Bisakah HTI Fair Play ?
Ayik Heriansyah
Fenomena HT di seluruh dunia sama. Kesamaannya yang menunjukkan bahwa HT seluruh dunia satu tubuh, satu struktur, satu pemikiran, satu perasaan dan satu Amir. Semangat korsa HT merupakan cerminan doktrin organisasi mereka yang berbunyi, kullun fikriyun syu’riyun (semua satu pemikiran dan perasaan). Hal ini dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang kesatuan khilafah yang secara ideal merupakan transformasi dari HT.
Apa yang dialami HTI (pembubaran) sudah lebih dulu dialami oleh senior-senior mereka di Arab, Maghribi, Asia Tengah, Asia Selatan dan Eropa. Tinggal HT Malaysia yang belum dibubarkan.
Jika dibandingkan senior-senior mereka, nasib HTI jauh lebih baik. Setelah dibubarkan mereka tetap bisa beraktivitas secara normal minus menggunakan nama HTI dan seruan Khilafah di ruang publik. Bandingkan dengan senior mereka di berbagai negeri Islam, setelah dinyatakan ilegal, praktis tidak bisa berdakwah karena harus sembunyi dari kejaran polisi. Yang tertangkap diseret ke pengadilan lalu divonis makar selanjutnya mendekam di penjara. Ada pula yang dieksekusi mati.
Menyadari dirinya berbahaya bagi negara dan merasa kurang percaya diri akan mendapat perlindungan umat karena kurang yakin dengan kekuatan dalil dan hujjah tentang Khilafah Tahririyah yang mereka usung, HT merancang sistem organisasinya sistem sel bertingkat dengan wewenang komando di tangan satu orang pada tiap jenjangnya. Jalur komando dan informasi satu pintu secara vertikal mirip pada institusi militer dan intelijen.
Sistem organisasi yang dibuat tertutup dan terbatas dalam rangka mengamankan keselamatan pengurus dan anggota HT dari penyusupan dan penangkapan. Keamanan dan keselamatan pengurus, yang utama.
Pada prinsipnya HTI menyembunyikan struktur organisasi, pengurus dan anggotanya. Bagi mereka lebih baik masyarakat tidak tahu siapa saja pengurus dan anggota HTI. Diusahakan sedikit mungkin pengurus dan anggota yang muncul ke publik.
Untuk membentengi hal tersebut HTI di sisi lain mempublis seluas-luasnya orang luar mereka yang jadi figur publik dan simpati dengan mereka. Tanpa menperhatikan aspek keamanan dan keselamatan figur publik itu, mereka terus membangun opini seolah-olah figur publik tersebut anggota HTI, padahal bukan. HTI mendapat keuntungan politik yaitu perjuangan HTI mendapat legitimasi publik yang jadi karpet merah bagi pengurus dan anggota HTI melakukan penetrasi lebih dalam ke masyarakat (dukhul mujtama’). Andaikata terjadi resistensi, HTI tetap aman dan selamat karena dipagari oleh figur publik tersebut.
Di sini HTI tidak fair. Bisa dikatakan licik. Mereka memanfaatkan orang luar HTI yang pro untuk membentengi diri dari orang luar yang kontra mereka. Figur publik tersebut tidak merasa ada yang salah karena dirinya bukan HTI seperti persepsi masyarakat yang kontra HTI. Singkat kata, akibat opini yang dibangun HTI yang mengidentikkan figur publik dengan HTI terjadi benturan sesama orang luar HTI. HTI sendiri tetap aman dan siap melaksanakan agenda dakwah mereka yang lain. Ini yang menimpa UBN dan UAS.
Pada level wacana khilafah, HTI juga menggunakan pola yang sama yaitu membangun opini umat sehingga timbul persepsi bahwa para ulama di dalam kitab-kitab turats sepakat akan wajibnya khilafah.
Sebenarnya asatidz HTI tahu bahwa maksud khilafah / imamah yang ada di kitab turats bukan khilafah yang HTI maksud dan perjuangkan. Asatidz HTI sengaja menonjolkan kata khilafah / imamah dari kitab turats untuk dikontraskan dengan NKRI. HTI hendak membentur khilafah dalam kitab turats dengan NKRI untuk mendelegitimasi dan mendekonstruksi makna NKRI. Diharapkan dari benturan wacana ini ada ruang bagi konsep kenegaraan selain NKRI yakni khilafah.
Untuk proses benturan pemikiran khilafah vs NKRI, HTI sengaja mengundang ulama orang luar HTI tapi simpatisan yang paham kitab turats sebagai pembicara. Selain jadi tameng, ulama yang diundang HTI tersebut tanpa disadari sesuai arahan HTI melakukan dekonstruksi atas makna NKRI. Otomatis membuka ruang wacana bagi HTI untuk memasukkan ide khilafahnya. Terjadi benturan antara orang luar HTI yang paham khilafah / imamah menurut kitab turats dengan orang luar HTI yang yakin NKRI ini sudah sesuai syariah.
Saat yang sama, HTI menyembunyikan khilafah versi mereka yang berdasarkan metode ijtihad Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. HTI juga menyembunyikan ambisi politik mereka menjadikan Amir Hizbut Tahrir sebagai khalifah plus pemberlakuan konstitusi susunan Amir mereka. HTI juga menyembunyikan upaya mereka menjalin hubungan gelap dengan militer untuk menegakkan khilafah dengan cara kudeta.
Kasus ketidakjujuran HTI dalam berwacana terjadi di acara Shilah Ukhuwah Islamiyah di Mojokerto dan Depok beberapa hari yang lalu. Mereka menggunakan nama Forum Ahlu Sunnah wal Jama’ah sebagai penyelenggara, mempertegas ketidakjujuran mereka. Dengan nama itu mereka hendak mengelabui jama’ah NU. Sayangnya nahdhiyin sekarang sudah tahu apa, siapa dan bagaimana HTI.