Membaca Ibnu Katsir di Tengah Kekacauan Zaman
H. Wahyu Iryana – Di dunia yang gaduh ini, di mana batas antara fakta dan fiksi sering kabur, pelajaran dari seorang ulama abad ke-8 Hijriah terasa begitu relevan. Namanya Ibnu Katsir seorang sejarawan, mufassir, dan cendekiawan yang menawarkan satu prinsip yang hari ini terasa hampir asing: kebenaran itu harus diraih dengan ketelitian dan kejujuran.
Ibnu Katsir lahir pada 701 H (1300 M) di Busra, Suriah. Ia hidup di masa peralihan, saat dunia Islam menghadapi gelombang politik, keruntuhan, dan kebangkitan baru. Di bawah didikan ulama besar seperti Ibnu Taimiyah dan al-Mizzi, ia membentuk watak ilmiahnya: hati-hati, teliti, dan bertanggung jawab terhadap sumber.
Bagi Ibnu Katsir, menulis sejarah bukan sekadar merekam cerita. Itu adalah tugas moral. Ia tahu, cerita yang salah bisa membentuk generasi yang sesat arah. Karena itulah, dalam karya besarnya Al-Bidayah wa an-Nihayah, ia menulis bukan untuk meninabobokan pembaca dengan kisah-kisah heroik, melainkan untuk mendidik mereka dengan realitas, seberat apa pun itu.
Ketelitian Sebagai Prinsip
Ibnu Katsir menetapkan standar ketat dalam menerima riwayat sejarah. Ia memeriksa sanad (rantai perawi), mengkritik isi riwayat, dan berani menandai cerita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam mukadimah Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ia menjelaskan prinsip utamanya:
“Apabila engkau menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, maka itu sebaik-baik tafsir. Jika tidak, maka dengan Sunnah Rasulullah SAW, karena ia adalah penjelas Al-Qur’an.”
Prinsip ini kemudian diterapkannya dalam semua karya, termasuk historiografi. Ia tidak mau sekadar menjadi pencerita. Ia ingin menjadi penjaga kebenaran.
Dalam menulis kisah-kisah Nabi, Raja, atau peristiwa-peristiwa besar, Ibnu Katsir kerap menambahkan catatan: mana yang kuat sanadnya, mana yang lemah, dan mana yang perlu disikapi dengan skeptis. Sikap ini membuat karyanya, meski kaya dengan riwayat, tetap dibingkai dalam semangat ilmiah.
Antara Israiliyat dan Imajinasi
Ibnu Katsir hidup di masa ketika kisah-kisah Israiliyat cerita-cerita dari tradisi Yahudi-Kristen beredar luas di dunia Islam. Banyak penulis sejarah kala itu mengadopsi Israiliyat tanpa kritik. Tetapi Ibnu Katsir mengambil jalan tengah: ia menyebutkan kisah-kisah itu, namun dengan sikap kritis.
Ia menulis, jika riwayat itu sesuai dengan prinsip Islam, boleh diterima. Jika bertentangan, harus ditolak. Dan jika netral, boleh diceritakan sambil mengingatkan pembaca bahwa itu bukan kebenaran mutlak.
Sikap ini menunjukkan kematangan intelektualnya. Ia tahu, sejarah bukan dongeng. Sejarah harus menjadi cermin jernih, bukan kaca buram.
Membaca Ibnu Katsir Hari Ini
Pertanyaannya: apa relevansi Ibnu Katsir bagi dunia kita sekarang?
Jawabannya sederhana: kita hidup di dunia yang kehilangan ketelitian.
Hari ini, berita palsu menyebar dalam hitungan detik. Narasi-narasi palsu diproduksi massal untuk mengendalikan opini publik. Di tengah kekacauan ini, prinsip Ibnu Katsir tentang verifikasi, kejujuran ilmiah, dan kehati-hatian dalam menerima informasi terasa seperti oasis di padang pasir.
Ibnu Katsir mengajarkan bahwa tidak semua yang terdengar indah itu benar. Tidak semua yang viral itu valid. Ada standar yang harus ditegakkan, betapa pun sulitnya.
Kita butuh membaca Ibnu Katsir bukan untuk nostalgia, tapi untuk membangun ulang etos intelektual: cek sumber, verifikasi fakta, dan berani berkata “saya tidak tahu” saat memang tidak tahu.
Menjadi “Ibnu Katsir” di Era Digital
Jika Ibnu Katsir hidup hari ini, mungkin ia akan menjadi orang pertama yang menyerukan verifikasi berita sebelum membagikannya. Ia akan menulis thread panjang tentang pentingnya cross-check. Ia akan mengkritik budaya copy-paste tanpa sumber yang valid.
Menjadi “Ibnu Katsir” hari ini berarti berani menolak ikut-ikutan menyebar hoaks. Berani meluangkan waktu untuk menelusuri kebenaran. Berani berbeda arus demi menjaga akal sehat masyarakat.
Karena seperti yang ditulisnya dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah:
“Allah menciptakan air sebelum segala sesuatu, dan dari air itu tumbuhlah kehidupan. Begitu juga ilmu, adalah asal kehidupan hati dan pikiran.”
Tanpa ketelitian, hati kita mati. Pikiran kita kering.
Belajar dari Warisan Ketelatenan
Ibnu Katsir wafat pada tahun 774 H (1373 M), meninggalkan warisan karya yang terus hidup hingga kini. Tafsir dan sejarahnya tetap jadi rujukan, karena ia menulis dengan integritas, bukan dengan ambisi.
Ketika dunia saat ini berlari terlalu cepat, melupakan verifikasi, mungkin sudah saatnya kita belajar berjalan pelan-pelan seperti Ibnu Katsir: satu riwayat diverifikasi, satu data dicek ulang, satu fakta diukur ulang sebelum dipublikasikan.
Sejarah, kata Ibnu Katsir, bukan sekadar kisah masa lalu.
Sejarah adalah jalan menuju masa depan.
Dan masa depan, seperti yang ia tunjukkan, hanya bisa dibangun di atas fondasi kebenaran.
Penulis merupakan Sejarawan sekaligus Penyair UIN Raden Intan Lampung.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.