Filsafat Pacul Sunan Kalijaga : Membentuk Tanah, Merawat Kehidupan (2 dari 2 tulisan)
Alfi Saifullah – Perjalanan mencangkul tidak terhenti pada mbedeng. Sunan Kalijaga meneruskan pelajarannya kepada Ki Ageng Selo untuk membentuk sebuah guludan. Sekilas guludan hanyalah tumpukan tanah yang dibentuk sedemikian rupa―menciptakan struktur tanah yang terbuka dan rentan, memungkinkan akar merambat lebih dalam dan kokoh, mengatur aliran agar tidak berlebihan,dan menyimpan unsur hara agar tidak terbuang sia-sia. Lebih dari itu, guludan merupakan refleksi. Setiap lipatan tanah yang diangkat, setiap barisan guludan yang dibentuk, adalah bagian panjang dari kisah manusia dalam menjalani kehidupan. Guludan dengan berbagai macamnya, berbicara tentang makna keseimbangan, tentang ketahanan, tentang bagaimana manusia harus mengelola kehidupan. Dalam tulisan ini, dibatasi dengan 3 bentuk guludan yang populer di masyarakat.
Batok Mengkurep : Tentang Kerendah hatian
Guludan Batok Mengkurep atau guludan baris tunggal (single row) berbentuk setengah lingkaran, terbentuk dari tanah yang di betuk dan ditinggikan sehingga menyerupai sebidang batok kelapa. Batok Mengkurep artinya Batok yang terlungkup. Ada pula yang menyebutnya dengan siwur mungkur (gayung yang terlungkup)―karena dahulu gayung lazimnya terbuat dari batok kelapa. Guludan dengan tipe ini cocok untuk jenis umbi-umbian seperti ubi jalar, kentang, lobak, dan gembili.
Bentuk guludan yang tidak terlalu tinggi, tidak mencolok, tak ubahnya batok kelapa yang terlungkup―didalamnya berisi sesuatu. Ini menyiratkan ketawadhu’an, sikap rendah hati, Ikhlas, dan gaya hidup low profile. Guludan ini seolah hendak mengatakan, bahwa sesuatu yang tersembunyi bukan berarti tidak sempurna. Tidak mesti yang hebat harus ditunjukkan. Tidak mesti sebuah keberhasilan harus dirayakan dengan hingar-bingar pesta. Sebab, ada hal-hal yang dibiarkan diam―tidak terlihat, justru memiliki makna yang lebih dalam. Seperti doa yang tersirat dalam hati, dzikir yang bergema secara sirr, atau cinta yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata―seperti kata Kahlil Gibran, kata-kata tak pernah mewakili cinta.
Leng Kodhok: Tentang Kesabaran
Guludan Leng Kodhok, atau guludan baris rangkap (double row) berbentuk persegi panjang. Panjang, lebar dan tingginya bervariasi, tergantung kebutuhan tanaman. Guludan dengan tipe ini acapkali digunakan untuk tanaman holtikultura semacam tomat, cabai, terong dan pepino. Leng Khodok secara literal artinya lerengnya katak. Dinamakan demikian karena bentuknya berupa gundukan tanah yang membentuk bidang datar diatasnya, tempat yang cukup leluasa bagi seekor katak untuk melompat kesana-kemari. Dipilih katak, bukan spesies lain, karena hewan inilah yang pernah bertemu dan berdialog dengan Sunan Kalijaga. Babad Tanah Jawi mencatat, ketika Kanjeng Sunan hendak mencari kayu di Alas Wanapringga untuk keperluan tiang Masjid Agung Demak―beliau secara tidak sengaja bertemu dengan katak yang hendak menjadi santapan seeokor ular. Alhasil, berkat pertolongan Kanjeng Sunan, katak tersebut selamat dari mangsa si ular (Suparman Alfakir, 2023).
Bentuk guludan Leng Kodhok yang datar, tenang dan kokoh, melambangkan kesabaran, keseimbangan, disiplin, dan keteraturan. Nama guludan mengingatkan kita kepada katak yang kerap menahan diri sebelum melompat. Tidak terburu-buru, mengamati―menimbang-nimbang kapan saat yang tepat untuk melangkah. Seperti katak yang perlu bersabar untuk melompat, pun manusia harus tahu kapan saat yang pas dalam bertindak. Karena keinginan untuk segera sukses dan viral, acapkali mendorong kita untuk bertindak gegabah dan terburu-buru. Pada gilirannya, guludan Leng Kodhok mengajarkan pola keteraturan, ada saatnya untuk diam, ada pula saatnya untuk bergerak secara efesien dan teratur.
