KEMERDEKAAN INDONESIA, KEMERDEKAAN BERBANGSA DAN BERAGAMA
Zahro Diniyah – Indonesia ialah negara besar yg terbentuk tidak hanya dalam kurun satu atau dua windu saja, melainkan lahir dari cita cita seluruh element anak bangsa lewat perjuangan yg memakan waktu ratusan tahun lamanya.
Jika ingin membahas sejarah keIndonesiaan, bersiaplah menyimak kisah yg tiada habis nya. Bayangkan, sebelum Indonesia menjadi Negara Kesatuan pasca Sumpah Palapa nya patih Gajah Mada, ratusan kerajaan yg berdiri di dalamnya telah mencetak sirrah berkepanjangan dalam kenangan.
Tidak hanya Majapahit ,kerajaan yang pernah pesat di kabupaten Tuban, yang sukses mencetak para tokoh terkemuka semisal Adipati Arya Damar dan Ronggolawe, Pra Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memiliki rumpun kerajaan-kerajaan besar lainnya, semisal kerajaan Malaka milik Raja Prameswara, kerajaan Perlak nya Sultan Alauddin, kerajaan Pasai nya Malik As Saleh , kerajaan Buton milik raja Halu Oleo, dan masih banyak lagi.
Sebagai Negara berkembang yang memiliki kemajemukan nan kharismatis, sebab mampu merajut tali asih dari berbagai macam suku, adat istiadat, budaya, bahasa daerah serta agama, sudah seyogyanya kemerdekaan Indonesia diisi dengan bersama-sama membangun konsep kebangsaan yang bersifat fundamental bagi keutuhan , kerukunan, dan keberlangsungan bangsa yang sarat akan karakter gemah ripah loh jinawi nya. Keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa yang harus diakui , diterima, dihormati, kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Disadari atau tidak, sebagai Negeri yang memiliki heterogenitas demikian kompleks, Indonesia sudah mempersembahkan berlipat-lipat kebebasan bagi bangsanya. Yang hendak mengumandangkan adzan, mendirikan sholat dan mengaji, bebas mengekspresikan kereligian nya tanpa gangguan dari manapun jua. Antara wanita yang memilih tertutup dengan wanita yang memilih agak terbuka, diberikan kebebasan yang sama tanpa saling merasa paling sempurna.
Lantas bagaimana bisa hingga kini masih tersisa oknum-oknum bangsa yang sampai hati merundung negeri tercinta dengan tuduhan “Negeri yang penuh intimidasi terhadap kebebasan beribadah?” Bahkan tanpa ragu membandingkannya dengan kelebihan-kelebihan bangsa lain yang katanya lebih istimewa.
Mengambil contoh memang perlu demi kemajuan bersama, namun tidak perlu terlalu naif membanding-bandingkan negeri tercinta kita dengan negeri-negeri jiran manapun jua. Apalagi sampai hati menumpangkan bendera bangsa lian diatas bendera kesatuan merah putih. Sesekali resapi satu ulas paragraf yang muncul dari lisan bijak pemimpin pertama kita, Ir.Soekarno dimana beliau berpesan bahwa ,”Tidak ada dua bangsa pun yang sama dalam perjuangannya, tiap-tiap bangsa memiliki latar belakang, cara berjuang, dan karasteristik sendiri”.
Jika masih ada diantara kita yang mengaku paling agamis dan nasionalis namun hendak meluluhlantahkan kesatuan yang sudah susah payah ditata sedemikian lamanya oleh milyaran korban nyawa, alangkah lebih baik kembali lah bercermin dengan sebening-beningnya cermin agar kelak menyadari bahwa prilaku tersebut datang dari para bandit masyarakat yang berlindung di bawah atap konstitusi dan bahkan agama. Yang tidak pernah menghaturkan apapun kepada negara selain sugih kritik faqir solusi.
Dahulu, Ir.Soekarno bersama kelima rekan nya yang diantaranya tiada lain ialah KH.Wahid Hasyim, merumus Piagam Jakarta bukan lewat tumpang paha apalagi sekadar busung dada. Mereka gigih mengorbankan tenaga, waktu, kesehatan dan kepentingan keluarga demi terangkumnya ideologi bangsa yang final dengan bentuk Pancasila.
Dahulu, Ir.Soekarno, ki Hajar Dewantara beserta 25 tokoh lainnya berjuang keras nian berdarah darah demi mendapat izin dari seorang Marsekal Jepang bernama Hisaichi Terauchi untuk mewacanakan kemerdekaan Indonesia.
Maka, bagaimana bisa sebagian dari kita pun berdarah darah mencari cari alasan untuk sekadar tidak sudi mengakui keabsahan proklamasi dan kelegalan NKRI dengan beragam upaya yang menjurus kepada perpecahan bangsa dan pembunuhan falsafah negara, Pancasila ?.
Cianjur, Agustus 2023
Penulis: Zahro Diniyah