Warisan Intelektual Ulama Sunda-Banten “Raf’u al-Hijab”
Ahmad Ginanjar Sya’ban – Berikut ini adalah halaman pertama dari teks manuskrip kitab berjudul “Raf’u al-Hijâb ‘an ‘Arâ’is al-Khamsah al-Abwâb” yang dikarang oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allân al-Shiddîqî al-Syâfi’î al-Makkî (w. 1647), seorang ulama sentral dunia Islam paruh pertama abad ke-17 M dan berkedudukan di kota suci Makkah.
Karya ini ditulis secara khusus oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allân untuk menjawab beberapa buah pertanyaan seputar masalah-masalah keislaman yang diajukan Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (w. 1650), penguasa Kesultanan Banten kelima yang juga berjejuluk “Pangeran Anom”.
Syaikh Muhammad b. ‘Allân terhitung sebagai sosok yang memiliki banyak karya yang hingga saat ini masih dikaji dan dijadikan rujukan dalam studi keislaman. Karya-karya tersebut mencakup pelbagai disiplin keilmuan Islam, mulai dari tafsir al-Qur’an, hadits, fikih, tasawuf, tata bahasa Arab, dan lain-lain. Di antara karya Syaikh Muhammad b. ‘Allân yang paling terkenal adalah “Daîl al-Fâlihîn Syarah ‘alâ Riyâdh al-Shâlihîn”. Karya ini merupakan penjelasan (syarah) atas kitab hadits “Riyâdh al-Shâlihîn” karya Imam Nawawi (w. 1277). Selain itu, karya Syaikh Muhammad b. ‘Allân yang terkenal lainnya adalah “Dhiyâ al-Sabîl” dalam bidang tafsir al-Qur’an.
Di samping itu, Syaikh Muhammad b. ‘Allân juga memiliki banyak murid yang berasal dari pelbagai penjuru dunia Islam, termasuk dari wilayah kepulauan Nusantara. Di antara murid Syaikh Muhammad b. ‘Allân yang berasal dari Nusantara adalah penguasa Kesultanan Banten keempat, yaitu Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir (w. 1651) dan putranya yang menjadi penguasa Kesultanan Banten kelima, yaitu Pangeran Anom Abu al-Ma’ali Ahmad (w. 1650).
Untuk dua sultan penguasa Banten tersebut, Syaikh Muhammad b. ‘Allân tercatat mengarang beberapa buah karya secara khusus. Untuk Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, dikarang sebuah risalah berjudul “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”, sementara untuk Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad, dikarang sebuah karya berjudul “Raf’u al-Hijâb ‘an ‘Arâ’is al-Khamsah al-Abwâb” yang menjadi fokus perbincangan kita kali ini.
Setelah menuliskan basmalah, memanjatkan puji kepada Allah SWT dan menghaturkan shalawat kepada Rasulullah SAW, dalam kata pengantar (muqaddimah)-nya atas kitab “Raf’u al-Hijâb” ini, Syaikh Muhammad b. ‘Allân kemudian menulis:
فيقول العبد القاصر النازل عن مرتبة الإنسان الكامل لما عوّقه وأقعده وسكّته وأبرده محمد بن علان الصديقي الشافعي سبط آل الحسن الشاذلي مشربا
(Maka berkatalah seorang hamba yang penuh kekurangan, yang derajatnya belum sampai pada Insan Kamil oleh sebab dosa-dosa, kekurangan dan kelalaian yang menjadi penghalang, yaitu Muhammad b. ‘Allân al-Shiddîqî al-Syâfi’î, cucu dari Syaikh Âl al-Hasan, seorang yang mengikuti masyrab Tarekat Syadziliah).
