Bahtsul Masail Polemik Otonomi Khusus DKJ & Poros Maritim Berbasis Industri
Polemik Otonomi Khusus Pemerintah Jakarta Dan Proyek Segitiga Rebana (Sail: Lembaga Adat Keraton Galuh Pakuan)
Deskripsi Masalah
Undang-undang Daerah Khusus Jakarta berpotensi menimbulkan kontroversi baru, di antaranya terkait wacana pemberian kewenangan kepada Presiden untuk menunjuk Gubernur dan masalah kerja sama dengan kawasan sekitarnya.
Memaksakan Jakarta (setelah tidak menjadi Ibu Kota) masuk dalam wilayah-wilayah kota yang otonom sangat mungkin menimbulkan banyak masalah baik sosial maupun ekonomi karena beberapa faktor. Pertama, faktor hukum, pemberian kekhususan otonomi untuk Provinsi DKI Jakarta adalah faktor hukum dan administrasi pemerintahan karena kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI, bukan karena faktor politis. Kedua, faktor historis bahwa Sampai dengan tahun 1959 kota Jakarta masih termasuk dalam Provinsi Jawa Barat sebagai kotapraja dengan pimpinannya seorang Walikota. Kekhususan Provinsi DKI Jakarta dimulai sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pembentukan “Pemerintahan Daerah Chusus Ibu kota Djakarta Raya”.
Dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota NKRI disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten dengan mengikutsertakan pemerintah kota/kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, serta saling menguntungkan.
Selama ini sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat merupakan penyanggah Ibu Kota Negara, akan tetapi beberapa kawasan tersebut belum mendapatkan pemerataan pembangunan sebagaimana subtansi isi UU diatas.
Jawa Barat merupakan provinsi penyangga ibu kota. Namun, sebagai daerah penyangga, tidak berarti kue pembangunan juga banyak dinikmati pemerintah Jawa Barat. Bahkan berbagai proyek strategis nasional tidak banyak dibangun di tatar sunda.
“Meskipun dekat dengan ibu kota tapi tidak menjamin kue pembangunan berlimpah ke Jawa Barat, kadang terlewati, lewat terus tidak berhenti di Jawa Barat,” tutur Uu Ruzhanul Ulum.
Pemerintah pusat banyak memiliki program skala nasional. Namun proyek tersebut tidak di Jawa Barat. Padahal Jawa Barat memiliki jumlah penduduk dan penyumbang terbesar terhadap ekonomi nasional.
“Jabar ini penyumbang ekonomi besar, industri besar banyak di Jabar, ekspor juga banyak dari Jabar. Tapi ya mungkin ini nasib dari Jawa Barat,” kata dia.
Polemik seperti di atas akan tetap ada meskipun Jakarta sudah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Karena salah satu muatan materi RUU DKJ terkait kawasan aglomerasi terus menuai sorotan publik. Berdasarkan Pasal 51 RUU DKJ, kawasan aglomerasi mencakup wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. Artinya meskipun Ibu Kota sudah dipindaahkan ke IKN, Jawa Barat akan tetap menjadi penyannggah Jakarta sebagai daerah Khusus dan ini akan terus menjadi polemik khususnya bagi Provinsi yang berbatasan langsung dengan jakarta.
Kedepan, problem yang akan dihadapi Provinsi Jawa Barat sangat komplek. Tidak hanya akan selalu menjadi objek Daerah Khusus Jakarta saja, akan tetapi proyek strategis pemerintah yang akan menjadikan Kawasan Segitiga Rebana juga menarik untuk dikaji lebih dalam.
Kawasan Segitiga Rebana menjadi salah satu program yang tengah disiapkan pemerintah demi mendorong kemajuan ekonomi Provinsi Jawa Barat.
Dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 14 tahun 2023 tentang rencana aksi pengembangan Kawasan Rebana tahun 2020-2030, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Nomor 6. Yang dimaksud dengan Kawasan Rebana adalah kawasan perkotaan inti dan kawasan perkotaan sekitamya di Daerah Kabupaten Cirebon, Daerah Kabupaten Subang, Daerah Kabupaten Majalengka, Daerah Kabupaten Indramayu, Daerah Kabupaten Sumedang, Daerah Kabupaten Kuningan, dan Daerah Kota Cirebon, yang memiliki keterkaitan fungsional dan berbasis aglomerasi kegiatan ekonomi, aglomerasi aktivitas sosial masyarakat, aglomerasi lahan terbangun, dan aglomerasi penduduk.
