The news is by your side.

Masa Lalu dalam Cermin Retak: Ketika Sejarah Jadi Alat Kekuasaan Pejabat

H.Wahyu Iryana – Tiap kali kalender politik memanas, para pejabat Indonesia kerap berubah menjadi sejarawan dadakan. Sejarah, yang seharusnya menjadi ruang belajar, kini menjelma panggung propaganda. Potongan-potongan masa lalu dijahit seenaknya, tak jarang dilebih-lebihkan, lalu dipajang sebagai logika pembenaran atas ambisi kekuasaan hari ini. Mereka mengutip Bung Karno, mencatut Tan Malaka, bahkan sesekali menyelipkan nama Syekh Nawawi, Bagus Rangin atau Pangeran Diponegoro padahal semangat mereka bertolak belakang. Sejarah bukan lagi cermin untuk bercermin, melainkan topeng untuk menyembunyikan wajah kekuasaan yang mulai pongah.

Fenomena ini bukan baru. Sejak reformasi bergulir, penggunaan sejarah secara manipulatif telah jadi alat meredam kritik dan membungkus retorika populis. Reformasi 1998, misalnya, kini lebih sering dijadikan slogan ketimbang komitmen. Sebagian pejabat yang dulunya bagian dari sistem represif justru tampil sebagai pahlawan transisi. Sementara generasi muda dicekoki narasi searah: bahwa demokrasi hari ini adalah hasil perjuangan elite, bukan kerja kolektif rakyat yang berdarah-darah di jalanan.

Lebih jauh lagi, penguasa masa kini gemar mencomot simbol-simbol sejarah tanpa konteks. Pidato resmi penuh dengan nama besar seperti Soekarno, Hatta, dan Sudirman, namun semangat kesederhanaan dan pengabdian mereka justru dikubur di balik anggaran jumbo, proyek mercusuar, dan gaya hidup hedonistik. Mereka bicara tentang kedaulatan ekonomi, tapi memberi karpet merah pada oligarki. Mereka menyinggung revolusi mental, tapi menoleransi mentalitas korupsi dan nepotisme dalam birokrasi.

Sejarah Sebagai Komoditas Politik

Dalam pidato dan baliho kampanye, para politisi menghidupkan kembali romantisme masa lalu: “kita adalah bangsa besar yang pernah jaya”, “kita mewarisi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya”. Tapi kejayaan itu hanya jadi alat kosmetik. Tak ada upaya serius membaca sejarah secara kritis. Tak ada refleksi tentang bagaimana kerajaan-kerajaan itu runtuh oleh keserakahan elite dan kelalaian moral para penguasa. Yang tersisa hanya ingatan simbolik yang dipelintir: candi-candi dijadikan latar belakang swafoto pejabat, bukan sebagai pelajaran tentang keruntuhan.

Ini mirip dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam klasik. Setelah tiga kekhalifahan besar (Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah) mulai melemah, dunia Islam memasuki fase yang dikenal sebagai Mulk al-Tawā’if zaman “raja-raja kecil” yang saling berebut wilayah, kekuasaan, dan pengaruh. Para penguasa lokal memakai simbol keagungan dinasti besar sebelumnya untuk melegitimasi diri mereka. Mereka membangun istana megah, menulis syair tentang kejayaan, tapi mengabaikan krisis sosial yang melanda rakyatnya. Sejarah dijadikan ornamen, bukan peringatan. Logika itu kini terasa dekat: pejabat di Indonesia pun gemar membungkus diri dengan narasi historis dan agama, padahal substansi kepemimpinannya rapuh dan lebih sering memikirkan elektabilitas ketimbang etika.

Lihatlah bagaimana belakangan ini sebagian kepala daerah bahkan disebut “raja kecil”. Ada yang disambut bak sultan dengan iring-iringan adat. Ada yang wajahnya menempel di setiap spanduk, mobil dinas, hingga tempat sampah. Gelar-gelar kehormatan ditumpuk di depan nama mereka, seolah-olah jabatan publik adalah mahkota warisan. Padahal dalam demokrasi, jabatan adalah amanah rakyat—bukan gelar sakral. Tapi dalam praktiknya, banyak pejabat yang haus penghormatan, mudah tersinggung saat dikritik, dan menganggap oposisi sebagai musuh pribadi. Ini bukan semangat republik, tapi semangat feodal.

Fakta Kekinian: Dari Panggung Politik ke Drama Feodalisme Baru

Fenomena pengkultusan pejabat ini bukan asumsi, tapi nyata. Beberapa pejabat di daerah kini membangun dinasti politik dengan mengorbitkan anak, menantu, dan kerabat ke kursi kekuasaan. Ada pula yang mengontrol birokrasi hingga ke level RT, memaksa ASN bersikap loyal kepada individu, bukan sistem. Belum lagi anggaran daerah yang sebagian habis untuk belanja seremonial dan pencitraan. Ini semua bukan kebetulan, melainkan gejala dari logika kekuasaan yang melihat jabatan sebagai warisan, bukan tanggung jawab.

Lalu, sejarah diseret masuk untuk membenarkan semua ini. Ada yang berkata, “Dulu raja pun diturunkan ke anaknya. Ini budaya kita.” Atau, “Kita butuh pemimpin kuat seperti zaman dahulu.” Tapi mereka lupa, bahwa sejarah raja-raja besar juga diwarnai oleh kejatuhan akibat kerakusan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Menggunakan sejarah untuk mengulang kesalahan yang sama adalah ironi yang menyakitkan.

Jika dibiarkan, kita akan menyaksikan lahirnya struktur kekuasaan yang kian jauh dari nilai-nilai demokrasi. Negara yang seharusnya dibangun di atas hukum dan akuntabilitas, justru menjelma seperti panggung pewayangan, di mana penguasa adalah dalang tunggal dan rakyat sekadar penonton setia. Kritik dianggap makar. Protes dianggap gangguan. Dan sejarah dijadikan dalil pembungkam.

Mengembalikan Fungsi Sejarah

Sudah waktunya kita merebut kembali sejarah dari tangan para elite yang menyulapnya menjadi alat propaganda. Sejarah harus kembali menjadi tempat bertanya, bukan tempat bersembunyi. Ia harus menjadi ruang untuk mempertanyakan kekuasaan, bukan melegitimasinya. Media, kampus, dan masyarakat sipil harus mengambil peran untuk membuka percakapan yang jujur tentang masa lalu bukan sekadar mengulang slogan yang sama setiap tahun.

Sejarah kita penuh luka, tapi juga penuh harapan. Kita tak harus malu melihat borok masa lalu, asal kita punya nyali untuk belajar darinya. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang terus-menerus membanggakan kejayaan masa silam, tapi yang mampu mengakui kegagalannya dan bertumbuh darinya.

Jangan biarkan sejarah menjadi alat untuk menipu. Karena ketika sejarah dimanipulasi, masa depan pun ikut tergadaikan.

H.Wahyu Iryana Merupakan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung.

Baca juga resensi buku lainnya :

  • Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
  • Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
  • Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.