Penanaman dan Penguatan Nilai-Nilai Aswaja dan Kebangsaan melalui Peringatan 1 Abad Pesantren al-Munawwaroh Ciloa
Oleh
Hapid Ali (Pengurus PWNU Lakpesdam Jawa Barat).
Pondok Pesantren merupakan kelembagaan Islam yang telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki pengaruh besar dalam upaya menanankan nilai-nilai moral dan mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Artinya bahwa pesantren merupakan sarana dan prasarana yang memfasilitasi transfer ilmu dan nilai-nilai moral terhadap santri dan masyarakat. Apabila dikaji dari aspek sejarah, pondok pesantren mulai berdiri sejak penyebaran islam dinusantara pada abad ke 15. Tokoh yang pertama mendirikan pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M).
Dalam mengembangkan Siar Islamnya beliau menggunakan pondok sebagai sarana dalam transfer ilmu dan nilai-nilai moral. Bahkan ada teori lain yang mengatakan bahwa pesantren itu merupakan adopsi dari Hindu dan Budha. Seperti yang disampaikan oleh Mustafa dalam jurnalnya (Juli 2015) mengatakan bahwa pesantren merupakan hasil adopsi Hindu dan Budha yang pertama berkembang di Nusantara.
Tidak terlepas dari perkembangan sejarah pesantren, peran pesantren semenjak abad ke 15 M sampai sekarang itu memberikan peran yang besar dalam perubahan kehidupan sosial. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa peran pesantren memberikan pengaruh besar dalam membentuk karakter santri dan bangsa pada umumnya menjadi bangsa yang bermartabat dan mempunyai wawasan keilmuan yang luas. Pesantren menjadi sarana dalam peningkatan nilai-nilai ketauhidan, ke Islaman, dan cinta tanah air.
Seperti halnya Pesantren al-Munawwarah Ciloa yang ada di Kabupaten Garut, ini merupakan pesantren yang memberikan nuansa baru dalam pengembangan pendidikan keislaman yang berbasis rahmatan lil alamin dimana disitu terjadi proses transfer ilmu dan nilai-nilai Aswaja yang disinergiskan dengan budaya dan tradisi di Indonesia tanpa bersebrangan dengan norma norma Agama dan Pancasila. Pesantren al-Munawwarah Ciloa ini merupakan salah satu pesantren tertua di daerah Garut.
Sedikit penulis mengupas terkait dengan selayang pandang pesantren al-Munawwaroh Ciloa, pesantren tersebut merupakan pesantren salafiyah yang memusatkan kajiannya dibidang nahwu, shorof, tafsir, fiqih, hadist, dan tauhid. Pesantren ini berdiri pada tahun 1918 yang didirikan oleh K.H. Raden Muhammad Romli. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren ini mengalami pasang surut karena beberapa faktor yaitu dengan meninggalnya K.H. Raden Muhammad Romli pada tahun 1940-an dan termasuk faktor kolonialisme. Dan ini dilanjutkan oleh putra tertua K.H. Raden Ahmad Kosasih dan K.H. Raden Muhammad Asyim beliau mempertahankan ruh pesantren sampai tahun 1948. Karena pada waktu itu K.H. Raden Muhammad Asyim gugur sebagai mati syahid dalam pertempuran melawan Belanda di Majalengka sedangkan K.H. Raden Ahmad Kosasih harus mengasingkan diri ke Padalarang karena faktor penjajahan Belanda.
Pesantren ini kembali beraktifitas pada tahun 1955 oleh K.H. Raden Ahmad Jawari kemudian baliau wafat pada tahun 1995 dan kemudian dilanjutkan oleh K.H. Drs Raden Agus Muhammad Sholeh M.Ag beliau merupakan menantu dari K.H. Aceng Kholil putra dari K.H. Raden Ahmad Jawari. Dengan berjalannya waktu dan kebutuhan masyarakat maka pada tahun 2002 pesantren ini mencoba mengkombinasikan sistem salafiyah dan sistem khalafiyahnya dengan mendirikan sekolah setingkat MTs dan mendirikan sekolah setingkat SMA pada tahun 2015. Dari kombinasi kedua sistem ini, ini semata bentuk pengejawantahan dari kaidah usul fiqih “Al-Muhafadhotu ala Qodimi Al-Solih wal Akhdu bil Jadidi Al-Aslah” mempertahankan nilai lama yang baik (sistem salaf) dan mengambil hal yang baru yang lebih baik (sistem khalaf). Ada yang lebih menarik dari pesantren ini, pesantren ini mencoba melakukan pemahaman nilai-nilai Aswajanya dengan pendekatan tradisi, sosial dan antropoligis masyarakat Indonesia sehingga dari konsep ini menumbuhkan nilai-nilai hubbul wathon (nasionalisme) yang menyuarakan nilai-nilai kebangsaan.
Seperti pada kegiatan peringatan 1 abad pesantren al-Munawwaroh Ciloa pada tanggal 14 januari 2018 dengan menghadirkan pembicara K.H. Hasan Nuri Hidayatullah (Ketua PWNU Jawa Barat).
Kegiatan tersebut dilakukan itu semata untuk menankan dan menguatkan nilai-nilai Aswaja dan semangat kebangsaan terhadap tanah Air ini. Karena tidak bisa kita pungkiri bahwa proses radikalime itu sudah muncul dibeberapa pesantren tertentu. Maka untuk menepis kekhwatiran tersebut, pesantren ini mencoba melakukan kajian dan kegiatan yang mengacu pada penguatan nilai-nilai Aswaja dan kebangsaan. Karena di era globalisasi ini kajian keilmuan itu dapat diserap dari berbagai media sehingga tanpa adanya filter dan bimbingan dari Kiayi pesantren justru itu akan menumbuhkan pemikiran yang radikal termasuk dalam aplikasinya.
