Tiga Kesepakatan Dalam Bermadzhab
PERTAMA
Bahwa orang yang bertaklid (muqallid) kepada suatu madzhab tidak wajib secara syara’ untuk terus menerus bertaklid kepada madzhab tersebut. Tidak ada larangan bagi seorang muqallid untuk berpindah ke madzhab lain. Umat Islam sepakat bahwa muqallid boleh bertaklid kepada mujtahid yang ia kehendaki, jika ia mampu memahami madzhab dan pendapat- pendapatnya. Muqallid juga boleh selamanya bertaklid pada salah satu imam madzhab empat. Kalau belakangan ini muncul orang yang menganggap perpindahan taklid dari suatu madzhab ke madzhab lain sebagai perbuatan yang buruk, itulah bentuk fanatisme yang tidak baik, yang menyalahi kesepatakan umat Islam.
Setiap akademisi tahu, bahwa prinsip yang disepakati tersebut berbeda dengan statemen yang menyatakan bahwa “seorang muqallid tidak boleh menetapi satu madzhab tertentu, tapi harus berpindah dan berganti-ganti madzhab”. Maksudnya, tiadanya kewajiban untuk konsisten dengan suatu madzhab tidak berarti bahwa konsisten terhadap suatu madzhab itu diharamkan.
KEDUA
Ketika seseorang mampu memahami suatu masalah secara mendalam, mengerti benar dalil-dalilnya dari al-Qur‘an, Sunnah, serta metode-metode ijtihad, ia wajib melepaskan diri dari taklid. Orang yang demikian, yang kualitas keilmuannya telah memenuhi syarat serta telah mampu berjtihad, karena itu dilarang bertaklid. Prinsip ini telah disepakati, baik oleh para ulama maupun para imam madzhab. Dan tentunya, orang itu tidak boleh mengunggulkan (men-tarjih) pendapat seorang imam dibanding hasil ijtihadnya dalam masalah tersebut, yang telah serius didalaminya untuk menggali dalil dan metodenya. Jika memang di masa-masa belakangan ini muncul orang yang menyimpang dari kesepakatan umat Islam ini, hal itu adalah salah satu bentuk fenomena fanatisme yang tercela, yang harus diwaspadai dan dihindari.
Setiap akademisi juga tahu, bahwa prinsip yang sudah di-sepakati tersebut tidak berarti ajakan kepada muqallid yang tidak mengerti dalil-dalil hukum untuk melepaskan dirinya dari taklid lalu berpegangan langsung pada al-Qur‘an dan Sunnah.
KETIGA
Semua imam empat adalah benar. Maksudnya, jika mereka merasa belum yakin dengan hakikat hukum-hukum ijtihadi yang dikehendaki Allah untuk hamba-Nya, ijtihad para imam itu boleh diikuti. Sehingga, tidak ada hal lain bagi masing-masing imam kecuali harus mengikuti hasil ijtihadnya.
Dengan demikian, bermadzhabnya seorang muqallid pada imam yang ia inginkan, adalah sama dengan mengikuti petunjuk yang benar. Jika ia memilih mengikuti salah satu imam madzhab, ia tidak boleh menyalahkan madzhab lain. Oleh karena itu, para ulama bersepakat mengenai bolehnya seorang penganut madzhab Hanafi bermakmum kepada penganut madzhab Syafi’i atau Maliki, begitu pula seterusnya.
Tentang adanya sebagian orang awam yang mengasingkan diri di pojok masjid ketika salat beijamaah dilaksanakan di depan mata kepalanya—karena imamnya tidak semadzhab dan berpandangan bahwa salatnya tidak sah kecuali dengan imam yang semadzhab—kami katakan, bahwa hal itu tidak ada dasarnya dalam agama. Para imam dan ulama di tiap masa sepakat atas tidak benarnya hal itu. Tradisi tersebut tidak akan bertahan kecuali karena dua hal: fanatisme yang tidak berdasar dan adanya kelompok orang yang memanfaatkan kebiasaan itu untuk mencari keuntungan.
Demikianlah tiga prinsip yang sudah disepakati , yang sudah sejak dulu dikaji dan dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Tidak ada seorang pun yang menentangnya, dan seharusnya tidak ada seorang pun yang memperdebatkannya.
Sumber : Buku “ Al-Lamadzhabiyyah; Akhtaru Bid’ah Tuhaddidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah” yang diterjemahkan dengan judul “Menampar Propaganda “Kembali kepada Al-Quran” : Keruntuhan Argumentasi Paham Anti-Madzhab dan Anti Taqlid” yang ditulis Dr. Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, penerbit Pustaka Pesantren.