Dari “Negative Thinking” Hingga Ekstremisme
Oleh: Muhammad Afthon Lubbi
Alkisah, seorang petani miskin di suatu desa kecil kehilangan satu-satunya kuda jantan kesayangan yang ia gunakan untuk membantu menggarap sawah miliknya. Dengan keadaan seperti itu, banyak pekerjaannya yang terhambat.
Para tetangga banyak yang iba atas musibah tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang mencibir dan ‘nyinyir’, menganggap bahwa petani tersebut mendapatkan kesialan.
Alih-alih tidak menanggapi komentar-komentar negatif tersebut, Pak Tani tetap terus melanjutkan pekerjaannya menggarap sawah. Ia hanya berpikir bahwa kehilangan tersebut mungkin saja sebuah kesialan atau juga bukan.
Selang beberapa hari, kuda kesayangannya kembali dari hutan dengan membawa kuda betina. Betapa bahagianya Pak Tani, selain mendapatkan kuda tambahan, ada kemungkinan kedua pasangan kuda tersebut akan beranak pinak menjadi banyak.
Beberapa bulan kemudian, petani miskin tertimpa musibah lagi. Anak laki-laki semata wayangnya jatuh dari kuda dan mengalami patah tulang kaki. Lagi-lagi, tetangganya berkomentar dengan nada sinis. Meski ada beberapa yang iba atas musibah tersebut.
Di saat kemalangan yang menimpa Pak Tani, tersiar berita dari Kerajaan bahwa setiap rakyat yang memiliki anak laki-laki wajib mengirimkannya untuk ikut perang. Alangkah bersyukurnya Pak Tani, ia tidak berpisah dengan anak kesayangannya karena tidak wajib mengirimkan putranya sebab patah tulang kaki.
Para tetangga mulai berubah pandangan, bahwa di setiap musibah yang menimpa Pak Tani, selalu ada hikmah yang mengikuti. Sejak saat itu, penduduk desa tersebut membiasakan selalu bersabar dan bersyukur atas segala kemalangan yang menimpa.
Kira-kira begitulah kekuatan “positive thinking”, tidak hanya membuat orang menjadi kuat dan sabar, tapi juga menghadirkan kebaikan-kebaikan bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Sebaliknya, “negative thinking” membuat orang selalu memandang buruk segala hal. Tidak hanya musibah, suatu kebaikan pun seringkali dilihat sisi negatifnya.
“Saya kesel deh sama bawahan saya, kerjanya selalu lambam”. “Wuhh! Hujan lagi! Ngeselin!!”. “Gurunya ngasih PR mulu, bete!!”. Demikian contoh kalimat manusia dalam menghadapi realita sehari-hari dengan sikap yang negatif.
Sebenarnya, dalam realita yang sama, dengan kacamata ‘Pak Tani’ di atas, kita bisa mengubah sikap dengan pandangan positif. “Alhamdulillah, bawahan saya bekerja dengan tekun, membutuhkan waktu yang lama”. “Hujan lagi, bisa kumpul dengan keluarga di rumah”. “Banyak PR dari Pak Guru, ayo belajar bareng sambil bikin rujak”.
Dalam tahap tertentu, pandangan negatif kita sehari-hari akan membawa kita kepada gangguan psikologis. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, sikap negatif bisa menghadirkan kebencian kepada hal-hal yang tidak sesuai dengan hasrat dan harapan.
“Ekonomi sulit, korupsi semakin merajalela, kejahatan dimana-mana, Indonesia akan hancur! Ganti Presiden! Ganti Demokrasi!!”. “Musibah dimana-mana. Salah SBY! Salah Jokowi!”. Kalimat-kalimat demikian biasanya disampaikan dengan emosi negatif tanpa kemampuan analisa yang baik.
Sebenarnya kalimat-kalimat di atas bisa diubah dengan kalimat positif. Misal, “Ekonomi sulit, korupsi semakin merajalela, kejahatan dimana-mana, Presiden harus lebih kuat dan bekerja keras! Demokrasi harus menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat!”. “Musibah dimana-mana, mari bersinergi dan bekerjasama membangun Bangsa!”.
Kalimat negatif yang diulang berkali-kali tidak hanya akan membentuk pribadi yang negatif, tapi juga bisa menyerang syaraf otak untuk berpikir. Dalam bahasa psikologi disebut “Neuro-Linguistic”. Maka untuk menyembuhkan gangguan psikologis ini, para ahli psikologi membuat “obat penawar” yang disebut “Reframing”. Yaitu salah satu tools NLP (Neuro-Linguistic Programming) yang digunakan untuk mengubah emosi negatif menjadi positif dengan mengubah sudut pandang. Seperti cara pandang “Pak Tani” di atas, yang selalu ber-positive thinking.
Kemiskinan dan keterpurukan umat Islam adalah masalah bagi masyarakat umum. Tidak hanya dalam umat Islam terdapat kemiskinan, di dalam umat agama lain juga terdapat kemiskinan dan keterpurukan. Maka perlu pemberdayaan ekonomi yang dilakukan bersama-sama. Perlu program dan kebijakan pemerintah yang baik. Perlu pemerataan ekonomi.
Konflik dan keretakan Umat Islam adalah konflik sosial yang dihadapi semua kelompok manusia di muka bumi. Perlu dialog, rekonsiliasi, ishlah, dan negosiasi untuk persatuan umat. Bukan perang pendapat apalagi perang fisik yang tidak akan menyelesaikan masalah.
