Seba Baduy 2025: Langkah-Langkah yang Menegur Nurani

H. Wahyu Iryana – Ribuan langkah kaki menyusuri jalan dari Kampung Kanekes menuju pusat kota. Mereka tidak datang membawa tuntutan. Tidak ada spanduk. Tidak ada slogan. Tidak ada orasi. Yang ada hanyalah ketulusan dan kesunyian yang membawa pesan sangat keras: “Kami datang untuk mengingatkan.”
Seba Baduy bukan sekadar tradisi, tetapi pernyataan sikap. Warga Baduy datang dari kampung mereka di kaki Pegunungan Kendeng, membawa hasil bumi madu, gula aren, pisang, beras huma dan menyerahkannya kepada Gubernur dan Bupati sebagai bentuk penghormatan. Bukan tuntutan, bukan barter, melainkan ungkapan bakti kepada pemimpin negeri.
Tahun ini, jumlah peserta Seba mencapai 1.769 orang, terdiri dari warga Baduy Dalam dan Luar. Perjalanan panjang itu bukan untuk mencari sensasi. Ia adalah ekspresi politik kultural, yang semakin relevan di tengah gempuran pembangunan yang seringkali abai terhadap keberlanjutan.
Seba adalah cermin. Dan seperti semua cermin yang jujur, ia menunjukkan wajah kita yang sebenarnya.
Masyarakat Baduy tidak menolak kemajuan. Yang mereka tolak adalah pengabaian. Mereka hidup dari alam, menjaga hutan, melestarikan air dan tanah. Tapi justru alam yang mereka jaga itu terancam: pembangunan jalan tol yang mendekat ke hutan larangan, izin pariwisata yang tak terkendali, wisatawan yang datang bukan untuk belajar, tapi merusak.
Melalui Seba, warga Baduy menyampaikan keluhannya. Dalam sebuah rekaman pernyataan, seorang tokoh Baduy mengingatkan pemerintah agar tidak membuka jalan tol ke wilayah larangan dan mengatur dengan tegas wisatawan yang masuk ke kampung adat. Ini adalah permintaan sederhana, tapi bermakna besar: “Tolong jangan ganggu ketenangan hidup kami.”
Tradisi Seba sudah berlangsung jauh sebelum republik ini berdiri. Di masa kolonial, warga Baduy mendatangi Residen Banten dan Bupati Lebak. Sekarang, mereka bertemu Gubernur, Bupati, dan pejabat lainnya. Tapi semangatnya tetap: menjaga relasi antara masyarakat adat dan negara.
Di masa kini, ketika banyak warga hanya bisa menyampaikan pendapat melalui media sosial atau demonstrasi, warga Baduy justru mengingatkan kita pada cara yang lebih halus namun lebih menggetarkan: berjalan kaki, membawa hasil bumi, dan berbicara dengan tindakan.
Jika kita perhatikan, dalam setiap langkah warga Baduy tersimpan peringatan: “Kami bisa hidup tanpa negara, tapi apakah negara bisa hidup tanpa kami?”
Seba juga merupakan bentuk pendidikan politik yang sangat beradab. Dalam istilah mereka, “Bapak Gede” adalah lambang pemimpin. Maka datang kepada “Bapak Gede” membawa hasil bumi adalah bentuk pengabdian dan pengingat. Pemimpin sejati bukan hanya hadir di baliho, tetapi hadir menjaga hutan, sungai, dan tanah rakyatnya.
Seba menjadi kritik halus terhadap gaya hidup kita yang rakus. Warga Baduy hidup tanpa listrik, tanpa internet, tanpa sistem perbankan. Tapi mereka tidak pernah lapar. Mereka tidak perlu KUR, bantuan langsung tunai, atau subsidi BBM. Mereka hanya perlu tanah yang aman, air yang jernih, dan langit yang tidak diracuni.
Dan mereka memberikannya kepada kita: hutan yang masih lestari, sungai yang mengalir, dan kehidupan yang utuh. Pertanyaannya: apakah kita membalasnya dengan kebijakan yang adil?
Seba Baduy adalah pengingat bahwa Indonesia bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi dan target investasi. Indonesia adalah juga soal keberlanjutan hidup. Jika pembangunan hanya menghitung untung rugi material, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya, maka pembangunan itu kehilangan arah.
Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih dari sekadar hadir dalam acara seremoni Seba. Mereka harus hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak. Jangan biarkan pembangunan infrastruktur melukai hutan adat. Jangan biarkan wisata liar masuk tanpa regulasi. Jangan biarkan ketamakan menggerus warisan tak ternilai ini.
Menghargai Ruang Hidup Baduy
Warga Baduy tidak meminta banyak. Mereka tidak menuntut menjadi perhatian utama. Mereka hanya ingin ruang hidupnya dihargai. Mereka ingin anak cucu mereka tetap bisa hidup seperti sekarang: damai, bersahaja, dan cukup.
Jika kita benar-benar mendengarkan Seba, maka kita akan sadar bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan masyarakat adat adalah pembangunan yang timpang. Bahwa pemimpin yang tidak melindungi akar budaya rakyatnya adalah pemimpin yang kehilangan akarnya sendiri.
Langkah-langkah warga Baduy bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah ziarah ekologis dan moral bagi bangsa yang sedang tersesat arah.
Mari kita dengarkan sebelum semuanya terlambat.
————-
Tentang Penulis : H. Wahyu Iryana adalah pemerhati budaya dan lingkungan, serta penulis di beberapa media nasional. Ia aktif menulis isu-isu masyarakat adat, perubahan sosial, dan sejarah lokal di Indonesia.
————-
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.