Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang Memenjarakan Ulama
Ada orang baik yang berubah menjadi jahat ketika memegang kekuasaan. Ada pula orang yang selama memegang kekuasaan berhimpun pada dirinya sisi baik dan buruk sekaligus. Bagaimana sejarah menilai sosok seorang Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua Abbasiyah, dalam konteks baik-buruk ini?
Pada hakikatnya manusia cenderung mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun. Itu pula sebabnya, belajar dari sejarah masa lalu kita sadar bahwa kekuasaan—atas nama agama sekalipun—harus tetap diawasi dengan efektif. Jika tidak, perselingkuhan agama dan politik akan menimbulkan paradoks mengenai mana yang baik dan buruk.
Mari kita simak kisah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, yang aslinya bernama Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, dalam lanjutan mengaji sejarah politik Islam. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Ja’far al-Manshur. Imam Suyuthi mendeskripsikan karakternya:
وكان فحل بني العباس هيبة وشجاعة وحزمًا ورأيًا وجبروتًا، جماعًا للمال، تاركًا اللهو واللعب، كامل العقل، جيد المشاركة في العلم والأدب، فقيه النفس، قتل خلقًا كثيرًا حتى استقام ملكه، وهو الذي ضرب أبا حنيفة -رحمه الله- على القضاء، ثم سجنه، فمات بعد أيام، وقيل: إنه قتله بالسم لكونه أفتى بالخروج عليه، وكان فصيحًا بليغًا، مفوّهًا، خليقًا للإمارة، وكان غاية في الحرص والبخل، فلقب: أبا الدوانيق، لمحاسبته العمال والصناع على الدوانيق والحبات.
“Dia orang yang terpandang, kharismatik, pemberani dan punya tekad yang kuat, pengumpul harta, meninggalkan senda gurau dan permainan, sempurna akalnya, terlibat aktif dalam hal ilmu dan adab, memahami soal kejiwaan. Namun, dalam rangka menegakkan kekuasaanya, dia telah melakukan pembunuhan yang amat banyak. Dia pula yang mencambuk Imam Abu Hanifah rahimahullah ketika menolak diangkat menjadi hakim, memenjarakannya hingga wafat di penjara. Dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah wafat karena diracun akibat telah berfatwa membolehkan memberontak melawan Abu Ja’far al-Manshur. Ucapan al-Manshur fasih, seorang orator yang mempesona dan inspiratif, dan sangat berhati-hati, dan juga terkenal kikir. Gelarnya Abu ad-Dawaniq karena menghitung harta sampai hal-hal yang paling kecil.”
Dari deskripsi di atas saja kita bisa merasakan Al-Manshur ini sosok yang kontroversial dan terlihat paradoks. Paradoks pertama, soal ilmu dan perlakuannya terhadap ulama. Misalnya, sejarah mengabarkan bahwa dia sangat mencintai ilmu. Gerakan penerjemahan kitab-kitab asing ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan pada masanya. Kalau ulama pada masa Dinasti Umayyah lebih sering menyebarkan ilmu secara verbal, pada masa Al-Manshur ini para ulama didukung untuk menuliskan kitabnya agar penyebaran pengetahuan semakin luas.
Abu Ja’far al-Manshur adalah pemimpin negara yang pertama kali meminta Imam Malik untuk menjadikan kitabnya, al-Muwattha’, sebagai panduan resmi negara. Ini indikasi kuat kepedulian sang Khalifah akan ilmu pengetahuan. Namun, Imam Malik menolak permintaan tersebut dengan alasan Islam telah berkembang sedemikian rupa ke wilayah di luar Arab dan masing-masing imam telah memiliki pendapat sendiri yang boleh jadi akan berbeda pandangan dengan isi kitab al-Muwattha’. Imam Malik menolak kitab dan pendapatnya menjadi standar kebenaran oleh negara.
Belakangan, menurut Imam Suyuthi, Imam Malik mengeluarkan fatwa bahwa boleh keluar memberontak terhadap al-Manshur mengingat kekejaman yang dilakukannya. Gubernur Madinah kemudian menangkap dan mencambuk Imam Malik akibat fatwa itu. Seperti sudah disebutkan di atas tindakan Khalifah al-Manshur kepada Imam Abu Hanifah. Kekejaman terhadap ulama tidak berhenti pada dua nama besar Imam Mazhab ini, tapi juga menimpa ulama lainnya, yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Abbad bin Katsir—yang pertama seorang ahli fiqh ternama, dan yang kedua seorang perawi hadits.
Hampir saja keduanya menemui ajal saat Abu Ja’far al-Manshur menunaikan ibadah haji. Namun, Sufyan dan Abbad selamat, meski sudah dimasukkan dalam penjara dan menunggu waktu eksekusi. Kata Imam Suyuthi:
وتخوف الناس أن يقتلهما المنصور إذا ورد الحج، فلم يوصله الله مكة سالِمًا، بل قدم مريضًا ومات، وكفاهما الله شره،
“Orang-orang telah khawatir bahwa Abu Ja’far al-Manshur akan membunuh kedua ulama itu saat menunaikan haji, namun Allah tidak memberi kesempatan khalifah sampai di Mekkah dengan selamat. Dalam perjalanan dia sakit dan wafat. Allah telah mencegah kekejamannya terhadap kedua ulama itu.”
