Mengembalikan Kesucian Masjid
Oleh Ayik Heriansyah
Kehilangan sandal, sepatu, tas dan kotak amal di masjid sudah dianggap biasa saking seringnya hal itu terjadi. Sesekali kasus kehilangan sepeda motor muncul. Yang lebih miris, beberapa waktu yang lalu tersiar berita tentang perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh sepasang remaja di toilet masjid. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kita telah hilang rasa hormatnya kepada masjid. Masjid sejatinya adalah tempat yang suci dan agung, semakin pudar kewibawaannya.
Fungsi utama masjid sebagai tempat yang khusus untuk shalat berjama’ah, berdzikir, berdo’a, bershalawat dan ibadah mahdlah (ritual) lainnya. Di masjid seseorang dikondisikan secara lahiriyah dan batiniah agar bisa menautkan jiwa, hati dan ruhani kepada Allah Swt. Di masjid segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyuan ibadah, disingkirkan. Karena jika tidak masjid, dimana lagi seorang muslim mencari tempat yang suci ketika berhubungan dengan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhya masjid-masjid ini tidak pantas digunakan untuk tempat kencing dan berak, tetapi hanyasanya ia (dibangun) untuk dzikrullah, shalat dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim).
Inti dari semua ibadah adalah aktivitas menstimulasi kesadaran dan keterhubungan hati seseorang dengan Allah Swt sebagai Khaliq. Keterhubungan spiritual (ruhaniyah) ini bersentuhan dengan aspek batin manusia. Sebenarnya manusia hidup bahagia dengan kesadaran spiritualnya tidak terkait ruang dan waktu. Ruang dan waktu media kehidupan tidak menentukan kebahagiaan seorang. Artinya kapan dan dimanapun, kebahagiaan bisa diraih jika terjadi hubungan sadar dengan Allah Swt.
Sebab itu setiap ibadah bernilai sakral, seharusnya suci (steril) dari segala sesuatu yang mengganggu kesadaran dan keterhubungan langsung manusia dengan Sang Khaliq. Pada ibadah shalat keadaan ini disebut khusyu dan thuma’ninah. Seolah-olah orang yang sedang shalat face to face dengan Allah swt tanpa ada tabir penghalang sehingga limpahan cahaya-Nya bisa diserap secara maksimal, mencerahkan ruhaninya dan menciptakan sensasi kebahagiaan dalam dirinya.
Hal-hal yang berpotensi menjadi gangguan diminimalisir sedemikian rupa sehingga tidak ada penghalang yang membuat jarak batin antara manusia dengan Allah Swt ketika shalat. Namun hawa nafsu yang built in pada diri seseorang menjadi pengganggu laten dan permanen, wajar jika seseorang susah mencapai khusyu’ dan thuma’ninah 100%. Paling tidak sepanjang shalat ada seberkas cahaya-Nya yang bisa diserap, jangan sampai shalat hanya seukur menggugurkan kewajiban tanpa mendapat pencerahan ruhani setelahnya.
Akhir-akhir ini perjuangan agar bisa khusyu’ ibadah di masjid terasa lebih berat karena masjid “markas” kelompok politik tertentu. Masjid menjadi partisan mengikuti aspirasi politik pengurus masjid. Pengajian dan mimbar jum’at dijadikan podium politik. Seruan taqwa sekedar formalitas untuk memenuhi rukun khutbah. Nasihat-nasihat yang bisa membangkitkan kecintaan dan kerinduan kepada Allah Swt semakin langka. Para penceramah dan khatib sudah tidak sungkan-sungkan berorasi layaknya orator di depan massa demontrasi. Karena bersifat satu arah dan khidmat, khatib menganggap khuthbah jum’at forum yang efektif untuk membentuk opini politik kepada jama’ah.
Khatib berapi-api di atas mimbar. Mengeluarkan segala isi hati dan kemarahannya. Memprovokasi dan mengagitasi jama’ah. Parahnya, khutbah jum’at lebih lama daripada shalat jum’at yang dua rakaat. Terkesan khutbah lebih penting daripada shalat. Shalat jum’at dilakukan seadanya, sekedar memenuhi syarat dan rukun shalat. Padahal Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah merupakan ciri dari kefaqihan seseorang. “Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah, sesungguhnya di antara untaian kata yang indah itu ada daya penarik (bagaikan sihir). (HR. Muslim).
