The news is by your side.

Sang Diplomat Ulung KH. A. Chozin Chumaidy : Kiai yang Mengajarkan Keteguhan, Keikhlasan, dan Keberagaman

H. Wahyu Iryana – Di antara para kiai yang namanya tak sekadar bergaung di ruang-ruang taklim, tetapi juga bergema dalam ruang politik dan diplomasi negeri ini, KH. A. Chozin Chumaedy menempati tempat yang istimewa. Ia bukan hanya guru yang mengajarkan ayat dan akhlaq, tetapi juga seorang politisi yang bersih dari kerak ambisi pribadi, diplomat yang bersahaja namun tajam, dan aktivis NU yang tak pernah surut dalam menebar maslahat.

Mengenalnya seperti membuka lembar demi lembar kitab hikmah: berisi ilmu, kejujuran, serta keteladanan. Saya, sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung yang sempat berproses dalam gerakan mahasiswa Islam itu bersama sahabat saya, AA Abdul Rozak, adalah saksi hidup dari keteguhan dan keikhlasan seorang Chozin. Ia adalah jalan tengah antara idealisme dan realitas; antara mimbar pesantren dan kursi parlemen; antara kertas kajian dan medan diplomasi.

Lahir di Brebes, Jawa Tengah, KH. Chozin menghabiskan masa muda dalam semangat belajar yang menggebu. Ia kemudian merantau ke Bandung untuk menempuh pendidikan tinggi di IAIN Sunan Gunung Djati (kini UIN SGD). Sejak itulah, cahaya keulamaan dan intelektualitasnya mulai menyinari langit Jawa Barat. Di kampus ini pula, beliau memulai karier sebagai dosen PNS yang menginspirasi.

Sebagai pendidik, beliau dikenal sabar dan penuh kasih. Kuliahnya bukan semata teori, tetapi penuh dengan kisah dan nilai kehidupan. Di luar ruang kelas, beliau senang duduk di kantin kampus, berdiskusi santai dengan mahasiswa, membahas mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga persoalan ketimpangan sosial. “Kalau jadi intelektual, jangan hanya pintar, tapi juga berpihak,” katanya suatu kali pada kami. Dan beliau tidak pernah berhenti berpihak: pada rakyat kecil, pada kebenaran, pada nilai-nilai keadilan.

Namun, pada masa Orde Baru, seseorang harus memilih: menjadi abdi negara atau wakil rakyat. Beliau memilih jalur politik—bukan karena ingin berkuasa, tapi karena ingin lebih luas menebar kemaslahatan. Tak sedikit dosen dan mahasiswa yang menangis ketika beliau pamit dari kampus untuk menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PPP. “Saya tidak meninggalkan ilmu,” katanya, “saya hanya ingin memperjuangkannya dari medan yang lebih luas.”

Politik sebagai Jalan Amal

Di Senayan, beliau bukan politisi biasa. Ia tidak suka intrik, tidak pandai menjilat, dan tak pernah tergoda permainan kekuasaan. Tapi suaranya selalu didengar. Tegas tapi santun. Kritis tapi sopan. Ketika berbicara di forum parlemen, nadanya tak pernah tinggi, tapi isi kalimatnya mengandung prinsip dan keberanian. Ia memperjuangkan aspirasi rakyat baik umat Islam maupun masyarakat luas. Karena, baginya, politik bukan sekadar alat rebut kekuasaan, tapi juga jalan untuk menegakkan keadilan.

Salah satu keistimewaan beliau adalah keteguhannya menjaga nilai-nilai Islam yang moderat di tengah pusaran politik yang kadang gaduh dan penuh godaan pragmatisme. Ia membawa nilai-nilai Nahdlatul Ulama: tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal ke tengah forum-forum elite.

Diplomasi dan Doa di Beirut

Karier beliau pun menanjak hingga dipercaya sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon. Ini bukan penugasan biasa. Lebanon adalah wilayah yang rawan konflik, sarat perbedaan agama dan politik, serta menjadi titik pertemuan diplomasi internasional yang rumit. Tapi KH. Chozin tidak gentar.

Dengan jubah kesederhanaannya, beliau menyentuh banyak pihak. Ia dikenal bukan hanya di kalangan pejabat, tetapi juga di kalangan masyarakat akar rumput, baik WNI di Lebanon maupun komunitas internasional. Dalam banyak kesempatan, beliau mengajarkan diplomasi dengan pendekatan hati, bukan hanya protokoler.

