NU sebagai Benteng Pancasila
Oleh Syakir NF
Indonesia tak henti-hentinya diterpa badai problematika kebangsaan. Selain korupsi dan terorisme, adanya kelompok yang berusaha mendelegitimasi Pancasila sebagai asas tunggal dan ideologi negara juga menjadi persoalan yang masih belum selesai. Gerakan Islam transnasional memotori hal itu dengan dalih agama.
Jauh-jauh hari, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2010 KH Hasyim Muzadi telah memprediksi rongrongan kelompok tersebut akan menjadi polemik ketika sudah berbenturan dengan negara. Meskipun saat itu, belum ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mencegah perkembangan kelompok tersebut.
“Tapi juga ndak usah dipisuhi. Biarkan. Karena suatu ketika dia akan bentlak dengan negara. Sekarang masih ha he ho ha he ho. Ini kalau sudah membentur, mengkristal, tek (menggambarkan perbenturan), membentur ideologi negara, mesti itu problem,” kata Kiai Hasyim pada satu ceramahnya.
Nyata saja. Peristiwa itu memang benar terjadi. Benturan itu tak terelakkan sehingga mendorong Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pembubaran organisasi yang bertentangan dengan Pancasila pada Juli 2017.
Lebih jauh dari itu, pada tanggal 23 Desember 1983, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama telah menetapkan penerimaannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Einar Martahan Sitompul dalam bukunya, NU dan Pancasila menulis tiga alasan mudahnya peserta Munas menerima, meskipun sebelumnya, KH Salahuddin Wahid menyebutkan dalam tulisannya di Kompas yang berjudul Nahdlatul Ulama dan Pancasila pada edisi 28 Desember 2008, hanya dua penanggap saja yang menerima dan 34 yang menentang dari seratusan anggota Komisi Khittah NU.
Pertama, para kiai yang mengemukakan pendapatnya adalah para kiai khos, yakni KH As’ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma’shum, KH Mahrus Ali, KH Ahmad Shiddiq, dan KH Masykur. Mereka punya wibawa yang kuat di mata umat sehingga segan menolak pandangannya.
Kedua, keputusan para kiai sepuh tersebut pasti sudah dipikirkan dengan sangat matang tidak semata pertimbangan politis. Faktor keagamaan pun pasti tak lepas dari ketetapan yang telah mereka ambil. Ketiga, sebagai pemimpin umat dengan sendirinya mereka peka terhadap perembangan dan kebutuhan umat.
Sementara itu, dalam tulisannya di Kompas pada tanggal 28 Desember 2008, KH Salahuddin Wahid menguraikan argumentasi Kiai Ahmad Shiddiq. Menurut Gus Salah, Kiai Ahmad berpandangan bahwa Islam yang dijadikan sebagai asas bukanlah Islam sebagai agama, melainkan sebagai suatu ideologi. Karena itu, ideologi sebagai buatan manusia tidak dapat menggantikan peran agama sebagai buatan Allah swt. Pun dengan Pancasila.
Karena itu, Gus Sholah menjelaskan, Islam dan Pancasila bisa berjalan saling menguatkan. Tidak bisa memilih satu di antaranya dan mengeliminasi lainnya. Lebih dari itu, Gus Salah mengutip pernyataan Kiai Ahmad yang menegaskan penerimaannya atas Pancasila dengan analogi makan. “Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita kunyah selama 38 tahun, kok baru kita persoalkan halal dan haramnya.”
Peran NU tidak hanya berhenti pada pengakuan saja. Sampai saat ini dan seterusnya, NU akan tetap mempertahankan Pancasila. Keterlibatan Rais Aam KH Ma’ruf Amin dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan bagian dari perjuangan itu.
Namun, terlibat tidaknya NU dalam badan yang baru dibentuk itu, NU akan tetap menjalankan tugasnya untuk menjaga Pancasila. Sebab, hal itu sudah digariskan dalam deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam yang ditetapkan pada Muktamar Situbondo tahun 1984.
Berikut lima poin deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam yang disusun oleh para kiai NU sebagai hasil Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur:
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat digunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan yang Mahaesa sebagai dasar Negara Republik Indonesia, menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan wujud upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
- Sebagai konsekwensi dari sikap itu, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Poin terakhir secara tegas memberikan mandat kepada NU untuk senantiasa memberikan pembinaan kepada bangsa tentang makna dan pengamalan Pancasila. Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaan bangsa nanti, NU akan setia menjadi benteng bagi Pancasila. Sebab, selain karena hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pancasila juga merupakan hasil ijtihad para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya putra pendiri NU, yakni KH Abdul Wahid Hasyim.
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Sumber : NU Online