Indonesia, antara Islam dan Barat
Oleh: Toufik Imtikhani, SIP.
Para pendiri negara kita ( the founding fathers ), telah sepakat bahwa negara kita bukan negara agama ( baca=islam ), tetapi juga bukan negara sekuler. Dan pendirian itu masih kita pelihara sebagai konsensus nasional, terlepas dari adanya upaya mencoba menggeser paradigma itu kepada pemikiran lain pada lebih dari satu dasawarsa terakhir ini. Preferensi ini bukannya tanpa alasan, mengingat bahwa bangsa Indonesia secara faktual adalah bangsa yang multi-kultur dan multi-agama. Keragaman ini memaksa para founding fathers mencari formula yang tepat dalam merumuskan paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara agar perbedaan-perbedaan yang ada dapat berfungsi secara sinergis dan konstruktif, bukan sebaliknya, menimbulkan perpecahan yang dapat mengancam eksistensi bangsa. Jadi, formula yang dicari adalah bagaimna konsep itu dapat meminimalisisr konflik perbedaan di satu sisi, dan memaksimalkan kerjasama di sisi yang lain. Apalagi pada saat perumusan itu, bangsa kita sedang menghadapi perjuangan melawan penjajah. Ini tentu pekerjaan sulit waktu itu, dan juga untuk masa-masa yang akan datang. Tetapi apa bentuk formula itu, negara agama bukan, sekuler juga bukan. Tidak ada yang dapat merumuskan secara tepat, benar, dan memuaskan semua pihak, baik secara akademis dan lainnya. Namun yang kita kenal, negara kita adalah negara Pancasila.
Pilihan itu mengandung konsekuensi, bahwa ada pengaruh dan warna dari kedua sisi ekstrem itu, yaitu agama (baca=Islam ) dan sekuler. Apabila kedua sisi ekstrem itu digambarkan sebagai sebuah pendulum, maka formula yang kita pakai, berada di tengah, di antara Islam dan sekularisme. Sebagai sebuah bangsa dan masyarakat nilai-nilai itu dapat berlaku umum, dan tidak ada masalah. Tetapi bagi individu atau kelompok tertentu, dapat menimbulkan masalah.
Buku lain :