Sebagaimana tertera dalam mukaddimah di atas, Syaikh Muhammad b. ‘Allân merupakan seorang ulama yang terafiliasi dengan fikih “madzhab” Syafi’i, juga tasawuf “masyrab” Syadizi (nibat kepada Syaikh Abû al-Hasan al-Syâdzilî, w. 1258). Selanjutnya, Syaikh Muhammad b. ‘Allân menjelaskan sebab dikarangnya risalah ini. Beliau menulis:
ومن جملة الأسباب لرقمه في هذا الكتاب سؤال عن عالي الجناب من ذاق رحيق العارفين المستطاب فأحبهم ومحب القوم الخاصة خاصة أولى الألباب وارد مناهل المعرفة (كاتائية) والمنبئ عن صدق إرادته ما ظهر على صفحات خطابه أبي المعالي أحمد بن العارف مالك المعالي والمعاني والمعارف أخينا بدر من العارف في الله أبي المفاخر عبد القادر صاحب بنتان عاملهما الله بالفيوض الحسان وأسبغ عليهما الخيرات والإحسان
(Di antara penyebab dari ditulisnya kitab ini adalah datangnya sebuah pertanyaan dari seorang pemilik kedudukan yang tinggi, seorang yang telah mencicipi minuman suci para Arif Billah, yang aku mencintainya, dan ia pun dicintai oleh kaumnya, seorang yang menjadi penghulu para cerdik pandai, yang menjadi pengalir mata air ilmu pengetahuan, yang mengabarkan akan tulus kehendaknya, sebagaimana tersurat dalam surat-suratnya, yaitu [Pangeran Anom] Abû al-Ma’âlî ِ Ahmad, putra seorang Arif, Raja [Sultan] pemilik keluhuran, makna dan pengetahuan, saudaraku yang seumpama purnama dalam ilmu kemakrifatannya atas Allah SWT, yaitu [Sultan] Abû al-Mafâkhir sang penguasa Banten. Semoga Allah memperlakukan keduanya dengan luapan kebaikan, dan melimpahi keduanya dengan kebajikan).
Syaikh Muhammad b. ‘Allân kemudian melanjutkan:
فأجيب بسؤاله وأسعف بمناله وسمى الكتاب رفع الحجاب عن عرائيس الخمسة الأبواب
(Maka aku pun menjawab pertanyaan darinya, juga memenuhi harapannya dengan menulis kitab ini. Dan aku namakan kitab ini dengan “Raf’u al-Hijâb ‘an ‘Arâ’is al-Khamsah al-Abwâb)
Pertanyaan yang diajukan oleh Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad tersebut meliputi beberapa permasalahan keislaman yang berkembang di wilayah Kesultanan Banten. Di antara pertanyaan yang paling banyak disorot oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allân adalah seputar masalah konsep “insan kamil” (manusia sempurna) dalam wilayah kajian ilmu tasawuf sebagaimana yang dikembangkan oleh Syaikh ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 1424).
* * * * *
Kitab “Raf’u al-Hijâb” karya Syaikh Muhammad b. ‘Allân ini masih berupa naskah tua tulis tangan (manuskrip/makhthûth). Teks kitab ini terhimpun dalam bundel naskah-manuskrip bernomor kode Or. 5660 koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dalam kumpulan C. Snouck Hurgronje. Bundel manuskrip bernomor kode tersebut menghimpun beberapa buah teks (kitab) di dalamnya dalam bahasa Arab, Jawa Hanacaraka (Jawa aksara Jawa) dan Jawa Pegon (Jawa aksara Arab). Dalam naskah tersebut, teks kitab “Raf’u al-Hijâb” sendiri berada pada halaman ke-76 hingga 83.
Informasi awal mengenai keberadaan karya ini saya dapatkan dari kolega saya, Gus Nur Ahmad Nur Ahmad, alumni Universitas Leiden Belanda yang kini menjadi dosen di UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah. Saya belum mendapatkan informasi lanjutan kapan titimangsa karya “Raf’u al-Hijâb” ini “dikarang” oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allân. Kemungkinan besar antara tahun 1637/1638, tahun di mana Syaikh Muhammad b. ‘Allân juga mengarang kitab “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah” yang ditulis untuk menjawab pertanyaan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, ayah dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad.
Dalam beberapa bagian halaman yang lain, terdapat pula keterangan catatan kepemilikan dan penyalinan naskah. Sang penyalin sekaligus pemilik naskah teridentifikasi bernama “’Abdullâh al-Jâwî” (sebagaimana termaktub dalam halaman 29, 36, 49 dan 75).
Pada halaman 29 tertulis keterangan dalam bahasa Arab:
تمت النسخة المباركة على يد الفقير الحقير الذليل الطالب الى عفو الله عبد الله عفى الله له ولوالدين آمين
(Telah selesai menyalin naskah yang diberkahi ini oleh tangan seorang hamba yang fakir dan hina, seorang yang banyak dosa dan meminta pengampunan Allah, yaitu ‘Abdullâh. Semoga Allah mengampuninya serta kedua orang tuanya. Amin).
Pada halaman 36 tertulis keterangan dalam bahasa Arab:
تمت الكتاب بعون الملك الوهاب في يد الفقير الحقير الراجي الى رحمة الله عبد الله سعده الله سعدة أبدية
(Telah selesai menyalin kitab ini atas pertolongan Allah al-Malik al-Wahhâb, oleh tangan seorang yang fakir dan hina, yang mengharap kasih saying Allah, yaitu ‘Abdullâh. Semoga Allah membahagiakannya dengan kebahagiaan yang abadi).