Seperti apa yang telah disampaikan oleh K.H. Hasan Nuri Hidayatullah (Ketua PWNU Jawa Barat) yang menyatakan bahwa “al-Ilmu Yu’ta walaa Yu’ti” artinya ilmu itu didatangkan bukan mendatangkan. Dalam artian bahwa proses transfer ilmu itu dilakukan bukan secara instan yang didapat dimana dan media apa saja melainkan dengan prosesnya kita sebagai al-Thulaab (para santri) dituntut untuk dapat belajar langsung kepada Kiayi dipesantren sehingga bukan ilmu saja yang didapat akan tetapi etika dan moral yang baik yang jauh lebih penting akan kita dapati. Sehingga dengan penanaman moral yang baik justru itu akan membimbing seseorang untuk resfek dan toleran terhadap masyarakat dan hilangnya nilai radikalisme. Itu merupakan bagian dari penerapan nilai-nilai Aswaja yang disinergiskan dengan tradisi dan sosisal khususnya dalam era globalisasi ini.
Pada dasarnya bahwa globalisasi memiliki pengaruh besar dalam menumbuhkan gerakan-gerakan radikalisme massa. Nilai-nilai Aswaja dan penguatan kebangsaan harus ditanamkan pada para santri di pondok pesantren sebab pondok pesantren adalah lembaga pesantren yang dapat mencetak santri juga masyarakat untuk menjadi warga Negara yang berakhlakul karimah dimana memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan nilai kebangsaan yang tinggi. Seperti halnya kegiatan peringatan 1 abad pesantren Al-Munawwaroh Ciloa, Limbangan, Garut itu merupakan kegiatan rutinitas yang biasa dilakukan setiap setahun sekali dan kegiatan ini disebut dengan istilah “haul pesantren dan reuni alumni”. Kegiatan ini merupakan tradisi hasanah yang menumbuhkan spirit Islam dan ini merupakan proses untuk menumbuhkan nilai-nilai Aswaja dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan.
Kajian dan kegiatan di pesantren tersebut termasuk kegiatan peringatan 1 abad pesantren Al-Munawwaroh Ciloa memiliki potensi yang besar untuk menjadi counter atas semakin menguatnya arus Islam radikal.
Hal ini merupakan penanaman dan penguatan nilai-nilai Aswaja. Seperti halnya apa yang telah disampaikan oleh K.H. Raden Agus Muhammad Sholeh, M.Ag (Pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwaroh Ciloa), beliau merupakan guru dan juga sebagai orang tua penulis dalam ranah pendidikan pada khususnya, yang menyatakan bahwa “penanaman nilai-nilai Aswaja di dalam aplikasinya harus disinergiskan dengan aspek sosial dan tradisi yang ada di tanah air ini tanpa bertolak belakang dengan norma Agama”.
Ini dapat di interpretasikan bahwa penanaman nilai Aswaja harus dapat diaplikasin secara universal dengan pendekatan tasamuh, tawasuth dan tawajun. Artinya bahwa dipesantren tersebut telah menerapkan sistem teologi yang moderat. Ajaran Aswaja merupakan sarana untuk membangun pemahaman Islam yang toleran, inklusif dan moderat. Selain dari itu Aswaja yang diterapkan dipesantren tersebut merupakan sebuah konsep yang sudah diwarisi oleh K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) dimana konsep Aswaja tersebut tertanam sebagai pengetahuan, pemahaman dan sikap yang merupakan modal penting untuk bersikap kritis dalam menghadapi dinamika sosial keagamaan yang semakin kompleks.
Di tengah arus radikalisme yang semakin menguat ini, nilai-nilai yang terkandung didalam Aswaja menjadi bagian yang sangat penting untuk dimunculkan dan diaktualisasikan.
Nilai-nilai Aswaja dapat dijadikan sebagai counter untuk meminimalisir radikalisme. Melalui pendekatan nilai-nilai Aswaja dan kebangsaan justru itu dapat memberikan pemahaman publik terhadap signifikansi ajaran yang moderat bukan sebagai konsep ajaran Islam yang radikal.
Paradigma pemikiran Aswaja bertumpu pada sumber ajaran Islam; al-Quran, al-Sunnah, al-Ijma dan Qiyas. Sementara pada tataran aplikatifnya, umat Islam yang menganut Aswaja mengikuti pemikir ulama masa lalu yang melestarikan kitab-kitab turas (kuning). Dalam hal ini, ada tiga pilar inti yang menandai karakteristik Aswaja yaitu dalam bidang teologi mengikuti faham Asy’ari dan Maturidi, dibidang Fiqih, mengikuti salah satu dari empat madhab (Imam Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i), dibidang tasawuf mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Selain dari itu pula Aswaja memiliki prinsif tawasut (moderat), tawazun (seimbang), dan tasmuh (toleran). Konsep Aswaja inilah merupakan sebuah konsep yang bergandengan tangan dengan nilai-nilai NKRI bahkan NKRI ini merupakan sebagai anak yang lahir dari Aswaja yang sudah ditawarkan oleh para ulama terdahulu untuk menumbuhkan nilai hubbul wathan (nasionalisme). Seperti halnya kegiatan peringatan 1 Abad pesantren al-Munawwaroh Ciloa pada tanggal 14 januari 2018 yang sudah dibahas sebelumnya itu merupakan sarana untuk menumbuhkan dan menguatkan nilai-nilai Aswaja dan Kebangsaan.