Gus Dur dan Kisah Wirid Doa Ashabul Kahfi
Oleh Nur Kholik Ridwan
Pada tulisan sebelumnya, saya menceritakan tentang kisah wirid surat al-Fatihah 100 kali. Pada tulisan kali ini, saya ingin menceritakan tentang Gus Dur dan kisah wirid rabbanâ âtinâ min ladunka rahmatan wahayyi’ lanâ min amrinâ rasyadâ. Wirid ini, saya dengarkan beberapa tahun lalu ketika saya silaturahmi ke sebuah pesantren, yang jumlah muridnya sedengan, sekitar 200-an (pada saat saya silaturahmi saat itu). Kiainya masih muda, dan pernah nyantri di pesantren besar di Jawa Timur.
(Baca juga: Gus Dur dan Kisah Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali)
Saat itu, saya dengan 2 orang kawan sedang mencari pesantren untuk dijadikan tempat pelatihan tentang Kitab Kuning dan Hak-Hak Bernegara. Sampailah kami di sebuah pesantren. Setelah assalâmu`alaikum dan babibu, saya menanyakan.
“Ini pesantrennya mantab kiai. Ngomong-ngomong gimana bisa mendirikan pesantren. Kiai pasti punya wirid yang mantab, pasti ini.”
Sang kiai muda, diam sesaat, tetapi kemudian berkata: “Kami selalu me-mudawamah-kan (merutinkan membaca, red) Ratib al-Haddad, sebab kami dulu nyantri diberi ijazah Ratib ini, dan kami meneruskan bersama murid-murid di pesantren ini.”
Setelah itu kami membicarakan tentang Ratib al-Haddad, dan bagaimana efek-efek bagi yang mengamalkannya. Alhamdulillah, saya sendiri juga mengamalkan Ratib ini sudah lama, dan kemudian memperbarui ijazah Ratib ini kepada Habib Zen Magelang, dan kepada Kiai Asnawi, di kampung tempat kami tinggal. Ratib al-Haddad kemudian disempurnakan dengan Wirdul Latif. Pembicaraan tentang Ratib dengan kiai muda ini, sampai jauh.
Karena jauh membicarakan Ratib al-Haddad, sampai kiai muda belum menjelaskan bagaimana sejarah pesantren ini dan berdirinya.
Saya kemudian menyela: “Kiai, ini berkah Ratib al-Haddad ya pesantren ini, apa masih ada yang lain.”
Kiai muda diam, dan kemudian bercerita:
“Begini Mas, kami di sini ini pendatang. Kanan dan kiri kami amalannya tidak sama dengan kami. Beberapa tahun saya mulai membuat rumah dan ingin mendirikan pesantren ini, seperti ada tembok karang yang menghadang. Banyak sekali tantangan, baik yang menyangkut pribadi ataupun kondisi masyarakat sekitar yang amalannya tidak sama dengan kami. Kami mencoba terus bertahan, dengan amalan-amalan wirid yang kami punya. Tapi ternyata kami dan istri, ada pada satu kondisi, di mana kami sudah tidak kuat lagi.”
Kiai muda melanjutkan: “Ada satu kondisi dimana saya menyimpulkan sudah tidak bisa diteruskan untuk tinggal di sini. Akan tetapi sebelum meninggalkan tempat ini, saya bermunajat dan memohon kepada Allah untuk yang terbaik.”
Karena kiai muda cerita tentang sulitnya mendirikan pondok dan tinggal di tempatnya itu, saya diajak untuk berpikir sulitnya orang untuk berjuang, dan saya diajarkan untuk tidak berputus asa dan memohon pertolongan Allah, terutama pada saat-saat genting. Saya diajarkan, inilah kehidupan riil di masyarakat. Ada yang tidak senang, mendukung, dan yang lain. Dalam kondisi begitu, kita betul-betul hajat dan memerlukan pertolongan Allah, dan perlu memiliki amalan wirid yang mudawamah.
Kiai muda itu meneruskan:
“Sebelum saya memutuskan untuk pergi dari tempat ini, ternyata malamnya saya mimpi mas. Dan ini yang membuat saya seperti mendapat tenaga, kekuatan, dan keberanian kembali.”
“Dalam mimpi itu, tiba-tiba ada tamu datang ke rumah dengan mobil. Orang yang di dalam mobil itu turun dan mengetuk pintu. Saya kagetnya bukan main. Ternyata Gus Dur yang datang. Setelah kami duduk, lalu Gus Dur berbicara: “Menjadi kiai itu harus sabar, jangan berhenti berdoa kepada Allah.” Sepertinya Gus Dur tahu apa yang sedang saya hadapi.
Lalu kiai muda diminta Gus Dur untuk berdoa dengan sebuah doa. Sebelum doa sempat dicatat. Tidak lama setelah itu, Gus Dur dipanggil orang dari mobil: “Dur cepet…,” mobil sambil jalan pelan, ternyata di mobil ada ibunya Gus Dur. Gus Dur kemudian keluar dan masuk mobil.