Pada halaman 49 tertulis keterangan dalam bahasa Jawa Pegon:
علامات كتاب ايفون عبد الله
(Alamat kitabipun ‘Abdullâh [penanda yang memiliki kitab adalah ‘Abdullâh]).
Pada halaman 75 tertulis keterangan dalam bahasa Arab:
صاحب هذا الكتاب عبد الله رحمه الله تعالى عليه
(Pemilik kitab ini adalah ‘Abdullâh, semoga Allah Ta’ala menyayanginya).
* * * * *
Sosok bernama ‘Abdullah yang tertulis sebagai pemilik naskah sekaligus penyalin teks di atas dimungkinkan seorang ulama yang berasal dari Kesultanan Banten dan hidup di peralihan abad ke-17 dan 18 M. Jaringan keilmuan Syaikh ‘Abdullâh al-Jâwî juga terhubung dengan sosok Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî (w. 1690), seorang ulama sentral dunia Islam yang berkedudukan di Madinah dan berkarir di paruh kedua abad ke-17 M, atau satu generasi setelah Syaikh Muhammad b. ‘Allân.
Sebagaimana sosok Syaikh Muhammad b. ‘Allân (Makkah), sosok Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî juga memiliki banyak murid yang berasal dari Nusantara, di antaranya adalah Syaikh Abdul Rauf Singkel Aceh (w. 1693), Syaikh Yusuf Makassar-Banten (w. 1699), Syaikh Abdul Syakur Banten (w. ?), Syaikh Jamaluddin Minangkabau (w.?), Syaikh Muhammad b. Abdul Lathif Banten (w.?), Syaikh Shalih b. Abdul Mahmud Mataram-Jawa (w.?) dan lain-lain.
Pada halaman 20 naskah-manuskrip Or. 5660 ini, terdapat “taqyîdât al-qirâ’ah wa al-muqâbalah”, yaitu sebuah catatan keterangan jika sosok ‘Abdullâh al-Jâwî yang menjadi pemilik dan penyalin naskah ini telah selesai menyalin teks kitab berjudul “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” karya Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî lalu membacakannya di hadapan salah satu murid Syaikh Ibrâhîm al-Kûrâni (sayangnya tidak disebutkan namanya, tetapi kemungkinan besar berasal dari Nusantara). Murid dari Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî (anonymous) tersebut kemudian men-“tashhîh” (verifikasi) kebenaran apa yang telah disalin dan dibaca oleh ‘Abdullâh al-Jâwî.
Titimangsa “taqyîdât” ini termaktub pada tanggal 13 Jumadil Awal tahun 1105 Hijri (bertepatan dengan 10 januari 1694 Masehi). Tertulis keterangan di sana:
بلغ مقابلة على قدر طافتنا يوم الإثنين 13 في شهر جمادي الأول سنة 1105 قرأ علينا عبد الله الجاوي عفى الله عنه وغفر له ولوالديه وأجزت له روايته على أهله ببركة سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين وشيخنا وأستاذنا الشيخ إبراهيم بن حسن الكردي الكوراني الشهراني الشهرزوري ثم المدني نفعنا الله تعالى بعلومه آمين يا رب العالمين
(Telah selesai menyalin dengan sebatas kemampuan, pada hari Senin 13 di bulan Jumail Awwal tahun 1105 [Hijri]. Telah membaca kitab ini di hadapan kami, ‘Abdullâh al-Jâwî, semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tuanya. Aku juga telah memberinya ijazah kepadanya akan periwayatan kitab ini atas ahlinya, dengan berkah junjungan nabi kita Muhammad SAW, juga keluarga dan sahabatnya semua, juga dengan berkah guru kami dan ustadz kami Syaikh Ibrâhîm b. Hasan al-Kurdî al-Kûranî al-Syahrânî al-Syahrazûrî tsumma al-Madanî. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua kemanfaatan dengan ilmu-ilmunya. Âmîn yâ Rabb al-‘Âlamîn).
Abad ke-17 tampaknya menjadi puncak masa kejayaan dalam sejarah Kesultanan Banten. Di masa tersebut, Banten telah menjalin kontak hubungan diplomatik dengan negara-negara besar di Eropa dan Timur Tengah. Di masa tersebut pula, Kesultanan Banten menjadi salah satu episentrum perkembangan pemikirian dan tradisi keilmuan Islam di Nusantara yang penting, selain banyak memiliki sejumlah ulama besar yang terhubung dengan jaringan intelektual yang kosmopolit yang menghubungkan wilayah Nusantara dengan dunia Islam secara lebih luas. Wallahu A’lam. []
Buitenzorg, Ramadan 1442 Hijri/Mei 2021 Masehi
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban