The news is by your side.

Gus Dur dengan Misi Njajah Negara Milang Lintang-nya

Alfi Saifullah – Dahulu, Mbah Warimun salah satu adik kakekku pernah memaparkan sebuah cerita. Semasa ia kecil, sekitar tahun 1950-an, terdapat rumor yang berkembang, dan mendapat perhatian publik secara luas, tentang ‘Jangka Jaya Baya’. Sebuah ramalan yang kerap disandarkan kepada Sri Panji Jayabaya, maharaja Kerajaan Kediri yang masyhur dengan keahliannya memprediksi kejadian yang akan datang. Di kemudian hari, saya mengkonfirmasi jangka dari Mbah Warimun itu pada teks-teks Jangka Jayabaya yang ada seperti Jangka Jaya Baya Sabda Gaib, Pranitiwakya, Seratan Tangan dan sejenisnya, namun hasilnya nihil. Entah, dari mana ramalan itu bersumber, tidak ada yang tahu. Yang pasti, Jangka itu telah menjadi sastra lisan yang popular saat itu. Di warung kopi, di pasar, teras masjid, hingga di perempatan jalan, ramalan itu diperbincangkan dengan asyik dan menggairahkan. Mereka membicarakan sosok pemimpin dimasa depan. Sosok yang digambarkan dengan deretan narasi ‘wong wuto ngideri jagad, wong ngesot ngitung lintang’ (orang buta mengelilingi dunia, orang lumpuh menghitung lintang). Banyak yang meyakini kebenaran ramalan tersebut. Meski yang mengingkari juga tidak kalah banyaknya, termasuk Mbah Warimun sendiri.

Pada Tanggal 20 Oktober 1999, seluruh rakyat Indonesia menjadi saksi terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4. Ketua umum PBNU tiga perode tersebut dilantik pasca mengalahkan rivalnya, Megawati Soekarnoputri. Dalam pemungutan suara, Gus Dur yang diusung oleh kualisi poros tengah telah memenangkan pertarungan di Senayan. 373 berbanding 313 suara, hanya selisih 60 suara, dan terbilang sedikit untuk pemilihan sekaliber presiden. Alhasil, tokoh dengan segudang kontroversi itu menjadi orang nomor satu di republik ini meski PKB sebagai partai besutan Gus Dur memperoleh kurang dari 13% suara, ditambah kondisi fisik dan kesehatannya yang kurang memungkinkan. Namun begitulah kehendak Allah, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi tanpa perlu persetujuan dari seluruh makhlukNya. “Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyā`u wa tu’izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka ‘alā kulli syai`ing qadīr”. Dan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden RI seakan-akan telah menjadi pembenaran dengan jangka yang diceritakan oleh Mbah Warimun tersebut.

Bila narasi tersebut dicermati secara mendalam, lantas di korelasikan dengan realitas yang ada, maka akan semakin terkuak kebenarannya. ‘Wong wuto ngideri jagad’, orang buta mengelilingi bumi. Semua orang tahu, jika Gus Dur mengalami gangguan penglihatan. Terlebih pasca ia divonis dokter mengidap glaucoma, dan perlahan-lahan daya penglihatan Gus Dur mulai menurun. Ketika menjabat sebagai Presiden, Gus Dur telah melakukan 80 kali kunjungan ke luar negeri. Jumlah yang cukup fantastis dalam satu dekade pemerintahan yang hanya 20 bulan. Dalam acara Talk Show Kick Andy, Gus Dur pernah menegaskan bahwa kunjungannya ke luar negeri adalah dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI. Sudah menjadi rahasia umum, bila hari-hari menjelang tumbangnya Orde Baru, Indonesia rentan dengan berbagai gerakan separatis yang berpotensi menggoyang keutuhan NKRI. Sebut saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sebelumnya, Indonesia juga kalah telak dalam referendum dan jejak pendapat terkait konflik di Timor-Timor. Dimana kekalahan itu berujung dengan lepasnya provinsi di sebelah timur NTT itu dari pangkuan NKRI. Apa yang telah dilakukan Gus Dur dengan berkeliling dunia, semakin membenarkan ‘jangka’ tersebut. Dan bukan kebetulan pula apabila jagad atau bumi merupakan simbol dari organisasi yang pernah dinahkodai oleh Gus Dur, Nahdlatul Ulama.

