Catatan Pinggir Konferwil XVIII : Jurnalistik Era Pandemi
Pandemi pada akhirnya benar-benar membangun batasan dalam berinteraksi bagi siapa saja, termasuk jurnalis. Ketika bencana lain seperti banjir, gempa bumi, hingga tsunami, jurnalis relatif leluasa bergerak mengumpulkan data lapangan. Berbeda saat pandemi Covid-19 melanda, keleluasaan itu nyaris hilang sama sekali.
Beruntung saat ini bukan saat telepon genggam paling canggih pun baru bisa mengirimkan SMS. Teknologi saat ini memungkinkan jurnalis bertahan di titik nadir sambil mengadopsi protokol kesehatan yang ketat. Liputan media saat ini pun berubah drastis. Wawancara tatap muka berganti via telepon, media center bergeser di grup Whatsapp, konferensi pers diganti link Youtube atau media sosial yang mendukung live streaming, diskusi atau seminar berpindah ke ruang meeting online melalui Zoom dan sejenisnya.
Tentu hal sedramatis itu tidak selalu mudah, ada beragam tantangan yang dihadapi jurnalis. Tantangan utama tentu berusaha menjaga kualitas jurnalisme di tengah proses news gathering yang serba online. Di sisi lain, faktanya, pada saat dibutuhkan jurnalis tetap harus turun ke lapangan untuk melakukan konfirmasi data dan fakta. Apalagi media macam televisi. Tentu itu sebuah tantangan untuk mendayung di antara memburu berita, wabah dan alat pelindung tambahan seperti vaksin, swab, masker wajah, hand sanitizer, penyemprot desinfektan dan sarung tangan, dengan tetap mempertahankan protokol jarak sosial.
Pandemi memang telah mendisrupsi dunia jurnalistik, menyeret pelakunya melakukan lompatan teknologi dalam waktu singkat. Semoga pandemi segera berlalu, semoga.