Kiai muda yang belum sempat mencatat doanya itu, kemudian ikut mengiringi Gus Dur masuk mobil, dan kemudian pergi.
Setelah terbangun, kiai muda sangat tersentak. Dan, kemudian hanya tafakkur terus menerus, karena belum sempat mencatat doanya. Tafakkur itu menghasilkan sebuah kesimpulan. “Saya harus pergi ke Ciganjur.” Saat itu Gus Dur masih hidup.
Kiai muda yang belum punya pesantren seperti sekarang ini, setelah itu musyawarah dengan istrinya ihwal mimpi itu, dan direstui untuk ke Ciganjur. Dengan bekal uang seadanya, kiai muda naik bus untuk bisa sampai ke Ciganjur. Sebelum ke Ciganjur, dia mampir kepada kenalan yang ada di dekat Ciganjur. Dan, ketika sudah sampai di Ciganjur, kiai muda di persilahkan masuk.
Kiai muda melanjutkan dan berkata kepada saya: “Ini mas, yang ketika di Ciganjur ini, saya benar-benar keluar keringat dingin.”
“Emang kenapa, Kiai?”
Saya sendiri teringat Ciganjur. Saya ingat kami dulu beberapa kali ke rumah ini, ketika bersama-sama kawan dari Wahid Institute, Mas Suaedy, Mas Rumadi, dan kawan-kawan lain setelah dari Bogor, dan melihat Gus Dur tidur di atas lantai. Harimau yang ada di luar rumah dan di taman di rumah Gus Dur di Ciganjur itu, selalu saya pandangi. Dan, sahabat kami, Yuni mengambil foto-foto jeprat-jepret di sekitar taman dan harimau itu. Harimau itu, apakah sekarang masih ada apa nggak, saya lama belum ke Ciganjur lagi.
Kiai muda meneruskan ceritanya. Ketika masuk, dan salam, lalu, kiai muda meberanikan diri untuk cerita mimpi yang dialaminya. Dan keperluannya datang untuk meminta ijazah doa yang belum sempat dicatat itu. Gus Dur mendengar itu sambil tersenyum-senyum. “Kamu catat ya, doa dibaca 100 x, rabbanâ âtinâ min ladunka rahmatan wahayyi’ lanâ min amrinâ rasyadâ. Wasilahnya ditambah kepada Sunan Ampel. Sudah itu aja.”
Kiai muda merasa senang sekali setelah memperoleh doa itu. Dan, ceritanya di Ciganjur ditutup sampai di sini, meskipun ada tambahan cerita di sini. Doa itu akhirnya diwiridkan oleh kiai muda itu setiap hari.
Lalu saya bertanya: “Apa reaksi setelah membaca doa ini, Kiai?”
Kiai muda menjawab: “Alhamdulillah, hati semakin tenang, kuat, dan selalu yaqin dengan Allah. Beberapa bulan setelah itu, beberapa orang yang merintangi saya datang ke rumah, dan sikapnya sudah berbeda. Alhamdulillah. Saya kembali kuat dan tidak putus asa, dan akhirnya pelan-pelan kami bisa membangun pondok ini.”
Doa yang disebutkan kiai muda itu, yang diijazahkan Gus Dur kepadanya adalah petikan dari ayat di dalam surat al-Kahfi, ayat ke-10. Doa itu adalah doanya Ashahbul Kahfi yang diabadikan dalam surat al-Kahfi.
Surat al-Kahfi itu sendiri, disebutkan oleh Rosulullah melalui jalan sahabat Anas, begini: “Surat al-Kahfi turun jumlatan bersamanya adalah 70 ribu malaikat” (HR. Ad-Dailami, Musnad al-Firdaus, No. 6812; dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Durrul Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, IX: 479).
Juga tentang al-Kahfi diriwayatkan dari jalan Abdullah bin Mughoffal bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Rumah yang dibacakan surat al-Kahfi di dalamnya, maka setan tidak akan masuk ke rumah itu pada malam itu” (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Durrul Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, IX: 479).
Hikmah yang bisa diambil dari cerita ini, adalah ketika orang sudah merasa tidak bisa mengupayakan apa-apa, seperti ditunjukkan oleh kiai muda itu, maka mengharap rahmat Allah dan berdoa kepada-Nya adalah jalan terbaik; hal itu juga menunjukkan manusia adalah ciptaan Allah yang lemah, dan di tengah kelemahannya itu, manusia diperintahkan untuk tidak berputus asa terhadap rahmat Allah.
Doa Ashhabul Kahfi ini, menjadi salah satu sebab Allah merahmati Ashahbul Kahfi, dan Allah menidurkan mereka di gua itu sampai 309 tahun (ayat ke-25 surat al-Kahfi), sampai dibangunkan Allah kemudian dengan penuh keheranan. Dan, doa ayat ke-10 dari surat al-Kahfi ini bisa menjadi salah satu perisai untuk mengetuk rahmat Allah. Wallahu a’lam.
Penulis adalah penulis buku “NU & Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan”
Sumber : NU Online