Aksi Teror: Jihad atau Upaya “Pembunuhan” Tuhan?
Terorisme merupakan momok publik: keberadaannya selalu dikutuk oleh khalayak ramai. Di mana aksi teror terjadi, di situ spirit kemanusiaan tercoreng. Kerugian secara finansial sudah pasti meski bisa saja di ganti, namun kerugian non finansial hingga kapanpun tak bisa tergantikan oleh pelaku aksi teror seperti; korban yang meninggal, cacat fisik, trauma, dan semacamnya.
Baru-baru ini kita lagi-lagi digemparkan oleh kasus genosida. Ledakan bom yang terjadi di tiga gereja di Surabaya pada tanggal 13 mei, menelan korban 10 tewas, dan 41 mengalami luka-luka, terpaksa harus melakukan perawatan. Bom juga meledak di depan kantor Mako Polrestabes keesokan harinya, senin 14 Mei 2018.
Sejauh rentang tahun 2000 hingga sekarang, tercatat berbagai aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia. Tragedi ledakan bom Bali tahun 2002 merupakan pelanggaran kemanusiaan teroris terbesar yang pernah terjadi Indonesia. Akibat ulah manusia tak bertanggung jawab tersebut, orang-orang tak bersalah juga jadi korban: mati sia-sia.
Kita juga tentu masih ingat akan tragedi ledakan bom yang terjadi di Plaza Sarinah, Jakarta 14 Januari 2016 silam. Sebuah tragedi kemanusiaan yang juga menelan korban 34 warga sipil tak bersalah. Hal itu menggaduhkan ketentraman ibu kota, Jakarta, bahkan resonansi kegaduhannya menyebar keseluruh arteri masyarakat dalam skala nasional kala itu.
Dengan alasan apapun, aksi teror (genosida) merupakan pelanggaran kemanusiaan. Apalagi sejak setelah dunia Internasional mendeklarasaikan Hak Asasi Manusia (HAM) pasca perang dunia ke dua, yakni tahun 1948. Sebagai hak dasariah manusia, menuntut agar tak dilanggar oleh orang lain, seperti; hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kedamian dan keamanan.
Kaum agamawan tidak pernah mengamini bahwa perilaku terorisme merupakan dogma yang absah. Disetiap agama yang ada di bumi, mengklaim dirinya sebagai pembawa risalah/misi perdamaian dan pembebasan. Mereka pun sudah niscaya akan mengatakan bahwa ‘aksi terror merupakan perilaku biadab dan tiada berperikemanusiaan’. mereka sama-sama mengklaim bahwa agama mereka mengajarkan cinta kasih, rahmat pada sekalian alam.
Meskipun di sana sini ada beberapa sentilan, sering mengkait-kaitkan aksi teror dengan jihad fi sabilillah, tentu tidak memiliki landasan dasar yang kuat, melainkan sebatas klaim semata. Jihad sama sekali tidak identik dengan qital (membunuh). Apapun dalihnya, tindakan demikian tidak dapat dibenarkan, sebab bertentangan hakikat agama Islam itu sendiri, yaitu rahmatan lil alamin.
Praktik-praktik demikian sungguh cacat dipandang dari kacamata ‘etika kemanusiaan’ (ethics of humanity). Sebab, manusia tampil di dunia sebagai zoon politicon, dalam relasinya, manusia satu dengan yang lain saling membutuhkan, interdependensi. Harusnya, dalam proses progres kehidupan menekankan relasi mutual: ko-evolusi.
Keberadaan ‘Yang lain’ merupakan syarat adanya kehidupan. Sungguh nihil dan tidak mungkin kebutuhan manusia akan purna terpenuhi dari dirinya seorang. Oleh kerenanya, eksistensi ‘yang lain’ merupakan hal yang niscaya. Menafikan yang lain berarti menafikan kehidupan.
Melihat problem yang kian mewabah seperti itu, menarik kiranya kita kritik mengunakan kacamata “Wajah” menurut Immanuel Levinas. Salah satu pemikir Perancis tersebut, melihat hubungan relasi manusia antara ‘Saya’ (subyek) dangan ‘yang lain’ (the other) adalah hubungan ‘etis-asimetris’ (K. Berten, 2001).
Penampakan orang lain ia sebut ‘wajah’, yang bagi Levinas ‘wajah’ bukan dalam arti fisis dan psikis. ‘Wajah’ merupakan ejawantah transendental dan tak dapat direduksi oleh ‘saya’ (tak terbatas- inifinty): ‘Yang lain’, adalah ‘lain’ sama sekali. Transendensi dan ketakterbatasan signifikasi ‘wajah’ inilah yang membuat pertemuan ‘saya’ dengan orang lain menjadi sebuah momen yang etis (Hidya Tjaya, 2011).