Dalam Forum West Java Investment Summit (WJIS) 2020 di Kota Bandung, kang Emil, mengatakan, di Rebana akan dibangun 13 kota metropolitan dalam 10 tahun ke depan. Salah satu dari 13 kota baru yang akan dimulai adalah Subang Smartpolitan yang diinisiasi oleh PT Suryacipta Swadaya. “Jabar adalah backbone dari ekonomi koridor Jawa. Kota Subang Smartpolitan dengan luas 2.700 hektar. Akan ada konstruksi di lapangan minggu ini. Ekonomi sudah bergerak dan ini jadi harapan kita,” tutur Emil, Gubernur Jawa Barat.
Percepatan pembangunan pusat ekonomi baru kawasan segitiga rebana ini sudah di putuskan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 tahun 2021 tentang percepatan pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat bagian Selatan Pasal 1, yang isinya adalah Dalam rangka penyediaan infrastruktur dan peningkatan Investasi yang berdampak pada perekonomian regional dan Nasional, dilakukan percepatan pembangunan di Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat bagian selatan. Dengan keluarnya Perpres Nomor 87 Tahun 2021 tersebut, akan menjadi pedoman bagi gubernur dan bupati/wali kota untuk penyusunan kebijakan percepatan pembangunan kawasan Rebana pada tingkat Provinsi dan Kabupaten.
SebagailangkahawaluntukmengembangkanKawasanSegitigaRebana,pemerintahsudahmembuat pintu gerbang dengan mengesahkan peraturan tentang Bandara Kertajati di Majalengka dan pelabuhan Patimban yang berlokasi di Kabupaten Subang.
PemerintahmelaluiPeraturanMentriPerhubungantentangpenetapanlokasiBandaraUdaradi Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat memutuskan dalam pasal 2,bahwa Luas rencana kebutuhan lahan untuk pembangunan bandara udara di Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka sebagaimana dimaksud dalam pasal satu seluas kurang lebih 1800Ha yang selanjutnya ditentukan lebih rinci berdasarkan rencana induk bandara udara di kabupaten majalengka.
Sedangkan dalam Keputusan Mentri Perhubungan Republik Indonesia nomor KP.87 tahun 2007 tentang rencana induk pelabuhan Patimban Provinsi Jawa Barat menyatakan untuk menyelenggarakan kegiatan kepelabuhan pada pelabuhan patimban yang meliputi pelayanan jasa kepelabuhanan, pelaksanaan kegiatan ekonomi dan pemerintahan lainnya serta pengembangannya sesuai rencana induk pelabuhan patimban dibutuhkan areal daratan seluas 686.33 Ha dan areal perairan seluas 25.756.05 Ha meliputi:
Areal daratan eksisting pelabuhan patimban seluas 0.74 Ha dan areal daratan pengembangan pelabuhan patimban seluas 685.58 Ha.
Areal perairan terdiri atas :
Areal tempat sandar seluas 141.3 Ha
Areal kolam putar seluas 11.42 Ha
Areal tempat labuh seluas 858 Ha
Areal alur pelayaran seluas 2.462.85 Ha
Areal penempatan kapal mati seluas 108 Ha
Areal keperluan keadaan darurat seluas 108 Ha
Areal pengembangan jangka panjang seluas 256 Ha
Areal karantina seluas 184 Ha
Areal penunjang keslamatan pelayaran seluas 21.626.48 Ha.
Pemerintah memandang perlu adanya peningkatan kapasitas pelayanan pelabuhan di wilayah Jawa Barat, karena pelabuhan yang ada selama ini dipandang sudah terlalu penuh.
Atas dasar pertimbangan itu, Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 Mei 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2016 tentang Penetapan Pelabuhan Patimban, di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Sebagai Proyek Strategis Nasional.
Dalam perpres tersebut diputuskan pada pasal 1 bahwa Pelabuhan Patimban yang berlokasi di Desa Patimban, Kecamatan Pusakanegara, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Sedangkan dalam pasal 2 berbunyi Penyelenggaraan Pelabuhan Patimban sebagai proyek strategis nasional itu, menurut Perpres ini, meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan pengusahaan, pembinaan teknis dan pembinaan manajemen pengoperasian pelabuhan serta pembinaan untuk menjamin keselamatan pelayaran dan lingkungan.
