NU dan Muhammadiyah Tidak Izinkan Warganya Terlibat People Power
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sama-sama menghimbau agar warganya tidak terlibat aksi demo KPU pada 22 Mei mendatang. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Said Aqil Sirad menilai aksi bisa menimbulkan kegaduhan di Indonesia. “Lihat saja nanti ada apa enggak. Tapi kalau dari NU itu saya larang betul untuk ikut kegiatan tersebut. Karena itu, akan menjadikan kegaduhan,” kata Kiai Said usai buka puasa bersama dengan Dubes Republik Tiongkok, Xiao Qian, di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jl. M. Kahfi 1 Cipedak, Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Kamis, 9 Mei 2019, sebagaimana dilansir Viva.
Kiai Said meminta kepada masyarakat, siapapun yang menang dalam pesta demokrasi pemilihan presiden 2019 harus diterima dengan lapangan dada. Dan NU sangat menghormati kinerja dari penyelenggara baik dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan juga aparat keamanan baik Polri maupun TNI.
“Mari kita teruskan, jaga keamanan dan perdamaian agar nanti siapapun yang menang, itu lah presiden kita. Harus kita terima dengan dewasa dan lapang dada, besar hati. NU percaya pada KPU, Bawaslu, TNI dan Polri,” tambahnya.
Demikian pula dengan Muhammadiyah yang juga meminta warga Muhamadiyah agar tidak terlibat aksi 22 Mei 2019. Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Sabtu (18/05/2019). Ia berharap warga Muhammadiyah bisa menjadi contoh dalam menjalankan demokrasi. “Muhammadiyah menghimbau kepada anggotanya untuk tidak turut serta dalam aksi 22 Mei. Warga Muhammadiyah hendaknya menjaga khittah dan kepribadian dengan menjadi teladan dalam berpolitik dan berdemokrasi,” kata Mu’ti, sebagaimana dilansir Republika.
Menurutnya, pengerahan massa pada 22 Mei justru dapat berisiko menimbulkan benturan dan konflik horizontal. Karena itu, ia meminta agar semua pihak hendaknya dapat menahan diri. Selain itu, pemilihan Presiden adalah proses seleksi kepemimpinan yang biasa dilakukan Indonesia. Proses pemilihan Presiden, jelas Mu’ti, berlangsung secara konstitusional, terbuka, jujur, dan adil.
Penyelenggara pemilu, menurut Mu’ti, juga telah bekerja profesional, netral, dan transparan. Bahkan, mereka juga kooperatif menerima masukan, segala kesalahan telah diperbaiki, dan dugaan adanya kecurangan sudah dilakukan pemilihan ulang kembali.“Karena itu semua pihak hendaknya menerima hasil-hasil Pemilu secara dewasa, legawa, arif, dan bijaksana,” kata dia.
Jika ada keberatan terhadap hasil pemilu, Mu’ti menyarankan, hendaknya diselesaikan secara hukum. Pengerahan massa dalam bentuk apapun dan oleh siapapun hendaknya dihindari.