“Kalau ingin damai, ajak mereka ngopi,” katanya sambil tersenyum suatu ketika. “Kalau sudah duduk bareng dan tertawa, biasanya masalah selesai.” Dan begitulah dia: memadukan diplomasi negara dengan kebijaksanaan pesantren.

Kader PMII dan GP Ansor Sejati

Tak banyak yang tahu, bahwa jauh sebelum beliau menjadi tokoh nasional, KH. Chozin adalah aktivis PMII tulen. Ia tidak hanya hadir di forum-forum intelektual, tetapi juga turun langsung ke jalan saat mahasiswa bergerak. Ia adalah mentor bagi banyak kader. Bahkan di GP Ansor, beliau dikenal sebagai pengayom yang menyatu dalam gerakan, bukan hanya di menara gading.

Banyak kader muda NU yang menyebut beliau sebagai “kiai penggerak zaman.” Di setiap forum kaderisasi, beliau mewanti-wanti agar NU tidak hanya besar secara organisasi, tetapi juga berisi secara keilmuan dan kepekaan sosial. Ia mengajarkan pentingnya istiqomah dalam tradisi, terbuka dalam dialog, dan progresif dalam bertindak.

Kesederhanaan yang Memikat

Yang paling membekas dari sosok KH. Chozin adalah kesederhanaannya. Rumah beliau di Bandung tak pernah berpagar tinggi. Siapa pun boleh masuk, asal niatnya baik. Di meja makannya, tidak pernah ada pembatas antara tamu dan tuan rumah. Semua duduk, semua makan, semua ngobrol. Ia tidak pernah canggung menyapa siapa pun, dari pemulung hingga pejabat tinggi negara.

Dalam banyak forum, ia lebih memilih mendengar daripada bicara. Tapi ketika berbicara, orang-orang terdiam, karena ia berbicara dengan hati. “Kalau kamu mau dikenal di dunia, jadi artis. Tapi kalau mau dikenang dalam hati orang, jadi orang baik,” kata beliau.

Pergi yang Mengajarkan

Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Tapi seperti kata Mahbub Djunaedi, “Orang besar itu tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat: dari dunia nyata ke dalam dada orang-orang yang mencintainya.”
Dan KH. Chozin berpindah ke dada kami.

Saya menuliskan bait syair ini sebagai tanda cinta dan duka untuk beliau:

 

وُلِدْتَ لِتُسْعِدَ قُلُوبَ النَّاسِ،
وَمَاتَتْ عَيْنَا لِفِرَاقِهِمْ بِالْحُزْنِ.
فَرَحُهُ لَمْ يَكُنْ فِي الْحَيَاةِ فَقَطْ،
وَحُزْنُهُ لَمْ يَكُنْ فِي الْمَوْتِ فَقَطْ.
يَا لَيْتَ زَمَانَكِ فِي رَحَابِ اللَّهِ،
وَيَارَحْمَتُ اللَّـهِ تَعَالَى عَلَيْهِ.
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.
وَفَارَقَتْنَا فِي سُبُلِهِ لِيَسْتَفِيدُوا مِنْهُ.
وَلَا تَحْزَنُوا عَلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ فِي رَحْمَةِ رَبِّهِ.
وَفِي السَّمَاءِ لِيُبْصِرُونَ النُّورَ الَّذِي تَرَكَ.

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
(Al-Baqarah: 156)

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.”

Dari Brebes hingga Beirut, beliau menapaki jejak sebagai santri, dosen, politisi, diplomat, dan ulama bangsa. Dalam semua peran itu, satu hal yang tak pernah berubah: keikhlasan. Beliau bukan hanya mengajar dengan kata, tapi menghidupkan makna.

Kepada para kader muda, beliau sering berpesan:

Teruslah menulis. Teruslah berjuang. Jangan pernah lelah menjadi manusia baik.”

Dan pesan itulah yang kini kami pegang erat. Karena kami percaya, selama prinsip hidup beliau kami rawat, selama nilai-nilai perjuangan beliau kami lanjutkan, maka KH. Chozin Chumaedy tidak benar-benar pergi.

Ia hanya kembali ke pangkuan-Nya dengan senyum dan catatan amal yang panjang.

Baca juga resensi buku lainnya :

  • Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
  • Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
  • Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
  • Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.