Mengenang Maestro Kaligrafi dari Salawu Tasikmalaya (2)
“Kita yang kaligrafer, membongkar Al-Quran dari tulisannya, lewat kaligrafi. Itulah keistimewaan Al-Quran. Dikepung dari berbagai disiplin keilmuan dan yang muncul hanya satu: keagungan Allah Swt.” Saifullah Maskub Aziz (1997).
Bagi keluarga besar Kementrian Agama Jawa Barat, karya Saifullah Maskub Aziz, sudah tidak asing. Sebelum tahun 2000, dalam kalender Depag pasti dibuka dengan lukisan kaligrafi yang indah. Ayat-ayat yang ditulis mengiringi pergantian bulan juga enak dilihat. Memang, tidak ada nama lengkap penulisnya di sana, hanya sebuah inisial “Saif” dalam huruf Arab. Itulah trademark Saifullah, legenda kaligarfi asal Salawu Tasikmalaya yang telah wafat delapan tahun lalu.
Jasa terbesar Saifu, begitu almarhum biasa disapa, ialah keberhasilannya mempopulerkan kaligrafi Arab. Ia telah mengangkat derajat kaligrafi yang tadinya berada di pinggiran, menjadi lebih dihargai dan diterima kelas menengah dan atas. Kaligrafer yang tadinya cukup diberi ucapan terima kasih, dengan kegigihan Saifu, menjadi seniman yang diapresiasi secara layak.
Selain menjadi langganan Depag, karya Saifu tersebar di berbagai mesjid di seluruh Indonesia. Mulai dari mesjid Baitul Amanah Ciawi Tasikmalaya hingga Mesjid Agung Pontianak. Dari mesjid IPTN Bandung hingga mesjid PT Arun Lhokseumawe Aceh. Sebuah karyanya juga pernah menjadi koleksi Museum Saddam Art Centre di Irak.
Pergulatannya dengan berbagai mesjid itu diawali oleh kekecewannya melihat sejumlah mesjid yang ‘kering’, polos dan lebih mirip –maaf– gudang. Dari literatur yang dibacanya, ia tahu bahwa pada zaman keemasan Islam, seniman selalu terlibat dalam pembangunan mesjid sejak dari perencanaan. Kaligrafi bukan sekedar karya seni pajangan, melainkan menjadi bagian integral dari sebuah bangunan mesjid. Mesjid yang megah dan indah adalah karya bersama seniman-konsultan-arsitek. Berkat usahanya, kini designer kaligrafi sudah diajak serta dalam perencanaan sebuah mesjid. Kaligrafi telah menjadi bagian dari elemen estetis mesjid.
Proses kreatif Saifu diawali dengan elaborasi cat. Ia meninggalkan cat secara total ketika bau kimiawi cat membuatnya sakit. Secara otodidak ia menemukan warna-warna pilihan yang menarik. Kebetulan keluarganya adalah pembuat batik di Ketanggungan Brebes. Ia juga pernah belajar di Sekolah Penelitian Batik di Yogyakarta. Berbagai media telah dicobanya, kertas, tembok, triplek, logam, dan kayu jati. Hingga meninggal, Saifu tengah getol-getolnya berkolaborasi dengan tukang ukir dari Jepara melalui media kayu jati. Di antara karya kayu jatinya bisa dilihat di Mesjid Habiburrahman IPTN.
Di luar memenuhi pesanan menggarap elemen estetik mesjid, Saifu menciptakan karya-karya kaligrafi. Proses kreatifnya diawali oleh ketertarikan pada ayat Al-Quran yang dibacanya. Bukan memaksakan ayat kepada bentuk tertentu. Dari perenungan akan isi maksud ayat itu lalu ia mencari bentuk tulisan yang tepat.
Saifu merasa paling senang kalau ada sebuah kalimat panjang harus ditulis dalam tempat terbatas. Lalu dikristalisaikan sedemikikan rupa tanpa merubah kaidah sehingga menimbulkan nuansa yang tidak biasa. “Bagaimana menjinakkan huruf-huruf liar sesuai aturan tanpa menghancurkan susunan kalimat dan bisa terbaca penuh. Meskipun orang awam akan kesulitan membacanya,” katanya.
Ia memang seniman kaligrafi tradisional. Ia menguasai secara baik semua kaidah penulisan huruf Arab. Dari delapan kaidah itu, ia paling suka dengan jenis farisi yang dianggapnya sangat fleksibel dan lentur. Sekalipun kukuh pada tradisi, Saifu terbukti banyak menemukan bentuk baru yang diikuti kaligrafer setelahnya. Ia bukan pelukis yang menempelkan kaligrafi pada lukisannya. Ia menggarap kaligrafi dalam bentuk-bentuk baru tanpa merusak kaidah penulisan huruf-hurufnya.
Perjuangan Saifu tidak sia-sia. Ia dinilai berhasil menciptakan kaligrafi mazhab Salawu. Muridnya tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat. Rintisannya kini dilanjutkan oleh keluarganya di lingkungan Pesantren Nagerang, Salawu, Tasikmalaya, termasuk kedua anaknya, Iqbal dan Haikal. Keduanya pernah menggarap Mesjid Bosnia berkolaborasi dengan arsitek Ahmad Nu’man. Keduanya kini hidup dengan meneruskan jejak yang telah dirintis sang ayah: membuat mesjid menjadi indah.
(Iip Yahya)
Sumber : NU Jabar Online