Korupsi, maksiat, dan segala jenis kejahatan semakin merajalela dianggap karena tidak menegakkan hukum Allah, tidak mendirikan daulah Islamiyah, tidak menggunakan sistem khilafah dan menyalahkan sistem demokrasi yang dipilih para pendiri Bangsa sebagai sebuah konsensus bersama. Sistem demokrasi harus diganti total tanpa dialog, tanpa musyawarah, dan menafikan ijtihad para tokoh Islam yang juga mengerti betul tentang agama, KH. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Muzakir, dll. Terlebih Bung Karno menyebutkan, bahwa demokrasi kita bukanlah demokrasi ala Barat, tapi “Demokrasi Berketuhanan”.
Khilafah, daulah Islamiyah, syariat Islam, dll. adalah konsep-konsep positif yang mengandung nilai-nilai kebaikan. Akan tetapi, tidak boleh dipaksakan dengan cara-cara yang negatif. Perlu dialog dan musyawarah secara kontinyu, agar konsep-konsep positif yang baik tersebut dapat mensejahterakan rakyat dengan seadil-adilnya. Dalam alam demokrasi, segala konsep kebaikan dapat diterima.
Cara pandang negatif terhadap demokrasi ini pula yang menimbulkan reaksi kekerasan, ekstremisme keagamaan. Segala hal yang berkaitan dengan demokrasi dikaitkan dengan kekafiran. Dan para pendukung demokrasi digolongkan sebagai penyembah toghut, berhala selain Tuhan Allah.
Pemahaman seperti ini pernah dialami oleh Ali Fauzi, adik kandung dari Ali Mukhlas dan Amrozi, pelaku Bom Bali jilid I. Ali Fauzi memulai karirnya menjadi kombatan sejak 1991 dengan bergabung bersama daulah Islamiah di Malaysia, dan ber-baiat kepada Jamaah Islamiah di Indonesia pada 2004.
Karirnya terhenti setelah tertangkap Polisi Filipina pada 2007. Ia dibawa pulang oleh Kombes Tito Karnavian (sekarang Kapolri) dan dirawat hingga sembuh dari luka-luka. Ali Fauzi terheran-heran, orang yang selama ini ia anggap sebagai thogut dan kafir, justru malah menolong dan merawatnya. Bahkan diberi modal untuk berwirausaha. Kini Ali Fauzi mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian dan menjadi mitra BNPT dalam program deradikalisasi.
Kisah Ali Fauzi di atas menunjukkan bahwa kebencian hanya bisa dipadamkan dengan cinta dan kasih sayang. Sikap dan pandangan negatif hanya bisa diubah dengan menyikapi hal-hal kecil hingga besar dengan kacamata kebaikan.
Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi pernah berdialog dengan seorang pemuda berhaluan keras dan suka mengkafirkan. Beliau bertanya, “Apakah mengebom sebuah klub malam di Negara muslim itu halal atau haram?”, pemuda itu menjawab, “Tentu saja halal, membunuh mereka boleh”.
Beliau bertanya lagi, “Jika seandainya engkau membunuh mereka, sedangkan mereka bermaksiat kepada Allah, kemana mereka akan ditempatkan?” Dengan yakin pemuda itu menjawab, “Tentu di neraka.”, “Kemana pula setan menjerumuskan manusia?”, Beliau bertanya lagi. “Tentu saja ke neraka. Mustahil setan membawa manusia ke surga.”, jawab pemuda.
“Jika demikian, engkau dan setan memiliki tujuan yang sama, yaitu mengantarkan manusia ke dalam neraka.” Beliau lalu menyebutkan sebuah kisah dimana ketika ada mayat seorang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah SAW., beliau lalu menangis. Para sahabat bertanya mengapa beliau menangis. Beliau menjawab, “Telah lolos dariku satu jiwa dan ia masuk ke dalam neraka.”
“Perhatikan perbedaan kalian dengan Rasulullah yang berusaha memberi petunjuk dan menjauhkan mereka dari neraka. Kalian berada di satu lembah, sedangkan Rasulullah berada di lembah lain.” Pemuda itu hanya diam membisu mendengarnya.
Tempo hari, mantan Presiden Afghanistan yang sekarang menjabat Ketua High Peace Council (HCP), Muhammad Karim Khalili berkunjung ke Indonesia. Atas arahan presiden Joko Widodo, Pesantren Darunnajah Jakarta ditunjuk untuk menerima rombongan delegasi HCP.
Dalam pidatonya, Muhammad Karim berkeinginan agar Pemerintah Indonesia mendirikan pesantren di Kabul. Ia menyampaikan bahwa Afghanistan lelah dengan konflik dan perang antar kelompok agama. Indonesia dengan ratusan perbedaan suku, etnis, dan agama, mampu bertahan menjadi Negara yang damai. Sedangkan Afghanistan yang hanya memiliki beberapa suku dan perbedaan agama belum mampu mengatasi konflik dan perpecahan.
Artinya, kita harus ber-positive thinking dan percaya diri bahwa dengan sistem demokrasi, Indonesia akan menjadi Negara yang besar bangsanya, maju negaranya, dan kuat ukhuwah umatnya dalam menghadapi ekstremisme, terorisme, dan radikalisme.