Tutup Ramadhan dengan Berdoa
Siang demi siang dan malam demi malam Ramadhan telah kita lalui. Kehidupan yang lain daripada yang lain telah kita jalani di bulan yang kita sebut bulan suci ini. Kita berdoa semoga kita mampu menyerap kesucian bulan ini. Mampu tidak hanya memaknai tapi sekaligus menghayati puasa kita. Sehingga nilai tambahnya tidak hanya berupa ganjaran di akhirat, namun dapat merupakan peningkatan pribadi kita sebagai hamba-hamba mukmin yang tahu bersyukur.
Kita berdoa semoga Ramadhan kali ini benar-benar berhasil mendidik kita menjadi manusia yang lain, manusia yang tidak hanya menyadari kekhalifahannya, tapi sekaligus kehambaannya. Manusia yang saleh di hadapan Allah dan saleh di hadapan sesama manusia.
Kita berdoa dan berdoa, karena agaknya memang hanya –berdoa– itulah andalan kita selama ini. Apalagi bila mengingat sekian Ramadhan lepas begitu saja tanpa terlihat bekasnya pada pribadi kemusliman kita. Muslim yang paling baik menurut Pemimpin Agung kaum muslimin dan yang paling tahu tentang keIslaman, Nabi Muhammad SAW, ialah “Man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi.” Orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai sesama. Jadi bukan orang yang berkobar-kobar membela Islam dengan keganasan lisan dan tangannya.
Kita berdoa; karena sekian Ramadhan terlewati begitu saja tanpa berhasil mendidik kita untuk menjadi manusia yang benar-benar jujur. Pendidikan jujur yang diberikan oleh puasa setiap Ramadhan, ternyata hanya berlaku –kalau pun berlaku— pada puasa pada bulan suci itu. Sebagaimana pendidikan rendah hati dan kedermawanan yang hanya terserap –kalau pun terserap– tak seberapa dan sementara. Kesombongan sebagai kaum yang merasa paling selamat, paling benar, dan paling mulia di sisi Allah, masih sangat kental terasa; meski kebanyakan kita tidak merasa. Kedermawan kita juga masih sarat termuati pamrih tersembunyi.
Kita berdoa; karena agaknya kita tidak mampu percaya bahwa puasa Ramadhan telah kita jalani sebagaimana mestinya. Apalagi sikap kita terhadap puasa Ramadhan terkesan masih terpaksa dan di bawah sadar minta dihargai. Himbauan “menghormati Ramadhan” apa maksudnya, kalau tidak si penghimbau ingin dibantu berpuasa atau ingin dihargai? Apakah Ramadhan butuh dihormati? Bukankah Ramadhan sejak awal sudah terhormat? Seolah-olah karena kita sudah mau berpuasa, mau mengekang nafsu dan syahwat, mau mengubah kehidupan yang sangat duniawi menjadi kehidupan ruhani, maka kita harus dihargai dan minta imbalan.
Kita berdoa; karena kita belum bisa yakin bahwa puasa kita telah berhasil menyeimbangkan diri kita sebagai manusia daging dan ruh, manusia dunia-akherat. Apalagi sehari-hari di bulan suci ini, di samping tidak makan tidak minum di siang hari dan ramai-ramai taraweh, acara-acara duniawi yang bersifat daging rupanya tidak mau begitu saja diabaikan. Bahkan kepentingan-kepentingan daging begitu lihai menyusup ke dalam ‘amalan-amalan ibadah’, seperti menyusupnya kepentingan-kepentingan politisnya politisi dalam agitasi kerakyatan dan keagamannya. Ramainya tadarus bersaing dengan hiruk-pikuknya acara badutan tv yang sering kali tak jelas maksud dan tujuannya.
Untunglah masih ada doa. Maka marilah kita berdoa semoga puasa dan amal ibadah kita diterima oleh Allah. Semoga kesalahan-kesalahan dan kekuarangan-kekurangan kita diampuniNya. Semoga puasa Ramadhan kali ini benar-benar berhasil mendidik kita menjadi manusia yang seimbang: manusia yang hamba dan khalifah Allah; manusia yang daging dan ruh; manusia yang menyembah Tuhan dan mengasihi sesama hambaNya; manusia dunia-akherat. Amin.
Penulis kini adalah Mustasyar PBNU. Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Merdeka 8 September 2010
Sumber : NU Online