Nyabuk Gunung :Sebuah kemampuan Adaptif
Guludan Nyabuk Gunung digunakan di tanah dengan konstruksi yang cenderung miring, biasanya di daerah perbukitan dan pegunungan. Dengan cara memotong lereng mengikuti garis kontur (contour cropping) searah dengan kontur atau garis ketinggian yang melingkari gunung sehingga jauh terlihat seperti sabuk (Sumintarsih, 1994). Nyabuk gunung secara literal artinya memberi ikat pinggang terhadap gunung, ada juga yang menamainya panggungan, karena bentuknya yang menyerupai panggung bertingkat. Penamaan Nyabuk Gunung kini lebih populer dengan istilah terasering, sengkedan, atau guludan bertingkat. Selain berfungsi mencegah kelongsoran tanah di area pegunungan, guludan dengan bentuk ini bermanfaat untuk mencegah erosi dan pengikisan tanah, lebih dari itu meningkatkan daya resap tanah terhadap air. Penamaan Nyabuk Gunung menggambarkan kontur tanah pegunungan yang kokoh, menjulang keatas berikut sudut kemiringannya―bisa dibentuk, diolah sedemikian rupa menyerupai seutas sabuk yang melilitnya dengan kuat.
Bentuk guludan jenis ini merupakan simbol sikap adaptasi dan survive dalam setiap keadaan. Seperti konstruksi tanah pegunungan yang pelan-pelan bisa dibentuk, diarahkan, diikat dengan sabuk―istilah Nyabuk Gunung menggambarkan bagaimana seseorang dapat menghadapi berbagai fase kehidupan, bahkan yang berat sekalipun. Ada hal besar yang menuntut untuk dikelola, ada tantangan yang harus disikapi dengan bijak. Jenis guludan ini mengajarkan, tidak ada gunung yang tidak bisa didaki, bahwa setiap tantangan bisa dihadapi sedikit demi sedikit dengan keuletan dan kesabaran.
Refleksi
Alhasil, tidak ada tanah yang keras jika dicangkul dengan keuletan. Tidak ada ladang yang benar-benar mati jika diberi perhatian. Setiap tanah memerlukan tata kelola yang baik. Pun tanah bukanlah sekadar entitas tempat kita berpijak, ia adalah saksi peradaban―tempat sejarah manusia tertulis dalam kerja keras dan pengorbanan. Karena tanah tidak pernah berbohong, ia telah mencatat semua―pergerakan makhluk melata diatasnya.
Guludan mengajarkan perjuangan bertahan. Tentang cara manusia menata masa depan dengan kearifan dan kesabaran. Bagaimana hidup yang harmoni dengan sesama, alam dan kesemestaan yang tak terhingga. Seperti guludan yang dirancang sedemikian rupa agar benih tumbuh secara optimal, pun manusia harus menata dirinya agar menjadi wadah bagi kebaikan, ilmu dan cinta kasih.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, filosofi guludan sangat relevan sebagai rule model ekologis dan sosial, terutama dalam perencanaan kebijakan. Dengan mengintegerasikan kearifan lokal dalam praktik pertanian modern, selain bentuk pelestarian lingkungan, juga upaya membangun peradaban yang lebih baik―Nagari kang gemah ripah loh jinawi. Toto tentrem kertaraharja. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan:
Al-Faqir, Suparman (2023), Babad Glagahwangi, Ponorogo: Penerbit Uwais.
Naqiya Nada, Hana (2023), Kearifan Lokal Nyabuk Gunung sebagai bentuk konservasi tanah guna meminimalisir longsor di area perbukitan Masyarakat Jawa, Dalam jurnal MIPA dan Pembelajarannya,3(10), 2023.
Priyo Prabowo, Dhanu (2019), Kebudayaan Tani Jawa sebagai sumber nilai ekologi, Dalam jurnal Jantra Vol 14.No.1 Juni 2019.
Subroto, Ph, (1985), Sistem Pertanian Tradisional pada Masyarakat Jawa tinjauan secara arkeologis dan etnografis, Yogyakarta: Depdikbud.
Sudaryanto, YP, (2020), Filosofi Organis, dalam Majalah Organis edisi 54.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.