Menakar Respon Instan Atas Trailer Film The Santri

Oleh K.H. Imam Jazuli. Lc. MA.*
Paham radikalisme tidak pernah surut. Ideologi Islam radikal; takfiri, tadhlili, terus berganti wajah. Terus diteriakkan, sekali pun sudah di luar nalar kewajaran. Termasuk dengan melontarkan tuduhan adanya pemurtadan melalui film The Santri, besutan sutradara Livi Zheng yang didukung NU Chanel. Hanya karena perbedaan pendapat seputar hukum ikhtilat, santri masuk gereja dan “percintaan” dunia remaja?
Ustad Maheer Atthuwailibi Jakarta, ustad Yahya al-Bahjah Cirebon, dan ustad Luthfi Bashori Malang, adalah contoh kecil orang-orang yang menuduh ada pemurtadan dalam film The Santri. Dalam kasus Film The Santri, tiba-tiba saja mereka menjadi ahli dan kritikus film. Cukup bermodal bahan trailler dan setumpuk kebencian dalam dada, jadilah mereka kritikus yang lantang. Bahkan, mereka sepakat memboikot penayangan film ini.
Bukti yang banyak mereka soroti adalah cuplikan adegan santriwati menyerahkan nasi tumpeng kepada orang di gereja. Dengan argumen sekenanya, mereka menuduh itulah sarana pemurtadan film The Santri. Tuduhan tidak saja ‘ghuluw’ atau berlebihan melainkan melampaui keputusan para ulama dari berbagai mazhab. Padahal, empat mazhab sepakat bahwa muslim masuk gereja tidak murtad.
Memang benar sebagian ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah mengharamkan muslim masuk gereja. Pendapat tersebut dikeluarkan oleh, di antaranya, Ibnu Hajar al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj, 2/424), Syihabuddin ar-Ramli (Nihayatul Muhtaj, 2/63), Qalyubi dan Umairah (Hasyiatu Qalyubi wa Umairah ala Syarhi al-Mahalli ala Minhajit Thalibin, 4/236).
Alasan ulama mengharamkan muslim masuk gereja adalah karena di dalam gereja terdapat setan (Ibnu Najim, Bahrur Raiq, 7/364). Namun, hukum haram tidak lantas membuat pelakunya menjadi murtad. Misal, daging babi haram. Tapi, muslim memakan daging babi tidak menjadi murtad.
Karena hukum haram memiliki ‘illat, maka ulama lain mencoba memberikan batasan, yakni hanya jika di dalam gereja terdapat gambar dan patung Yesus, bunda Maria, dan lainnya. Jika illat hukum ini tidak ada maka boleh muslim masuk gereja (Abdus Salam bin Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, 5/327).
Illat hukum ini berlaku tidak saja di dalam gereja. Tapi berlaku secara umum, termasuk di dalam rumah orang muslim sendiri. Hadits riwayat Ibnu Abbas mengatakan, “jika Nabi saw. melihat ada gambar di dalam rumah maka beliau tidak masuk hingga gambar itu dihapus/diturunkan,” (HR. Bukhari).
Illat inilah yang menjadi pedoman bagi mazhab Hanbali, dengan mengatakan bahwa muslim masuk gereja itu makruh dan bukan haram. Apalagi berlebihan dituduh murtad. Bahkan, apabila orang-orang muslim merasa tidak terganggu oleh adanya gambar dan patung dalam gereja, seperti tidak terpengaruh oleh lukisan penghias dinding di rumah, maka hal itu boleh. Jika masuknya karena keperluan penting, seperti musyawarah untuk mufakat, atau kunjungan yang memang diperlukan dalam rangka mempererat persaudaraan dan toleransi, maka hukumnya biasa saja menjadi baik.
Ulama Hanbali melihat celah nalar tersebut. Sehingga, mereka memberi hukum yang lebih ringan dibanding hukum makruh, yakni hukum mubah atau jaiz. Artinya, muslim boleh masuk gereja sekali pun ada gambar dan patung di dalamnya. Hukum jaiz tersebut dapat dilihat dalam pendapatnya Ibnu Qudamah (al-Mughni, 8/113), Sulaiman al-Marsawi (al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, 1/496), dan Ibnu Hazm ad-Dhahiri (al-Mahalli, 1/400).
Buku lain :