Dzikir di Istana Berawal dari Kegelisahan Kiai terhadap Kondisi Bangsa
KH Musthofa Aqil Siroj mengatakan, Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) lahir berangkat dari kegelisahan para ulama moderat dalam melihat situasi mutakhir. Para ulama ini memandang perlunya kembali mendorong spirit keagamaan dan kebangsaan masyarakat Indonesia.
“Kenapa gelisah? Karena melihat fenomena umat yang gemar mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, Rais Aam Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin kemudian roadshow ke daerah-daerah. Ternyata, para kiai setempat juga berpendapat yang sama,” ujarnya saat jumpa pers jelang dzikir nasional di Istana Negara yang digelar di Bakoel Coffie Jl. Cikini Raya No. 25, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (31/7).
https://www.youtube.com/watch?v=uaRXAfLpQ88
Kiai Musthofa Aqil menambahkan, Rais Aam kemudian mempunyai ide untuk merajut kembali sekaligus menyatukan seluruh komponen bangsa. “Ide Kiai Ma’ruf ini kemudian disambut baik Pak Jokowi, Bu Mega, dan para tokoh. Jadilah Majelis Dzikir Hubbul Wathon ini,” ungkapnya.
Intinya, lanjut kiai asal Cirebon ini, bahwa Islam dan tradisi kehidupan masyarakat perlu dikombinasi. Keduanya menjadi sarana paling untuk mempersatukan dan mempertemukan lslam dengan nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Hal itulah yang menurut Kiai Ma’ruf Amin menjadi titik tekan alasan mengapa MDHW didirikan.
Gagasan Rais Aam yang jadi inisiator berdirinya MDHW ini kemudian ditindaklanjuti melalui sebuah Halaqoh Nasional Alim Ulama di Jakarta beberapa waktu lalu. “Dalam kepengurusan, Presiden Jokowi diminta menjadi Dewan Pembina, KH Ma’ruf Dewan Penasihat, saya Ketua Umum, dan Pak Hery ini sebagai Sekjen,” papar adik kandung KH Said Aqil Siroj ini.
Sementara itu, Sekjen MDHW Hery Haryanto Azumi mengatakan keberadaan organisasi dzikir ini diharapkan menjadi sarana sekaligus jembatan (katalisator) terbangunnya alisi strategis bagi elemen Islam dan nasionalis untuk menyelamatkan aliansi/koalisi bangsa dan negara dari intervensi paham, ajaran dan ideologi yang membahayakan keutuhan NKRI.
“MDHW merupakan wadah bagi seluruh elemen masyarakat dalam merumuskan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi bangsa. MDHW punya pemikiran bahwa bingkai kemajemukan di Indonesia harus bersifat politis-yuridis dan teologis,” ujar Hery.
Bingkai politis-yuridis, kata dia, adalah kebijakan tentang bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusi negaranya.
Artinya, keputusan politik para pendiri bangsa itulah yang menjadi konsesus nasional. Sementara bingkai teologis yang maksud untuk mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Bingkai teologis menjadi perekat pemahaman bagi seluruh elemen masyarakat tentang begitu pentingnya menjaga integrasi bangsa.
Saat ditanya rencana dzikir nasional yang akan digelar di Istana Negara, Selasa (1/8), Hery menyebut telah siap. Acara akan dihadiri 200 ulama dan 2000 undangan dari berbagai daerah.
“Kiai sepuh yang hadir antara lain Kiai Maimoen Zubair (Mbah Moen), Habib Luthfi Pekalongan, KH Anwar Mansur, KH Miftahul Akhyar, Syekh Ali Marbun dari Medan, Bagindo Leter dari Padang, dan Anregurutta Sanusi Baco dari Makassar,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)