Pahlawan Toleransi Itu Bernama Rianto
Nurul Azizah – Keinginan menulis tentang sosok anggota Banser NU Rianto begitu kuat. Entah ada dorongan apa, sehingga mood itu muncul dengan sendirinya. Penulis sangat-sangat hormat pada sosok anggota Banser NU. Karena sosok ini selalu hadir untuk mengamankan pengajian, mengawal kiai, pengamanan setiap kegiatan kemasyarakatan diminta atau tidak. Bahkan ikut pula mengamankan tempat-tempat ibadah umat beragama termasuk gereja. Jiwa untuk pengabdian kepada sesama anak bangsa yang membuat penulis angkat topi (hormat) kepada Banser NU.
Tulisan tentang Rianto tentu bertebaran di media sosial menjelang perayaan natal bagi umat Kristiani. Semoga pembaca masih mau membaca tulisan ini, walau mungkin ada kesamaan dalam pemaparannya. Tentunya ada pembeda, karena gaya pemaparan penulis yang berbeda.
Yuk kita awali dengan siapa sosok pahlawan toleransi itu. Riyanto (19 Oktober 1975 – 24 Desember 2000) merupakan anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (BANSER NU) yang gugur karena terkena ledakan bom saat mencoba menyelamatkan puluhan jemaat Gereja Eben Haezer di Mojokerto dari percobaan peledakan pada malam natal 24 Desember 2000.
Riyanto meninggal disebabkan karena terkena ledakan bom. Dan dimakamkan di pemakaman umum prajurit kulon Mojokerto.
Riyanto anak dari pasangan suami istri Sukarmin dan Katinem. Riyanto merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara.
Pahlawan Toleransi itu bernama Riyanto, karena banyak jiwa yang diselamatkan tanpa memandang siapa mereka, dan agamanya apa. Sehingga sudah selayaknya Riyanto mendapatkan gelar Pahlawan Toleransi.
Penulis bangga dengan semangat Banser NU, terus berjuang tanpa lelah dan pamrih, Insya Allah sahabat-sahabat Banser NU kelak jadi santrinya KH. Hasyim Asy’ari.
Mari kita seluruh komponen anak bangsa satukan teguh untuk selalu hidup rukun, menghormati keyakinan pemeluk agama yang berbeda. Malu rasanya kita masih mempersoalkan ibadahnya orang lain yang beda keyakinan dengan kita.
Apalagi sampai mengkafir-kafirkan umat lain di luar Islam. Itu bukan budaya asli Indonesia. Budaya Indonesia sangat menghormati setiap perbedaan.
Beda suku bangsa, beda agama, beda bahasa, beda pakaian adat, beda kesenian dan banyak perbedaan antar penduduk yang mendiami wilayah Indonesia.
Jadi seorang Rianto dan kawan-kawan dari Banser NU, mengapa mau menjaga gereja saat pelaksanaan misa natal? Bagi orang yang mencintai sesama manusia dan cinta NKRI itu hal tersebut sudah biasa dilaksanakan oleh setiap anggota Banser NU.
Walau berbeda-beda, pada hakekatnya perbedaan itu saling melengkapi satu sama lainnya. Mereka menjaga sesama anak bangsa saat menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka. Agar ibadahnya khusyuk tidak ada gangguan apapun.
Rianto ditakdirkan sebagai anggota Banser NU yang sangat sederhana. Melihat sorot matanya akan tampak kesederhanaannya.
Tapi dibalik kesederhanaannya dia mampu memahami makna hidup toleransi dan kemanusiaan. Hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, tanpa risih melihat jamaat gereja melakukan ibadatnya.
Di benak Rianto hanya ada kata “Samikna Wa Athokna, kami mendengar dan kami taat,” atas perintah komandannya untuk menjaga keamanan di Gereja.
Samikna wa athokna merupakan suatu bentuk kepatuhan dan loyalitas. Nilai-nilai yang terkandung dalam kalimat tersebut berlandaskan pada iman dan taqwa, dalam hal ini memahami apa yang Allah SWT perintahkan dan Rosulullah SAW sabdakan.
Jadi sosok Rianto yang anggota Banser NU ini selain sederhana, juga taqwa dan pemberani. Bahkan jiwanya lebih berani ketimbang orang-orang berdasi yang suka diskusi tentang banyak hal, diantaranya : dialog lintas iman, merawat Indonesia, merajut kebhinekaan dan lain-lain tentang toleransi.
Rianto ketika menemukan bom yang ada di belakang jemaat gereja, dia tidak lagi berfikir tentang merawat Indonesia, dia tidak lagi berfikir tentang merajut kebhinekaan, tidak lagi berfikir hidup toleransi.
Tapi beliau pahlawan kemanusiaan, pahlawan sejati, berfikir cepat kilat dan segera ambil tindakan. Bawa bom keluar gereja karena waktu tidak banyak. Dia lari sekencang-kencangnya keluar gereja sambil membawa bom. Belum sempat bom dilempar, suara ledakan sudah terdengar terlebih dahulu. Otomatis bom meledak dan melukai sekujur tubuhnya. Rianto meninggal sebagai syuhada’, walau tidak dalam kondisi perang tapi Rianto meninggal di jalan Allah, didalam kemuliaan yang tinggi, akan dihitung sebagai syuhada di akhirat.
Rianto telah menyelamatkan banyak nyawa jemaat yang sedang melaksanakan misa natal dan orang-orang lain yang ada di gereja Eben Haezer di Mojokerto.
Selamat jalan sahabat, Insya Allah, Riyanto Husnul Khotimah. Banyak sahabat-sahabat Banser NU yang terus melanjutkan perjuanganmu. Banyak jemaat gereja yang akan terus menerus mengenangmu dan melantunkan doa, serta banyak jutaan umat beragama Islam dan non Islam memanjatkan doa untuk pahlawan toleransi.
Tak terasa penulispun meneteskan air mata, dan tersedu-sedu menangis, karena haru dan sekaligus bangga dengan perjuangan dan dedikasimu atas nama kemanusian. Semoga engkau husnul khotimah, makamnya menjadi roudhoh min riyadil jannah.
illa rukhi alm. Riyanto, Al-Fatihah … aamiin.