Sebenarnya dengan adanya Perpres Nomor 87 Tahun 2021 dan Pergub Nomor 14 Tahun 2023 tentang pengembangan Kawasan Segitiga Rebana yang dimulai dengan pembangunan pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati atau yang lebih dikenal dengan bandara Internasional jawa Barat (BIJB) tersebut terdapat dampak positif maupun negatif bagi masyarakat baik dari sisi sosial maupun ekonominya.
Dilihat dari dampak positifnya percepatan ekonomi dan kebutuhan manusia akan tercukupi melaui sektor lain. Sementara dari dampak negatif yang ditimbulkannya ialah masarakat secara otomatis beralih profesi karena tanah atau lahan yang mereka biasa beraktivitas dalam mencari ekonomi kini menjadi lahan pembangunan pelabuhan patimban dan BJIB.
Salah satu dampak sosial yang akan timbul akibat proses alih fungsi lahan tambak dan petanian untuk pembangunan pelabuhan pantmban dan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan BJIB adalah keberlanjutan mata pencaharian para nelayan dan petani. Selain itu juga berdampak akan hilangnya kesempatan kerja nelayan dan petani, berkurangnya produksi padi dan ikan yang brakibat hilangnya sebagian bahkan seluruh pendapatan para nelayan dan petani didaerah tersebut.
Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Padjajaran (Unpad) Profesor Yayan Satyakti, pengembangan kawasan segitiga Rebana kemungkinan akan menggerus terhadap produktivitas ketahanan pangan jika tidak ada perencanaan matang. Dia mengungkapkan, berdasarkan pemetaan satuan-satuan wilayah konsep kawasan industri Segitiga Rebana akan memakan total 52 juta hektar lahan. Sehingga akan ada puluhan juta ton padi hilang.
’’ Ini harus dipikirkan bagaimana mengatasinya. Kita harus memberikan kompensasi akibat dampak dari pembangunan industri. Sehingga kebutuhan pangan di wilayah segitiga Rebana tidak hilang dengan mengusung konsep ecoindustri,’’ Kata Yayan dalam acara seminar belum lama ini. Sedangkan ketika dilihat dari aspek budaya, alih fungsi lahan tesebut diperkirakan akan menimbulkan perubahan nilai-nilai serta pola hidup pada masyarakat tersebut.
Selain itu, ketika kawasan segitiga Rebana menjadi pintu gerbang nasional dan internasional dengan hadirnya Patimban dan BIJB Maka akan memberikan dampak negatif yang mengarah terhadap perubahan kultur, karena akan terjadi percampuran masyarakat dari awalnya homogen ke heterogen. Hal ini disebabkan banyaknya pendatang atau investor yang akan mempengaruhi kebudayaan di wilayah itu sendiri.
Pertanyaan:
Apakah kebijakan pemerintah tentang pengembangan Kawasan Segitiga Rebana yang tertuang dalam Perpres Nomor 87 tahun 2021 sudah sesuai dengan prinsip syari’at?
Jawaban:
Secara prinsip, pemerintah diperbolehkan melaksanakan program pengembangan kawasan industri sebagai bentuk kewenangannya atas wilayah yang dikuasainya dengan berdasarkan pada kemaslahatan.
Namun demikian pemerintah wajib memperhatikan beberapa ketentuan dan persyaratan sebagai berikut:
Proyek Segitiga Rebana keuntungannya dapat dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat Jawa Barat, bukan sebagai ajang memperkaya segelintir konglomerat.
Memprioritaskan potensi SDM lokal dalam pembangunan dan pengembangan Kawasan Segitiga Rebana.
Mengantisipasi dampak negatif secara maksimal pada lingkungan, budaya, agama, pendidikan dan sosial masyarakat sekitar.
Mengawal secara optimal distribusi CSR (corporate social responsibility) untuk kepentingan masyarakat lokal sesuai dengan amanat UU.
Dalam proses alih fungsi lahan masyarakat menjadi lahan industri , pemerintah harus memakai prinsip ganti rugi yang proporsional (layak dan adil) kepada pemilik lahan.
Menjaga stabilitas ketahanan pangan Nasional untuk menghindari impor. Jika ketentuan dan syarat di atas tidak tepenuhi maka hukumnya HARAM
REFERENSI | |
1. al-Asybah Wa an-Nadhoir, Juz 1 Hlm. 121 | 4.Qawaid al-Ahkam,Juz 2 Hlm 89 |
2. Adab ad-Dunya Wa al-Din, Hlm. 167 | 5. Hawasyi al-Syarwani, Juz 8 Hlm 43-44 |
3. al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubro, Juz 3 Hlm 336 | 6. dll |