Dari masjid, jamaah seakan tidak mendapatkan sesuatu yang baru yang mencerahkan batin mereka. Masjid menjadi tempat shalat berhawa panas. Pengajian dan khutbah jum’at tidak menyentuh ruhani mereka. Sebab itu tidak heran sepanjang ceramah dan khutbah sebagian jamaah tidur, melamun, baca buletin, main hp bahkan asyik ngobrol sampai khutbah berakhir. masjid dan semua aktivitas di dalamnya kehilangan sakralitas. Kesucian masjid berawal dari pendiriannya. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya: “Maka, apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahanam? Dan, Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS At Taubah: 109).
Sebaliknya masjid yang kehilangan kewibawaannya karena didirikan untuk maksud-maksud selain taqwa. Seperti disinyalir firman Allah Swt: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[at-Taubah/9:107].
Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishâq rahimahullah yang berkata, “Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah – berkata, “Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirâr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan shalat di masjid tersebut.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut (dan larangan shalat di dalamnya) dengan menurunkan ayat ini. (Aisarut-Tafâsir, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah Ulum Walhikam, Madinah. Cetakan kelima th.1424 H/2003M).
Rasulullah Saw awalnya tidak tahu kalau masjid itu masjid Dhirar. Ia Saw husnudzan. Berdasarkan fakta yang diketahuinya tidak ada masalah dengan masjid tersebut. Ia Saw menerima undangan untuk shalat di masjid tersebut. Insya Allah setelah pulang dari perang Tabuk. Allah Swt mengetahui motif sebenarnya dari pendirian masjid Dhirar yang tidak diketahui oleh Nabi Saw. Allah Swt yang menetapkan dan menghukumi masjid itu, masjid Dhirar dan memerintahkan Nabi Saw membatalkan janjinya untuk shalat di situ. Motivasi pendirian masjid Dhirar, untuk menimbulkan kerusakan, untuk kekafiran dan untuk memecah belah kaum mukmin.
Masjid tempat yang mulia. Rasulullah Saw bersabda: Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya, dan bagian negeri yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim). Orang-orang yang memakmurkan masjid akan mendapat petunjuk dari Allah Swt. Allah berfirman, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah:18).
Meski masjid bukan satu-satunya ibadah yang bisa meningkatkan spiritualitas seseorang, namun desakralisasi masjid berkontribusi terhadap krisis spiritual masyarakat. Penyakit masyarakat seperti kriminalitas, lunturnya sopan santun, ditinggalkannya adab dan martabat mulia sebagai seorang muslim akibat masyarakat kehilangan kesejahteraan material dan kebahagiaan batiniah. Ibadah di masjid yang bersifat seremonial, gersang dan kering gagal menyentuh sisi paling substansial suatu masyarakat. Masjid yang demikian boleh dikatakan gagal mencapai maqashid sosialnya.
Mari kita bersama-sama mengembalikan kesucian, keagungan dan kewibawaan masjid dengan cara menjadikan masjid sebagai tempat untuk taqarrub ilallah. Jangan sampai masjid tidak ada bedanya dengan tempat-tempat yang lain. Memakmurkan masjid dengan kegiatan-kegiatan sosial pendidikan. “Barangsiapa datang ke masjidku ini, tidak lain kecuali untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka dia bagaikan mujahid di jalan Allah, sedangkan yang datang untuk selain itu maka bagaikan orang yang cuma melihat-lihat harta orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Bersihkan masjid dari kegiatan politik praktis karena politik praktis berpotensi memecah belah jama’ah. Masing-masing aspirasi politik jama’ah bisa jadi berbeda. Grup-grup media sosial pengurus masjid dan jama’ah alangkah baiknya diisi dengan konten-konten yang menyejukkan, berisi ilmu dan hikmah. Hindari menyebarkan berita hoaks dan ujaran kebencian. Harapan kita semua agar masjid menjadi tempat yang suci lahir dan batin, agung serta berwibawa sehingga masjid memberi pengaruh kepada kehidupan jama’ah dan warga sekitar terutama aspek moral dan spiritual. Janganlah masjid kita menjadi seperti masjid Dhirar. Na’udzubillahi min dzalik.
Dimuat buletin Risalah NU 1 Agustus 2019