Penggalan kata berikutnya, ‘wong ngesot ngitung lintang’ secara tekstual berarti, orang lumpuh menghitung bintang. Secara eksplisit, kata ini mengarah kepada sosok Hj. Sinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur. Usai mengalami kecelakaan pada tahun 1992, Hj. Sinta Nuriyah mengalami kelumpuhan di separuh tubuhnya. Untuk bisa menggerakkan kembali tubuhnya, Ibunda Allisa Wahid tersebut sempat menjalani terapi selama satu tahun. Terapi itu membuahkan hasil, perlahan-lahan lengan Bu Sinta mulai dapat digerakkan. Bila dianalisis secara mendalam, maksud dari orang lumpuh menghitung bintang tak lain adalah Hj. Sinta Nuriyah dengan bintang sebagai komponen dasar dari simbol NU. Bintang sembilan. Dalam gambar bintang terkandung makna simbolik dari Wali Songo. Sembilan Bintang juga merepresentasikan Nabi Muhammad berikut 4 Khulafaurr Rasyidin dan 4 Imam madzhab. Demikian makna standar dari bintang sembilan yang telah disepakati kebenarannya oleh sebagian besar warga Nahdliyin.

Di awal masa pemerintahan Presiden Gus Dur, perhelatan Muktamar NU ke-30 digelar. Muktamar yang berlangsung pada tanggal 21 hingga 27 November 1999 itu dilaksanakan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Forum terbesar warga Nahdliyin itu telah mengantarkan Dr. KH. Hasyim Muzadi menjadi ketua umum PBNU periode 1999-2004. Dibawah kepemimpinan Kiai Hasyim, NU semakin berkembang dan mengepakkan kedua sayapnya. Organisasi itu menyebar di belahan negara dunia. Semua benua tak terkecuali telah menyambut tanaman hijau ‘royo-royo’ itu di seluruh penjuru wilayahnya. Terhitung hingga saat ini, terdapat 34 PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU di luar negeri.

Artikulasi dari jangka yang berbunyi ‘wong wuto ngideri jagat, wong ngesot ngitung lintang’ terkait hubungan NU dengan Indonesia. ‘Wong Wuto’ yang dimaksud adalah Gus Dur dengan kapasitasnya sebagai presiden. Pemimpin rakyat Indonesia yang telah mengelilingi dunia demi menjalin kerjasama, merajut hubungan bilateral, juga menanamkan benih-benih NU. Ia telah menyemai benih-benih itu sekaligus merawatnya. Gus Dur mengelilingi jagad, lambang dari organisasi yang pernah ia nahkodai. Sebaliknya Bu Sinta, sebagai pendampingnya dirfleksikan sebagai ‘wong ngesot’ yang menghitung hamparan bintang. Setelah narasi jangka ini teraktualisasikan dalam bentuk yang nyata, NU sermakin berkibar. Semua berbondong-bondong masuk NU, baik secara terang-terangan ataupun malu-malu. Nilai-nilai dan ajaran NU mewarnai di hampir semua kelompok, termasuk yang pernah berseberangan dengannya. Meminjam istilah Mufid Rahmat dalam judul bukunya, ‘Semua akan NU pada waktunya’. Berkibarnya NU telah diprediksi dalam sebuah ramalan yang entah siapa yang pertama kali melontarkannya. Sebagaimana pernah diungkapkan Al-Maghfurlah KH. Achmad Siddiq ketika menguraikan arti Khittah NU, “NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana”. Jika dalam upaya mengalahkan Chiang Kai Sek, Mao Tse Tung menggunakan strategi dari desa mengepung kota, atau dalam istilah Jawa dikenal, njajah desa milang kori. Maka dalam konteks Gus Dur strategi itu telah bertransformasi menjadi, Njajah negara milang lintang, (mengelilingi negara menghitung bintang). Demikian.

Wallahu a’lamu bish as-shawab.

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.