Banser Versi Belakang Layar
Barisan Ansor Serbaguna (Banser) merupakan salah satu sayap kekuatan NU yang berada dalam organbisasi underbownya, Gerakan Pemuda Ansor. Banser, dalam perkembangannya, terus-menerus tumbuh dan silih berganti, seiring dengan pergeseran waktu dan perkembangan jaman.
Dalam suatu obrolan yang saya dengar, di ruang instruktur Banser dalam Kursus Banser Lanjutan (Susbalan) di Purworejo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, ada beberap cerita yang diungkap oleh para instruktur, yaitu Banser-Banser senior yang telah terlatih.
“Tadi, TNI geleng-geleng melihat tekad dan semangat anak-anak Banser, setelah saya menjawab pertanyaan mereka tentang seluk-beluk acara,” kata salah satu di antaranya, membuka obrolan. Instruktur lain menyimak.
“Pak, personil-personil Banser ini mengikuti pelatihan selama beberapa hari, meninggalkan pekerjaan, keluarga dan istri. Untuk mengikuti kursus ini, mereka mencukupi kebutuhan selama keluarga ditinggalkan. Tidak hanya itu, mereka juga membayar pendaftaran, dan membeli perlengkapan sendiri. Sampai di acara, mereka juga mau ‘disiksa’ dengan beberapa materi lapangan berat yang Anda sampaikan,” jelasnya, kepada komandan serdadu TNI yang melatih Banser.
Sang komandan pun geleng-geleng kepala. Seakan ia takjub: apa motif di balik ini semua? Tentu bukan pangkat, jabatan, apalagi harta.
“Saya juga punya cerita menarik,” imbuh instruktur lain, masuk obrolan. “Dulu, di hari pertama Diklatsar, ada seorang purnawirawan TNI yang ingin mendaftar jadi Banser, tetapi ditangguhkan,” ungkapnya. Kurang lebih pembicaraannya seperti ini:
“Pak, saya pensiunan TNI. Saya ingin mengabdikan diri saya dan kemampuan saya untuk Banser NU. Saya mau ikut acara Diklatsar ini”
“Oh, iya Pak. Boleh sekali anda masuk Banser. Tetapi, tidak bisa hari ini. Pendaftaran sudah tutup beberapa hari yang lalu. Bapak ikut Diklat di zona selanjutnya saja, nanti kita kontak”
Cerita itu, kemudian disambar oleh instruktur lain.
“Kalau pensiunan TNI masuk Banser memang banyak, saya sering menemui di Diklatsar maupun Susbalan di berbagai kabupaten,” ketusnya, sambil mengangkat gelas bening berisi kopi. “Mereka rata-rata ingin mengabdikan diri di sisa-sisa umurnya, di dunia yang selama ini tak asing baginya: kemiliteran, kebelanegaraan dan khususnya keagamaan,” imbuhnya.
Obrolan santai itu masih berlanjut. Sepertinya masing-masing punya cerita dan pengalaman tersendiri.
“Saya juga pernah menemui seorang yang sudah kaya-raya, mapan, dan bahkan anaknya bekerja di BUMN, tetapi mau masuk Banser. Alasannya sederhana tapi berat pelaksanaannya: mau menghibahkan diri untuk kepentingan orang lain, bermanfaat bagi sesama, yang selama ini cenderung memikirkan ‘diri sendiri’ dan, maksimal, untuk keluarga,” kata seorang instruktur.
Ia mengambil nafas beberapa jenak, kemudian melanjutkan. “Tapi ada sedikit keanehan untuk Banser yang satu ini?,” terusnya.
“Keanehan seperti apa?” serobot, seseorang diantara kami, penasaran.
“Dia itu, di kegiatan NU maupun kebanseran, banyak membantu dan menyumbang dana untuk NU. Maklum, dia kaya raya. Tapi, kalau pas ndilalah diminta mengamankan pengajian dan ada uang transport, meskipun kecil untuk sekadar seliter-dua liter bensin, kalau dia tidak dikasih, dia marah,” tuturnya. Semua dari kami pun tertawa, sambil berpikir.
“Mungkin, meskipun bisyaroh-nya kecil, kalau bisyaroh hasil ngepam – istilah untuk Banser yang sedang bertugas – hasilnya beda: ada kepuasan dan keberkahan tersendiri,” kata salah satu dari kami, mencoba menafsiri.
Suasana di ruang itu begitu hangat, cair dan renyah dengan obrolan seputar NU khususnya Banser yang seakan tiada habisnya.
Saya sendiri, menyaksikan bagaimana Banser bekerja untuk NU dan bangsa. Tiap kali acara, khususnya acara-acara ke-NU-an, mereka senantiasa siap siapa berjaga, bahkan sampai fajar tiba. Mereka mengawak para kiai yang memasuki arena, di tengah ribuan jamaah yang menyerbu ingin semuanya bersalaman. Tak peduli panas terik matahari dan guyuran hujan, jika sudah tugas organisasi, mereka melaksanakan sepenuh hati. Mereka, selain penerus sejarah panjang Banser, Ansor, NU, Indonesia dan Islam, dengan segala dinamikanya, menjadi Banser adalah sebuah passion dan way of life. Banyak dari mereka yang bangga memakaikan seragam Banser kepada istrinya, anak kecilnya dan bahkan dikenakan ketika pernikahan tiba, salah satu moment terpenting dalam hidupnya.
Di usianya yang makin tua, dan dihadapkan pada berbagai tantangan kebangsaan seperti terorisme, disintegrasi bangsa, intoleransi antarumat beragama dan berbagai potensi konflik sosial, Banser terus memperbaiki diri dari hari ke hari. diklat-diklat terus dilakukan, untuk memperbaharui anggota, juga pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan SDM. Diklatsar khusus mahasiswa dan dosen muda pun terus gencar digelar.
Menjelang Harlah GP Ansor yang ke-83 semenjak 24 April 1934, jutaan anggota Banser menjadi semakin penting keberadaannya di Tanah Nusantara. Di Negara Pancasila: NKRI. Yah, mereka punya strategi, punya kekuatan dan punya semangat yang berapi-api. Banser bukan intelektual yang hanya duduk membaca, diskusi dan menulis di depan komputer. Mereka bukan profesor yang banyak menemukan teori. Mereka juga bukan politisi yang bicara tetek bengek persoalan negeri, yang beberapa diantaranya diam-diam korupsi. Banser ada ketika negeri ini dikoyak, agama dan ulama dihujat, yang tak hanya pandai bicara, tetapi siap mengalirkan darah dan nyawa.
Sumber : NU Online