Gus Dur, Kesederhanaan dan Tawa
Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal luas sebagai pribadi sederhana dan apa adanya dalam urusan dunia. Dia kerap tidak peduli dengan posisi dan jabatan strategis yang sedang diembannya, misal ketika dompetnya sering kosong, tak punya duit padahal dia seorang Presiden RI. Juga ketika memilih naik angkot dan berdesak-desakkan dengan masyarakat saat hendak ke Kantor PBNU Jalan Kramat Raya, meski dirinya kala itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.
Kisah kesederhanaan Gus Dur tersebut diceritakan oleh KH Husein Muhammad (Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015). Sifat kezuhudan Gus Dur bagi Kiai Husein merupakan wujud nyata atas kedalaman ilmu Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu Kiai Husein sendiri menjuluki Gus Dur sebagai Sang Zahid, manusia dengan sifat zuhud yang tinggi.
Pengembaraan Gus Dur dalam menyelami setiap detak kehidupan menjadi alasan untuk meraup sebanyak-banyaknya hikmah sehingga dia tidak peduli dengan identitas sosialnya ketika harus berjejal dengan masyarakat umum di bus atau angkutan kota (angkota). Sebab itu, Gus Dur sendiri mempunyai prinsip humanis yang berangkat dari jiwa asketisnya sehingga tidak sedikit yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah seorang Wali.
Prinsip humanis tersebut adalah, guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas. Diktum luhur dari hasil renungan mendalam Gus Dur itu menunjukkan bahwa jiwa agama tidak terlepas dari kehidupan sosial. Justru ketika seseorang mampu memahami agama dengan baik, maka wujud dari jiwa profetiknya itu adalah keshalehan sosial, bukan keshalehan vertikal semata.
Sahabat-sahabat dekat Gus Dur seperti Gus Mus dan Fahmi Dja’far Saifuddin sering menceritakan bahwa Gus Dur memang salah seorang yang tidak peduli dengan baju, celana, atau sandal yang dikenakannya sehari-hari, untuk kemana saja atau untuk keperluan apa saja.
Bahkan ketika menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur selalu memakai sandal kemana pun. Gus Dur nampaknya merasa nyaman dengan sandalnya itu dan merasa tidak betah memakai sepatu. Bukan hanya soal sandal, tetapi juga naik bus. Gus Dur diceritakan oleh sahabat-sahabatnya itu sering naik bus berjejal-jejalan atau angkot dengan berdesak-desakkan ketika berangkat ke Kantor PBNU dari rumah kontrakannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Pun demikian pulangnya.
Terlihat meskipun Gus Dur seseorang yang dianggap penting, tetapi dia tidak mau menjadi sosok di menara gading yang sama sekali tidak mengetahui denyut kehidupan masyarakat di bawah. Bekal jiwa egaliternya ini menjadi asupan yang sangat berharga ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia secara demokratis.
Dengan wawasannya yang luas, pengetahuannya yang tinggi, sikapnya yang mengayomi semua, dan keteguhan prinsipnya akan kebhinnekaan bangsa Indonesia, ia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan yang denyutnya makin kuat hingga sekarang, meski anasir-anasir kebencian saat ini tetap ada dan menjadi tantangan serius dalam kehidupan berbangsa.
Berhumor secara serius
Putra sulung Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim bin Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari ini teguh pendirian bagaikan karang yang tidak mampu ditembus ombak ketika sudah berbicara substansi agama dan kehidupan sosial. Sedemikian teguhnya Gus Dur tetapi masih mampu melontarkan banyak humor-humor segar justru ketika menghadapi sesuatu yang sulit dan memerlukan pandangan serius. Namun, Gus Dur tetaplah Gus Dur, pribadi dengan kemampuan kemanusiaan yang sangat lengkap.
Rentang tahun 1980-1990-an lahir banyak celetukan-celetukan humor Gus Dur yang menyindir penguasa otoriter. Gus Dur memang dikenal satu-satunya tokoh yang sangat kritis terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Meski begitu, Gus Dur tetap berteman baik dengan Presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu.
Dimulai tahun 1986 dengan Mati Ketawa Cara Rusia karangan Zhanna Dolgopolova, yang kata pengantarnya ditulis oleh KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur. Di dalam kata pengantar yang cukup panjang itu Gus Dur mengatakan, “rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan”.
“Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.”
Namun, Gus Dur sendiri mengakui bahwa humor memang tidak bisa meruntuhkan rezim, tetapi dengan humor masyarakat bisa mengetahui siapa musuh bersama mereka. “Humor adalah sesuatu yang serius,” kata Gus Dur.
Menarik diperhatikan ketika humor dikatakan merupakan sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat. Kesadaran untuk menertawakan diri sendiri menjadi salah satu poin penting yang dimaksud Gus Dur. Karena kata ‘arif sendiri mempunyai makna sadar, kerap juga disejajarkan dengan makna kebijaksanaan. Jadi ketika seseorang memahami akan kearifan serta kebijaksanaan pada diri dan masyarakatnya, mestinya dia mampu mengeskalasinya menjadi sebuah humor segar dan cerdas sehingga kehidupan menjadi cair, tidak kering.
Cairnya kehidupan berdasarkan prinsip menyublimnya sebuah kearifan masyarakat akan mampu mewujudkan budaya dan tradisi positif yang mengagumkan. Hal ini tergambar dari kekayaan budaya yang ada di masyarakat sejak zaman Wali Songo. Para wali tidak terlalu menyikapi serius apalagi dengan berapi-api terhadap tradisi dan budaya lokal yang telah lama mengakar di tengah masyarakat. Bahkan, hal itu dijadikan sebagai instrumen penyebaran agama Islam di tanah air yang kesuksesannya bisa dilihat saat ini.
Gus Dur, dengan kesederhanaan dan tawa atas humor-humornya menjadikan kehidupan ini serasa enteng untuk dijalani. Istilah gitu aja kok repot yang kerap dilontarkan Gus Dur adalah petunjuk nyata bahwa segala sesuatu tidak harus dijalani secara njlimet. Tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa istilah Gus Dur tersebut berangkat dari prinsip Al-Qur’an yang mengatakan, yassir walaa tu’assir (permudahlan, jangan engkau persulit). Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.
Sumber : NU Online