikromo putra R. Danuwikromo putra R. Mangundiwiryo (Pangeran Haryomangkudiningrat) putra Sultan Hamengkubuwono II putra Susuhan Amangkurat IV putra Susuhunan Pakubuwono I putra Susuhunan Amangkurat I putra Sultan Agung Hanyokrokusumo putra Panembahan Hanyakrawati (Mas Jolang) putra Panembahan Senopati putra Ki Ageng Pemanahan putra Ki Ageng Henis putra Ki Ageng Sela putra Ki Ageng Getas Pendowo putra Raden Bondan Kejawen putra Prabu Brawijaya V.
Tidak hanya dalam tulisan, dalam amanatnya saat peringatan Nuzulul Qur’an di Demak tahun 1958―Bung Karno juga menegaskan―bahwa ia merupakan keturunan Sunan Kalijaga (Salam,1985). Jika ditarik garis silsilah dari neneknya, Raden Mas Nganten istri R. Harjodikromo, nasab Bung Karno akan bersambung kepada Nyai Ageng Serang, salah satu pahlawan nasional dan berujung kepada Sunan Kalijaga, anggota Walisongo yang berdakwah dengan kearifan budaya.
Sukarno putra R. Sukemi Sosrodiharjo putra Raden Mas Nganten putri RT. Haryokusumo putra Nyai Ageng Serang putri Panembahan Notoprojo putra Panembahan Wijil putra Pangeran Ronggo Notoprojo putra Panembahan Ronggo putra Panembahan Kaniten putra Panembahan Semarang putra Sunan Hadikusuma putra Sunan Kalijaga.
Demikian juga jika ditilik dari garis ibu, Bung Karno juga bukan warga kebanyakan. Ia keturunan Kasta Brahmana―sebuah strata sosial tertinggi dalam tradisi Hindhu Bali. Presiden pertama RI itu mengatakan, Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibuku.
I Ketut Loka dari keluarga Bale Agung Buleleng, Singaraja membenarkan ucapan Bung Karno terebut. Pada tahun 1984, ia menyusun silsilah Bung Karno dari gari ibu yang bersambung kepada brahmana terkemuka di era Majapahit, termasuk Ken Dedes istri Ken Angrok.
Sukarno putra Ida Ayu Nyoman Rai putri Nyoman Pasek putra Made Tangkas putra Nengah Tangkas putra Nengah Ade putra Made Gelgel putra Ketut Pasek putra I Wayan Dangin Netra (Buleleng) putra Jro Mangku Langsir (pemangku pura Bale Agung) putra I Gde Pasek Baleagung (Pasek Penataran, Bale Agung) putra I Gde Pasek Tatar putra Khayi Gusti Pasek (Lurah Tatar) putra Arya Tatar putra Mpu Purwa putra Mpu Purwanata (Ponowijen) putra Mpu Wiranata (Tumapel) putra Mpu Wiradyana putra Mpu Gni Jaya Sang Brahmana Pandita (Gunung Lempuyang Bali) putra Hyang Gni Jaya (Gunung Lempuyang) putra Hyang Pasopati (Gunung Semeru).
Tidak sekadar keturunan Brahmana, lebih dari itu masyarakat Bali juga mempercayai bahwa Bung Karno adalah titisan Dewa Wisnu, satu dari tiga dewa trimurti. Terkait hal ini, Bung Karno mengatakan, Di Bali orang percaya, bahwa Sukarno merupakan penjelmaan Dewa Wisnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu, karena setiap aku datang ke Tampaksiring, tempat peristirahatan yang tidak jauh dari Denpasar, selalu turun hujan, bahkan juga di tengah kemarau. Orang Bali, yakin, bahwa aku membawa berkah kepada mereka. Saat terakhir aku terbang ke Bali mereka sedang mengalami musim kering. Begitu aku mendarat, air tercurah dari langit. Jujur saja, aku mengucapkan syukur ke Sang Maha Pencipta bila turun hujan selama aku tinggal di Tampaksiring, karena kalau tidak hujan, kewibawaanku akan berkurang.
Meskipun Bung Karno memiliki nasab yang baik, ia tidak tejebak pada glorifikasi darah biru. Bung Karno menjadi besar bukan karena trahnya. Ia besar karena kerja keras, pikiran yang melampaui zaman serta pidato-pidatonya yang mengguncang dunia.
Kita memasuki era dimana nasab tak lagi menjadi alasan kuat akan kualitas seseorang. Namun tak dapat dinafikan, dalam budaya tertentu, nasab adalah bagian identitas yang diperhitungkan. Bukan sebagai syarat mutlak, namun nilai tambah―menjadi pintu menuju panggung yang lebih besar.
Bung Karno adalah anak zaman―ia paham betul akan kekuatan simbol agama dan tradisi. Lantas memakai simbol tersebut guna menyatukan rakyat dan memperkuat legitimasi moralnya. Bung Karno berusaha menjembatani antara kebangsawanan dan kebangsaan. Antara masa silam dan masa depan. Dalam konteks ini, nasabnya tidak hanya garis keturunan, juga narasi kekuasaan.
Bung Karno menuliskan takdirnya dengan tinta sejarah, bukan hanya dengan tinta darah. Dan mungkin karena itu, namanya tetap abadi. Ia telah mengajarkan, bukan dari siapa kita dilahirkan, tapi apa yang kita wariskan kepada sejarah. Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan
Cindy Adams, 2007, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yogyakarta; Media Pressindo.
Izarman, 1998, Bung Karno: Saya Berdarah Bali, Denpasar: Harian Nusa.
Nurinwa Ki S Hendrowinoto dkk, 2002, Ayah Bunda Bung Karno, Jakarta: Republika
Solichin Salam, 1985, Sekitar Walisanga, Kudus: Penerbit Menara.
Sugeng Hariyadi, 1998, Menyingkap Asal Usul Bung Karno, Grobogan: CV Mega Berlian.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.