Paradoks kedua, soal kekuasaan. Ada dua jenderal yang sangat berjasa merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah dan pada kilauan pedang kedua jenderal inilah kekuasaan Dinasti Abbasiyah dapat tegak berdiri. Jenderal pertama bernama Abdullah bin Ali, paman sang Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Jasanya jelas: pasukan Abdullah bin Ali yang mengalahkan pasukan Marwan, khalifah terakhir Umayyah.
Jenderal kedua bernama Abu Muslim al-Khurasani. Dialah jenderal yang memulai pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah hingga tegaknya Abbasiyah. Abu Muslim juga mengejar dan membantai keluarga Umayyah demi mengamankan kekuasaan as-Saffah, khalifah pertama Abbasiyah.
Abdullah bin Ali tidak bisa menerima kenyataan bahwa al-Manshur yang diangkat sebagai khalifah menggantikan as-Saffah. Abdullah menganggap as-Saffah pernah berjanji menjadikannya sebagai khalifah berikutnya. Abdullah lantas memberontak kepada Khalifah al-Manshur dan mulai menerima bai’at dari pasukannya di Syiria sebagai khalifah.
Al-Manshur dengan cerdik mengirim Jenderal Abu Muslim menghadapi pemberontakan Abdullah bin Ali. Kedua jenderal bertempur. Pemberontakan itu mampu dipadamkan oleh Abu Muslim. Abdullah lantas pergi berlindung di kota lain, dan belakangan wafat dibunuh pada usia 52 tahun. Bagaimana nasib Abu Muslim? Al-Manshur yang khawatir dengan popularitas sang jenderal mengundangnya datang menghadap. Lantas, Abu Muslim, 37 tahun, dibunuh di istana dan mayatnya dibuang ke sungai Tigris.
Revolusi memakan anaknya sendiri. Kedua jenderal yang berjasa besar malah dihabisi dengan keji oleh al-Manshur. Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya menjelaskan dengan detail kisah tragis kedua jenderal ini.
Di sisi lain, dalam dua puluh dua tahun kekuasaannya, al-Manshur telah melebarkan pengaruh Islam ke penjuru dunia. Al-Manshur pulalah yang mendirikan kota Baghdad, yang kemudian menjadi salah satu pusat peradaban Islam. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaanya kecuali Andalusia, di mana salah satu keturunan Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri yaitu Abdurrahman bin Mu’awiyah meneruskan kekhalifahan kecil Umayyah di Andalusia. Jadi, sebenarnya saat itu sudah ada dua khalifah dalam tubuh umat Islam.
Namun, selain memikirkan umat, Al-Manshur juga memikirkan kekuasaannya sendiri. Dia mencopot keponakannya, Isa bin Musa, dalam jalur suksesi. Wasiat dari Khalifah As-Saffah sebelumnya telah mengangkat Al-Manshur dan Isa dalam satu paket. Namun Isa, yang berjasa memadamkan pemberontakan Syi’ah yang dipimpin Muhammad an-Nafs az-Zakiyyah, malah dicopot sebagai putra mahkota dan digantikan oleh Al-Mahdi, anak Khalifah al-Manshur. Garis kekuasaan khilafah berdasar turun temurun kembali.
Terakhir, kekuasaan Al-Manshur juga tidak lepas dari penggunaan riwayat hadits sebagai alat legitimasi kekuasaan yang paling efektif. Dakam tulisan sebelumnya, As-Saffah (Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah, telah saya ceritakan bagaimana munculnya sejumlah riwayat hadits yang dijadilan alat legitimasi. Hal ini masih terus berlanjut pada masa Al-Manshur.
Misalnya Al-Khatib dalam kitab Tarikh-nya meriwayatkan dari Dhahhak, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah:
أخرج الخطيب عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: “منا السفاح، ومنا المنصور، ومنا المهدي
“Dari keluarga kami ada as-Saffah, al-Manshur dan al-Mahdi”
Tentu mengherankan bagaimana Rasulullah menyebut dengan persis ketiga nama Khalifah Abbasiyah secara berurutan, padahal ada jarak lebih seratus tahun. Imam Dzahabi mengatakan sanad riwayat ini munkar dan munqathi’ (terputus).
Namun, riwayat senada juga dicantumkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak-nya (Hadits nomor 8615), dan beliau mengklaim sanadnya sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, hanya saja tidak dikeluarkan oleh kedua kitab shahih tersebut. Imam Dzahabi membantahnya: “dimana shahihnya? Salah satu perawinya, Ismail bin Ibrahim, itu lemah” (Talkhis al-Mustadrak 4/514).
Penyebutan ketiga nama khalifah Abbasiyah sebagai “minna” (termasuk dari keluarga kami) merupakan alat legitimasi untuk menegaskan bahwa Dinasti Abbasiyah ini berasal dari keluarga Nabi, meski tepatnya mereka keturunan Abbas, paman Nabi, bukan keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Tapi, ya itulah politik!
Abu Ja’far al-Manshur wafat dalam usia 61 tahun pada 7 Oktober tahun 775 Masehi dalam perjalanan menuju Mekkah dan dikuburkan secara rahasia dengan membuat 100 kuburan yang berbeda. Ini dikarenakan kekhawatiran akan terjadi balas dendam, ketika sebelumnya Dinasti Abbasiyah membongkar kuburan para khalifah Dinasti Umayyah dan menghancurkan apa yang tersisa. Ah, sampai di dalam kubur pun para khalifah itu tidak tenang dan aman rupanya!
Sumber : Geotimes