Sebagai kritik fonomenologi Husserl, yang menekan “biarlah ‘objek-objek intensional’ menampakan diri kepada kesadaran untuk memenungkinkan adanya analisa”, bagi Levinas, menganalisa fenomena ‘wajah’ (the face – le visage) sebagai objek yang menampakan diri dihadapan ‘saya’, merupakan hal yang tak bisa dilakukan.
Itulah sebabnya, ia berpendapat bahwa ‘wajah’ merupakan “cara dimana ‘Yang Lain’ (I’Autre) memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan mengenai yang lain dalam diri saya. Artinya, pemunculan ‘wajah’ dalam kasus tesebut nyata, bahwa ia merupakan penampakan yang melampaui saya untuk menilai, memahami, dan mentematisasinya” (Hidya Tjaya, 2011).
Selain itu, meski Levinas sangat dipengaruhi oleh Heidegger, namun Heidegger juga tidak bisa bebas dari kritik pedasnya. Bagi Levinas, proyek ontologi fundamentalnya Heidegger pada dasarnya hanya mementingkan ‘Being’ daripada manusia. Sebab, “menentukan prioritas ‘Mengada’ atas ‘pengada’ memutuskan essensi filsafat, yakni menundukkan relasi dengan seseorang”. Pengada, yakni orang lain itu sendiri adalah keberadaan yang signifikan.
Konsep demikian berputar seratus 180 derajat. Sangat bertolak belakang. ‘Wajah’ yang menampakan kepada ‘saya’ adalah dalam posisi telanjang, seperti seorang janda dan anak yatim, menurutnya. Oleh karena demikian itu, bagi Levinas “menuntut ‘saya’ untuk menjaganya.”
Keberadaan yang lain bukan untuk ditundukan. Mereka menolak ditundukan. Hubungan ‘saya’ dengan ‘yang lain’ menuntut saya untuk berbuat agar dia aman. Keberadaan yang lain merupakan hal metafisis. Bagi Levinas, justru yang metafisis lebih penting dari yang ontologis. Dengan demikian ‘orang lain’ lebih penting dari sekedar ontologi “being”.
Titik tolak filsafat modern Barat menekankan ‘diri’ (ego) sebagai puncak (pusat) kesadaran. Hal ini mendapat pijakan kuat sejak digaungkan oleh Descartes cogito ergo sum (aku menyadari maka aku ada). Tidak dipungkiri yang demikian menjadikan konsep ‘egologi’ (K. Bertens, 2001). Sehingga posisi yang demikian memunculkan totalitas dan menganyampingkan keberadaan ‘yang lain’.
Oleh sebab eksistensi ‘yang lain’ bukan merupakan wujud sebuah ‘ego lain’ (elter ego), bagi Levinas, dengan penampakan wajah yang lain, pada saat itu dia telah meruntuhkan ‘egoisme saya’, sebab yang lain adalah orang asing (I’tranger). Karena ‘tersandera’ katanya, ketika ini muncul respon saya, dengan bertanggung jawab menjaganya. Oleh sebab itu, dia mengatakan respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, maka aku ada) merupakan kesadaran yang sebenarnya dari sebuah kesadaran yang sebatas lahir dari cogito ergo sum (aku menyadari maka aku ada).
Sebagai pribadi Yahudi yang shaleh, Levinas memiliki cara pandang tentang relasi dengan yang lain tampil unik. Hubungan interkasi atau wajah yang menampakkan diri pada saya merupakan seuatu yang ‘tak berhingga’. ‘Wajah’ itu merupakan manifestasi tuhan, bagi Levinas. ‘Saya’ mengahadapi yang lain sama sekali yaitu Tuhan (K. Bertens, 2001).
Oleh karenanya, mengganggu ‘yang lain’, ketika kita menggunakan pijakan Levinas dapat dibilang mengganggu menifestasi tuhan yang muncul kepada saya (subjek). Atau bahkan aksi teror membunuh yang lain, sama halnya membunuh tuhan (secara tersirat). Karena bagi Levinas dengan kemunculan/penampakan ‘yang lain’ merupakan kebaikan tuhan terhadap saya memunculkan diri. Lantas, dengan demikian saya harus berbuat etis dengannya. Tanpa harus berharap-meminta ia berbuat sama kepada saya (asimetris). Wallahu a’lam bi shawab.